Cokelat Menjaga Kesehatan Jantung hingga Stabilitas Mental
1 jam lalu
Namun produk cokelat di pasaran dipenuhi gula, susu, dan lemak tambahan yang memicu obesitas, diabetes, dan kerusakan gigi. Nah!
***
Wacana ini ditulis oleh Sal Sabila, Luthfiah Mawar M.K.M., Helsa Nasution, M.Pd., dan Dr. M. Agung Rahmadi, M.Si. Lalu diedit oleh Aisyah Umaira, Andieni Pratiwi, Andine Mei Hanny, Dwi Keisya Kurnia, dan Naila Al Madina dari IKM 6 Stambuk 2025, Fakultas Kesehatan Masyarakat, UIN Sumatera Utara.
Seorang mahasiswa yang saya temui di sebuah kafe kecil berkata sambil tersenyum, “Sepotong cokelat hitam itu seperti teman yang selalu datang di saat penat, membuat hati tenang, dan tubuh kembali bersemangat.” Kalimat sederhana ini mengandung kebenaran mendalam.
Cokelat, yang kerap hanya dipandang sebagai makanan manis pemanja lidah, sesungguhnya menyimpan rahasia kesehatan yang telah dipercaya sejak peradaban Maya dan Aztec. Pada masa itu, kakao disebut sebagai makanan para dewa, bukan semata karena rasanya, melainkan karena khasiatnya yang diyakini mampu menjaga vitalitas tubuh dan pikiran.
Penelitian kontemporer menegaskan pandangan kuno tersebut. Biji kakao kaya akan flavonoid, senyawa dengan sifat antioksidan yang berfungsi melawan radikal bebas, salah satu pemicu utama berbagai penyakit degeneratif (Katz et al., 2011). Dengan demikian, cokelat tidak hanya menjadi penghibur suasana hati, melainkan juga sumber manfaat kesehatan apabila dikonsumsi secara bijak.
Salah satu rahasia terbesar cokelat adalah kontribusinya terhadap kesehatan jantung. Flavonoid terbukti meningkatkan elastisitas pembuluh darah, menurunkan tekanan darah, dan melancarkan peredaran darah. Dampak ini secara signifikan mengurangi risiko penyakit kardiovaskular, yang hingga kini tercatat sebagai penyebab kematian utama di dunia menurut data WHO (2019). Tidak mengherankan bila di sejumlah negara maju, konsumsi cokelat hitam dengan kadar kakao tinggi sering dianjurkan dokter sebagai bagian dari pola hidup sehat.
Selain untuk kesehatan jantung, cokelat juga memegang peran penting dalam menjaga stabilitas mental. Kandungan triptofan dalam cokelat berkontribusi terhadap produksi serotonin, hormon yang membantu mengatur emosi dan menimbulkan rasa bahagia. Di sisi lain, konsumsi cokelat memicu pelepasan endorfin yang membuat seseorang merasa lebih rileks sekaligus mampu mengurangi stres (Scholey & Owen, 2013). Tidak heran bila cokelat sering disebut sebagai comfort food yang setia menemani manusia di tengah tekanan pekerjaan maupun rutinitas yang melelahkan.
Lebih jauh, cokelat terbukti mendukung energi tubuh dan kesehatan otak. Kafein dalam cokelat, meskipun tidak sebanyak pada kopi, tetap mampu meningkatkan fokus dan kewaspadaan. Flavonoidnya juga menjaga kelancaran aliran darah menuju otak, mendukung fungsi kognitif, serta mengurangi risiko penurunan daya ingat pada usia lanjut (Socci et al., 2017). Dengan kata lain, sepotong cokelat hitam setiap hari bukan hanya sekadar menghadirkan semangat baru, tetapi juga dapat dianggap sebagai investasi kecil bagi kejernihan pikiran dan kesehatan mental di masa depan.
Namun, perlu diingat bahwa tidak semua cokelat membawa manfaat kesehatan. Produk cokelat yang beredar luas di pasaran sering kali dipenuhi gula, susu, dan lemak tambahan yang justru berisiko memicu obesitas, diabetes, dan kerusakan gigi. Kuncinya terletak pada pemilihan cokelat hitam dengan kadar kakao minimal 70 persen dan mengonsumsinya dalam jumlah wajar, sekitar 20–30 gram per hari (Magrone et al., 2017). Cokelat sebaiknya dipandang sebagai bagian dari pola hidup sehat yang terintegrasi, bukan sebagai alasan untuk mengabaikan gizi seimbang maupun olahraga teratur.
Akhirnya, rahasia sepotong cokelat bukan hanya tentang rasa manis yang menyenangkan, melainkan juga tentang kesadaran manusia dalam menyeimbangkan kebutuhan tubuh dan jiwa. Di tengah dunia modern yang penuh tekanan, sepotong cokelat dapat menjadi jeda kecil yang menenangkan hati sekaligus menguatkan tubuh. Dari gigitan kecil itu, kita diajarkan bahwa kebahagiaan dan kesehatan sering kali bersumber dari hal-hal sederhana yang hadir dalam keseharian kita. Seperti kata seorang responden dalam wawancara, “Cokelat bukan sekadar makanan, melainkan cara kecil saya merawat diri di tengah kerasnya hidup.
Corresponding Author: [email protected]

Penulis Indonesiana
0 Pengikut

Menjaga Kesehatan di Era Digital
Rabu, 24 September 2025 09:46 WIBBaca Juga
Artikel Terpopuler