Gemar berbagi melalui ragam teks fiksi dan nonfiksi.

Memori Tak Hanya di Otak, Tubuh Kita pun Bisa Mengingat

6 jam lalu
Bagikan Artikel Ini
img-content
Peta memori
Iklan

Sel non-neural di seluruh tubuh dapat “mengingat” sinyal kimia bila diberikan secara terspasi

***

Penelitian terbaru mengungkap bahwa memori tidak hanya disimpan di otak, tapi juga di sel tubuh manusia. Begini penjelasan ilmiahnya yang bikin takjub.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Ilmuwan kini menemukan fakta mencengangkan: tubuh manusia ternyata bisa mengingat. Tidak hanya otak yang mampu menyimpan kenangan dan pembelajaran, tetapi sel-sel tubuh biasa pun bisa “mengenali” pola sinyal dan meresponsnya dengan cara mirip memori. Temuan yang berasal dari penelitian New York University (NYU) ini mengubah cara kita memahami apa itu belajar dan mengingat.

Memori bukan hanya di Otak, tapi tersebar ke seluruh tubuh.

Selama ini, kita menganggap memori hanya terkait neuron di otak. Namun, eksperimen baru menunjukkan bahwa sel non-neural di seluruh tubuh dapat “mengingat” sinyal kimia bila diberikan secara terspasi — yaitu dalam pola berirama dengan jeda waktu tertentu. Fenomena ini disebut efek spacing, yang sebelumnya dikenal hanya dalam dunia psikologi belajar manusia. Kini, efek ini terbukti juga terjadi di tingkat seluler.

Para peneliti menstimulasi sel manusia dengan bahan kimia seperti forskolin dan TPA, yang mengaktifkan jalur pembelajaran di neuron, seperti CREB, PKA, PKC, dan ERK. Hasilnya luar biasa: saat sinyal diberikan dengan jeda waktu tertentu, aktivitas gen dalam sel meningkat lebih tinggi dan bertahan lebih lama. Sebaliknya, jika sinyal diberikan sekaligus dalam dosis besar, efeknya cepat hilang.

Dengan kata lain, sel tubuh juga bisa “belajar dari waktu”. Ia mengenali pola jeda dan memperkuat responsnya, sama seperti otak manusia yang lebih mudah mengingat ketika belajar dengan pola waktu teratur dibanding belajar terus-menerus tanpa istirahat.

Fenomena ini menandai revolusi baru dalam sains — bahwa memori biologis bukan monopoli otak, tetapi sifat dasar kehidupan di setiap sel tubuh manusia. Setiap sel ternyata memiliki kemampuan untuk “menyimpan pengalaman kimiawi” yang bisa memengaruhi perilakunya di masa depan.

Implikasinya sangat luas, terutama dalam bidang farmakologi. Temuan ini memberi dasar ilmiah bahwa jadwal pemberian obat sama pentingnya dengan dosisnya. Dosis kecil yang diberikan dalam interval teratur bisa memicu respons biologis yang lebih kuat dibanding satu dosis besar. Konsep ini dikenal sebagai chronotherapy — terapi berbasis waktu — yang kini menjadi perhatian utama dalam pengobatan modern.

Selain itu, penelitian ini membuka peluang baru di dunia rekayasa jaringan dan bioteknologi. Jika kita tahu cara sel merespons pola sinyal tertentu, maka sinyal biologis dapat “diprogram” untuk mengarahkan perilaku sel. Misalnya, memberi pulsa faktor pertumbuhan dengan ritme tertentu bisa membantu regenerasi jaringan atau pemulihan luka lebih cepat.

Penemuan ini juga memperkuat konsep baru dalam biologi kognitif, yaitu gagasan bahwa tubuh memiliki kecerdasan tersendiri. Sel bukanlah entitas pasif, melainkan sistem aktif yang memproses informasi dari lingkungannya, belajar dari pengalaman sinyal masa lalu, dan menyesuaikan diri terhadap kondisi baru. Konsep ini dikenal sebagai cellular cognition, atau “kognisi seluler”.

Kajian lain mendukung teori ini. Studi dalam Nature Reviews Molecular Cell Biology (2023) menjelaskan bahwa pola sinyal berulang dapat memicu perubahan epigenetik sementara yang membuat sel menyesuaikan ekspresi gennya sesuai ritme lingkungan. Demikian juga riset di Cell Systems (2022) menunjukkan bahwa fluktuasi sinyal ERK dan kalsium membantu sel mengubah waktu menjadi informasi — proses yang disebut temporal coding.

Artinya, efek spacing yang ditemukan NYU bukan fenomena aneh, melainkan bagian dari mekanisme dasar kehidupan. Bahkan, organisme purba tanpa sistem saraf pun sudah menunjukkan kemampuan mengenali pola waktu untuk bertahan hidup. Jadi, memori bukanlah penemuan evolusi otak, melainkan warisan biologis yang sudah ada sejak awal kehidupan.

Meskipun hasilnya revolusioner, penelitian ini masih dilakukan di laboratorium dengan sel yang dimodifikasi. Untuk memastikan hasilnya relevan bagi manusia, para ilmuwan perlu meneliti efek spacing pada jaringan asli dan organisme hidup. Namun, arah penelitian ini sudah membuka cakrawala baru bagi ilmu kedokteran dan sains kehidupan.

Jika terbukti berlaku di tubuh manusia, konsep ini bisa mengubah cara kita belajar, berobat, dan memahami diri sendiri. Bayangkan terapi medis yang mengikuti ritme alami tubuh, atau teknologi biologis yang memprogram sel untuk belajar memperbaiki diri. Semua itu mungkin terjadi karena kini kita tahu: tubuh juga bisa mengingat.

Penemuan ini membawa pesan besar bahwa kecerdasan tidak hanya ada di otak, tetapi di setiap sel tubuh kita. Otak mungkin pusat kesadaran, tetapi tubuh adalah arsip biologis yang menyimpan pengalaman hidup dalam bentuk pola kimia yang ritmis. Tubuh manusia bukan mesin pasif, melainkan organisme yang terus belajar, beradaptasi, dan mengingat dalam setiap detik kehidupannya. ***

Bagikan Artikel Ini

Baca Juga











Artikel Terpopuler