Gunoto Saparie lahir di Kendal, Jawa Tengah, 22 Desember 1955. Aktif dalam dunia literasi, menulis cerita pendek, puisi, novel, dan esai. Kumpulan puisi tunggalnya yang telah terbit adalah Melancholia (Damad, Semarang, 1979), Solitaire (Indragiri, Semarang, 1981), Malam Pertama (Mimbar, Semarang, 1996), Penyair Kamar (Forum Komunikasi Wartawan Pendidikan dan Kebudayaan Jawa Tengah, Semarang, 2018), dan Mendung, Kabut, dan Lain-lain (Cerah Budaya Indonesia, Jakarta, 2019), dan Lirik (Pelataran Sastra Kaliwungu, Kendal, 2020). Kumpulan esai tunggalnya Islam dalam Kesusastraan Indonesia (Yayasan Arus, Jakarta, 1986) dan Kiri Islam dan Lain-Lain (Satupena, Jakarta, 2023). Kumpulan cerita rakyatnya Ki Ageng Pandanaran: Dongeng Terpilih Jawa Tengah (Pusat Bahasa, Jakarta, 2004). Novelnya Selamat Siang, Kekasih dimuat secara bersambung di Mingguan Bahari, Semarang (1978) dan Bau (Pelataran Sastra Kaliwungu, Kendal, 2019) yang menjadi nomine Penghargaan Prasidatama 2020 dari Balai Bahasa Jawa Tengah.\xd\xd Ia juga pernah menerbitkan antologi puisi bersama Korrie Layun Rampan berjudul Putih! Putih! Putih! (Yogyakarta, 1976) dan Suara Sendawar Kendal (Karawang, 2015). Sejumlah puisi, cerita pendek, dan esainya termuat dalam antologi bersama para penulis lain. Puisinya juga masuk dalam buku Manuel D\x27Indonesien Volume I terbitan L\x27asiatheque, Paris, Prancis, Januari 2012. Selain menjabat sebagai Ketua Umum Satupena Jawa Tengah juga sebagai Ketua Umum Dewan Kesenian Jawa Tengah, Ketua Komunitas Puisi Esai Jawa Tengah, dan Ketua Umum Forum Kreator Era AI Jawa Tengah. Ia juga aktif di kepengurusan Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia Jawa Tengah, Majelis Kiai Santri Pancasila, dan Forum Komunikasi Keluarga Purnawirawan Baret Merah Jawa Tengah. Pernah menjadi wartawan, guru, dosen, konsultan perpajakan, dan penyuluh agama madya. Alumni Akademi Uang dan Bank Yogyakarta dan Sekolah Tinggi Ilmu Komunikasi Semarang.
Catatan dari Konferensi Musik Indonesia 2025
7 jam lalu
Menteri Kebudayaan Fadli Zon mengatakan bahwa musik adalah kekuatan pemersatu, pendidikan, sekaligus penggerak ekonomi.
Catatan dari Konferensi Musik Indonesia 2025
Oleh Gunoto Saparie
Mungkin hanya musik yang mampu membuat manusia lupa sejenak pada perbedaan. Dalam ruang Hotel The Sultan di Jakarta, ketika tifa, rebana, dan angklung dibunyikan bersamaan, barangkali ada sesuatu yang lebih dari sekadar seremoni. Ada gema yang lebih dalam dari bunyi alat musik daerah itu, gema tentang harapan, atau mungkin, tentang kebingungan kita sendiri dalam mencari “nada dasar” kebudayaan.
Catatan dari Konferensi Musik Indonesia 2025
Konferensi Musik Indonesia 2025, sejak tanggal 8 hingga 11 Oktober 2025, dibuka dengan kebanggaan. Di sana hadir ratusan orang: menteri, wakil menteri, musisi, regulator, bahkan aparat kepolisian. Di panggung depan, Menteri Kebudayaan Fadli Zon berbicara tentang potensi musik sebagai engine of growth, mesin pertumbuhan. Kata “pertumbuhan” terasa begitu ekonomis, hampir seperti jargon pembangunan yang biasa kita dengar di ruang-ruang rapat kementerian.
Tetapi musik, bukankah ia lahir bukan dari kalkulasi pertumbuhan, melainkan dari denyut batin yang kadang justru menolak rumus ekonomi? Dalam pidatonya, sang Menteri Kebudayaan mengatakan, musik adalah kekuatan pemersatu, pendidikan, sekaligus penggerak ekonomi. Ia menyebut angka: 231,64 juta dolar, proyeksi pasar musik digital Indonesia tahun ini.
Sebuah angka yang tampak gemilang, dan mungkin benar adanya. Namun angka, betapapun besar, sering kali tak bisa menampung rasa. Sebab di balik angka itu, ada ribuan musisi yang masih menyanyi di kafe kecil dengan honor yang bahkan tak cukup membeli senar gitar baru. Ada pencipta lagu yang kehilangan hak cipta karena hukum belum berpihak. Ada pula penyanyi jalanan yang tak tahu apa itu “ekosistem musik berkelanjutan”, tapi justru paling jujur menghidupi musik sebagai napas hidup. Di konferensi itu, nama Glenn Fredly disebut berulang-ulang. Giring, sang Wakil Menteri, menyebutnya “Bung Glenn”. Raffi Ahmad, utusan presiden, menyebut musik sebagai “suara hati rakyat”, melanjutkan perjuangan Glenn.
Dan mungkin di situlah letak paradoks kecil dari seluruh acara besar ini: musik yang dulu diperjuangkan Glenn lahir dari ruang-ruang kecil, dari panggung terbuka, dari obrolan santai, dari kerinduan pada keadilan yang tak ditemukan dalam kebijakan. Kini, ia dirayakan dalam hotel bintang lima, di bawah lampu sorot dan kamera siaran langsung.
Namun, barangkali memang begitulah nasib kebudayaan di negeri ini, ia hidup di dua dunia. Satu dunia adalah dunia formal, dengan naskah pidato, data ekonomi, dan jargon “kolaborasi lintas kementerian”. Dunia lainnya adalah dunia senyap, di mana seorang anak di Ambon atau Banjarnegara menyenandungkan lagu dari ponselnya, tak peduli siapa menterinya, tak peduli proyeksi dolar digital.
Kementerian Kebudayaan menegaskan musik sebagai “infrastruktur kebudayaan”. Kata itu, infrastruktur, mengandung ambisi besar. Tetapi apakah kebudayaan bisa dibangun sebagaimana jalan tol atau jembatan? Musik tumbuh bukan dari beton, melainkan dari luka, cinta, dan harapan. Ia tumbuh dari sesuatu yang tak bisa diukur dengan “indikator kinerja utama”. Tentu, kita tak bisa menolak modernitas. Musik digital membuka ruang yang dulu tertutup. YouTube dan Spotify memungkinkan anak kampung tampil di dunia.
Tetapi di saat yang sama, algoritma menentukan selera, dan selera massa menggusur keberagaman. Musik yang tak viral nyaris tak terdengar. Maka, ketika kementerian berbicara tentang “ekosistem musik”, pertanyaan yang mengganggu tetap sama: ekosistem bagi siapa? Bagi para korporasi digital, atau bagi mereka yang menggubah lagu di kamar sempit dengan gitar usang?
“Satu Nada Dasar”, tema KMI 2025, terdengar indah. Tetapi justru di situlah ironi kecilnya: bangsa ini selalu mencari nada dasar, dan tak pernah benar-benar menemukannya. Sebab mungkin kita memang ditakdirkan hidup dalam polifoni, bunyi yang bertubrukan, suara yang tak selalu harmonis. Justru di situlah keindahan musik Indonesia: dari gamelan yang bertabrakan nada, dari rebana yang berpacu dengan tifa, dari suara-suara yang tak seragam namun satu irama dalam ketidaksempurnaannya.
Fadli Zon menutup sambutan dengan ajakan: memperkuat komitmen, memperluas kerja sama, memastikan musik Indonesia terus hidup. Kalimat yang terdengar resmi, tetapi sesungguhnya mengandung kebenaran sederhana: musik harus terus hidup. Tak hanya di ruang digital atau panggung besar, tetapi juga di hati orang-orang yang mungkin tak pernah datang ke konferensi itu.
Karena musik, seperti kebudayaan, tidak bisa disusun dalam tabel capaian. Ia tidak hidup karena kebijakan, tetapi karena manusia masih ingin bersenandung meski dunia semakin bising. Ia bertahan bukan karena peraturan, melainkan karena ada seseorang di malam sunyi yang memainkan gitar untuk menenangkan pikirannya.
Dan mungkin, jika kita ingin benar-benar membangun “ekosistem musik”, kita harus mulai dari sana, dari keheningan setelah nada terakhir selesai dimainkan. Dari kesadaran bahwa musik bukan sekadar alat diplomasi atau sumber devisa, melainkan cara paling lembut untuk menjadi manusia.
Sebab pada akhirnya, nada dasar yang kita cari bukanlah C mayor atau G minor. Ia adalah nada kemanusiaan, yang membuat kita berhenti sejenak, mendengarkan, dan menyadari bahwa di antara semua bunyi, ada sesuatu yang tak bisa dijelaskan, tetapi bisa dirasakan: keindahan yang membuat kita tetap bertahan di dunia ini.
*Gunoto Saparie adalah Ketua Umum Dewan Kesenian Jawa Tengah (DKJT)

Penulis Indonesiana
3 Pengikut

Komunitas Sastra Bulan Purnama 14 Tahun
1 jam lalu
Sastra, Kesehatan Mental, dan Harapan
2 hari laluBaca Juga
Artikel Terpopuler