Bahaya Tersembunyi di Balik Manisnya Gula

3 jam lalu
Bagikan Artikel Ini
img-content
Bahaya Tersembunyi di Balik Manisnya Gula: Dampak Kesehatan dan Tanggung Jawab Konsumsi
Iklan

***

Wacana ini ditulis oleh Annisa Ardianti Br Tarigan, Luthfiah Mawar M.K.M., Helsa Nasution, M.Pd., dan Dr. M. Agung Rahmadi, M.Si. Lalu diedit oleh Aisyah Umaira, Andieni Pratiwi, Andine Mei Hanny, Dwi Keisya Kurnia, dan Naila Al Madina dari IKM 6 Stambuk 2025, Fakultas Kesehatan Masyarakat, UIN Sumatera Utara.

Dalam sebuah percakapan dengan seorang ibu rumah tangga di Medan, ia berkata lirih, “Anak saya setiap hari minta minuman manis kemasan. Kalau tidak diberi, ia bisa menangis berjam-jam.” Pernyataan sederhana ini mencerminkan betapa gula, yang sejatinya hanya salah satu zat gizi sederhana, telah menjelma menjadi bagian tak terpisahkan dari pola makan sehari-hari, bahkan sejak usia kanak-kanak. Keterikatan emosional terhadap rasa manis tidak hanya membentuk kebiasaan, tetapi juga membuka pintu bagi berbagai persoalan kesehatan yang serius.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Gula pada hakikatnya merupakan karbohidrat sederhana yang secara alami terdapat pada buah, sayur, dan susu. Ia juga hadir sebagai bahan tambahan dalam makanan serta minuman olahan. Tubuh memanfaatkannya sebagai sumber energi cepat, tetapi bila dikonsumsi secara berlebihan, gula menjadi awal dari rangkaian persoalan medis, mulai dari kenaikan berat badan, resistensi insulin yang mengarah pada diabetes tipe 2, hingga peradangan kronis yang memicu penyakit jantung. Sebagaimana dicatat dalam studi JAMA Internal Medicine, individu dengan kalori harian dari gula tambahan sebesar 17–21 persen memiliki risiko kematian akibat penyakit jantung 38 persen lebih tinggi, dan angka itu melonjak hampir dua kali lipat jika asupan gula melampaui 21 persen (Halodoc, 2023).

Jenis gula sendiri beragam. Gula pasir sebagai bentuk paling umum berasal dari tebu, sementara gula jawa dan gula aren dihasilkan dari nira kelapa atau tebu, dengan kandungan antioksidan tertentu. Madu yang juga tergolong gula alami sering dianggap lebih sehat, tetapi tetap harus dikonsumsi dengan bijak. Gula tambahan yang banyak digunakan dalam makanan olahan menjadi penyumbang terbesar masalah kesehatan masyarakat, karena hadir dalam jumlah tersembunyi yang kerap tidak disadari konsumen.

Asupan gula berlebih tidak hanya berdampak pada sistem metabolisme, melainkan juga menimbulkan masalah kesehatan yang luas. Obesitas merupakan salah satu konsekuensi paling nyata, karena gula mengganggu kerja hormon leptin, yang berfungsi memberi sinyal kenyang pada otak. Ketika leptin mengalami resistensi, seseorang cenderung terus merasa lapar meskipun kebutuhan energi sudah terpenuhi, sehingga berat badan meningkat drastis. Dampak lain yang kerap luput diperhatikan adalah kerusakan gigi. Bakteri di mulut menjadikan gula sebagai sumber makanan, dan hasil fermentasi bakteri berupa asam perlahan mengikis lapisan enamel gigi, menimbulkan karies yang menyakitkan.

Konsumsi gula juga terbukti memberi tekanan pada organ hati. Fruktosa, salah satu bentuk gula, tidak dapat diproduksi tubuh dalam jumlah besar secara alami. Saat asupannya berlebihan, organ hati dipaksa bekerja ekstra hingga akhirnya terjadi perlemakan hati. Dalam jangka panjang, kondisi ini memicu gangguan serius yang tidak jarang berujung pada kerusakan fungsi hati permanen. Tidak berhenti di situ, terlalu banyak gula juga berkaitan dengan meningkatnya tekanan darah, yang pada gilirannya memperbesar risiko penyakit jantung.

Daftar makanan dan minuman tinggi gula yang beredar di pasaran begitu panjang. Minuman bersoda, jus buah kemasan, kopi manis dengan tambahan krim dan boba, hingga susu rasa, semuanya dikemas menarik sehingga seolah tidak berbahaya. Begitu pula dengan makanan seperti biskuit, kue, donat, hingga sereal yang kerap dipersepsikan sehat, padahal sarat gula dan kalori. Bahkan bumbu dapur populer seperti saus tomat atau saus BBQ sering kali mengandung gula tersembunyi. Di sinilah letak bahaya yang jarang disadari: gula hadir dalam begitu banyak produk sehari-hari, sehingga tubuh mengakumulasi asupan tanpa terasa.

Meski begitu, gula tetap memiliki fungsi vital. Ia menyediakan energi instan yang dibutuhkan tubuh, dan dalam kadar tertentu dapat memicu pelepasan hormon yang menimbulkan rasa bahagia. Namun, sensasi kebahagiaan itu sering menjerumuskan konsumen ke dalam lingkaran kecanduan. Rasa manis membuat otak ingin terus mengulanginya, sehingga seseorang mudah terjebak dalam pola konsumsi berlebihan.

Kesadaran menjadi kata kunci dalam mengendalikan konsumsi gula. Membaca informasi gizi pada label kemasan adalah langkah sederhana namun krusial. Mengurangi asupan minuman bersoda, jus kemasan, dan kudapan manis perlu dilakukan secara konsisten, sambil memperbanyak konsumsi buah, sayur, dan susu rendah lemak. Tidak berarti gula harus dihapuskan sama sekali, melainkan dibatasi sesuai kebutuhan tubuh agar tidak merusak organ vital.

Dalam perbincangan dengan seorang dokter gizi, ia menegaskan, “Masalahnya bukan pada gula itu sendiri, melainkan pada manusia yang kehilangan kendali dalam mengonsumsinya.” Pernyataan tersebut membuka ruang refleksi yang lebih luas. Masyarakat harus didorong untuk tidak hanya memahami risiko, tetapi juga berani melakukan perubahan gaya hidup.

Akhirnya, gula adalah simbol dari dilema modern: ia memberi energi dan rasa nikmat, tetapi juga membawa risiko kesehatan yang bisa menghancurkan kualitas hidup. Kesadaran kolektif, pendidikan gizi sejak dini, serta keberanian untuk menata ulang pola makan menjadi tuntutan yang tak bisa ditawar. Bila masyarakat gagal mengendalikan konsumsi gula, maka generasi mendatang akan mewarisi beban penyakit kronis yang seharusnya bisa dicegah. Maka dari itu, langkah pengendalian bukan sekadar pilihan, melainkan tanggung jawab moral demi masa depan yang lebih sehat.

Corresponding Author: Zulpiani Br Sipayung ([email protected] )

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Bagikan Artikel Ini

Baca Juga











Artikel Terpopuler