x

Banjir Jakarta Akibat Perubahan Tata Lingkungan

Iklan

dian basuki

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Mengapa Berubah Itu Sukar?

Terdapat beragam alasan mengapa orang atau masyarakat sukar diajak berubah.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Tak lama lagi, dengan kehadiran presiden baru, banyak orang berharap akan berlangsung perubahan ke arah yang positif. Namun, sebagian lainnya mungkin lebih suka dengan status quo. “Buat apa berubah? Apa keuntungannya bagi saya?” adalah contoh pertanyaan yang kerap dilontarkan ketika seseorang atau kelompok orang diajak untuk berubah. Sebagian lagi barangkali bersikap apatis, sebab mereka hanya dijadikan obyek dan tidak dilibatkan dalam perubahan.

Dalam skala organisasi atau perusahaan pun kondisinya nyaris serupa. Orang bertanya: “What is in it for me?” “Apakah karier saya bakal meningkat? Apakah pendapatan saya akan bertambah? Apakah beban pekerjaan saya jadi lebih banyak? Apakah fasilitas saya akan lebih bagus?” Orang kerap mengukur perubahan dari posisi masing-masing: menguntungkan atau tidak. Karena itu, tidak mengherankan bila banyak orang berpindah partai, berpindah dari mendukung Bapak Danu ke Bapak Janu, lewat perhitungan untung rugi, bukan idealisme atau cita-cita yang ingin diperjuangkan.

Perubahan bagi suatu cita-cita tentu saja lebih sukar. Mengubah mindset atau cara berpikir adalah bagian yang paling sulit, sebelum melangkah ke mengubah cara kerja. Bila mindset sudah klop dengan tujuan perubahan, langkah berikutnya biasanya menjadi lebih mudah, sebab yang diajak berubah sudah mengerti mengapa harus berubah, apa tujuannya, dan mereka mau berubah.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Mereka yang menjadi sponsor atau inisiator perubahan akan berhadapan dengan apa yang lazim terjadi dalam setiap inisiatif perubahan, yakni sindrom resisten terhadap perubahan. Contohnya ialah mereka yang cemas karena belum mengenal hal-hal baru yang dibawa oleh perubahan, mereka yang menolak karena merasa tidak memperoleh manfaat apapun dari perubahan, dan mereka yang enggan berubah meskipun sudah mengetahui manfaatnya lantaran telah merasa nyaman berada di tempat atau situasi sekarang.

Mengangkat kaki dari zona nyaman memang tidak mudah. Sonnenberg, dalam bukunya Managing with a Conscience (1994), menengarai tujuh alasan mengapa orang atau organisasi resisten terhadap perubahan.

Pertama, apa yang disebut sebagai procrastination atau kecenderungan untuk menunda perubahan karena merasa masih mempunyai banyak waktu untuk melakukan perubahan. Sponsor perubahan harus meyakinkan orang lain bahwa perubahan yang lebih awal akan jauh bermanfaat ketimbang terlambat berubah.

Kedua, sebagian orang berpendapat bahwa perubahan tidak memberikan manfaat sehingga enggan untuk berubah. Ketiadaan motivasi dapat menghambat proses perubahan dalam perusahaan. Dalam konteks perusahaan, mengomunikasikan secara efektif manfaat yang dapat dipetik karyawan secara individual, seperti peluang untuk menguasai kompetensi baru yang berguna untuk meningkatkan karier, dapat mengubah keengganan tersebut menjadi partisipasi aktif dalam proses perubahan.

Ketiga, sebagian orang mungkin merasa takut tidak akan mampu menguasai hal-hal baru. Mereka takut gagal. Mengikutsertakan karyawan dalam kegiatan seminar dan workshop akan sangat membantu organisasi maupun karyawan tersebut dalam mengatasi kendala ini.

Keempat, keengganan atau penolakan terhadap perubahan juga dapat disebabkan oleh kekhawatiran bahwa perubahan itu akan mengubah peran mereka di dalam organisasi. Misalnya, khawatir bahwa kewenangan mereka dikurangi atau bahkan jabatan mereka ditiadakan. Komunikasi komprehensif yang dilakukan sedini mungkin akan menekan kekhawatiran serupa.

Kelima, keraguan terhadap kemampuan inisiator perubahan, atau bahkan ketidaksukaan, dapat mengurangi penerimaan seseorang terhadap inisiatif perubahan. Kepemimpinan adalah sesuatu yang membuat orang lain memercayai Anda. Karena itulah, pemimpin perubahan harus menunjukkan bahwa ia memang layak dipercaya untuk mengantarkan perusahaan atau organisasi atau masyarakat ke tataran baru yang lebih tinggi.

Keenam, seringkali terjadi apa yang dibayangkan oleh orang lain mengenai perubahan berbeda dengan apa yang dipikirkan oleh pemimpin perubahan. Rintangan ini dapat diatasi apabila informasi mengenai rencana perubahan beserta dampaknya disampaikan sejak dini secara utuh dan menyeluruh.

Ketujuh, tidak setiap orang siap atau berani memasuki wilayah baru atau mengenal sesuatu yang baru. Mereka lebih nyaman dengan apa yang sudah mereka tekuni selama ini. Komunikasi yang intensif akan mencerahkan pengetahuan mereka mengenai hal baru.

Ada cerita menarik yang dituturkan mendiang John Kenneth Galbraith tentang bagaimana kelompok masyarakat tertentu menyikapi perubahan. Dalam bukunya, The Nature of Mass Poverty, ekonom tersebut berkisah tentang kunjungannya ke berbagai tempat untuk menjawab pertanyaan ‘mengapa beberapa kelompok masyarakat terus-menerus miskin selama berabad-abad?’. Dari risetnya, Galbraith mendapati bahwa masyarakat miskin ini ternyata malah mengakomodasi kemiskinan mereka. Walaupun mereka hidup dalam kondisi memprihatinkan, namun mereka merasa lebih sulit untuk menerima tantangan yang dapat mengubah kehidupan mereka jadi lebih baik. **

Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

Sabtu, 27 April 2024 14:25 WIB

Terkini

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

Sabtu, 27 April 2024 14:25 WIB