Berapa persen dari fasilitas umum kita yang menyediakan ruang akses bagi para difabel atau penyandang cacat? Seberapa besar perbaikan sarana pedestrian demi kepentingan mereka dibanding tingkat penjualan kendaraan-kendaraan yang terus meningkat?
Jawabannya mungkin tidak banyak. Bukankah masih sering kita temukan kendaraan umum tanpa dilengkapi kursi bagi penumpang difabel. Atau gedung sekolah maupun perkantoran yang tidak disertai lift yang amat membantu penyandang cacat. Apalagi informasi di lokasi-lokasi strategis perkotaan, misalnya berupa papan petunjuk buat pejalan tuna rungu, nyaris tidak ada sama sekali, bahkan di ibukota sebesar Jakarta.
Barangkali kesadaran untuk memperhatikan kaum difabel memang tidak tergugah begitu luas. Mereka sesungguhnya eksis, namun sekaligus tidak digubris. Bahkan juga cenderung diabaikan, tercermin dari peristiwa seorang penyandang cacat yang mesti duduk di lantai commuter—kendati kursi difabel disediakan di dalam rangkaian kereta. Kejadian sederhana yang sepatutnya membuat kita malu sebagai orang Indonesia yang katanya ramah dan baik budi itu.
Jangankan memperhatikan para difabel dalam kehidupan nyata, para penulis kita pun tampaknya kurang mengangkatnya menjadi bahan cerita. Bisakah dihitung berapa sastrawan atau pengarang populer kita yang mengisahkan seorang tuna netra sebagai tokoh utamanya? Atau anak kecil bisu tuli selaku protagonisnya? Setahu saya, kaum-kaum terpinggirkan, yang miskin, maupun perempuan termarginalkan memang hadir di beberapa karya, namun kehadiran mereka nyaris minim makna lantaran lebih kerap sebagai figuran—untuk tidak menyebutnya sebagai: pelengkap penderita kisah rekaan kita.
Padahal, tema-tema difabel sudah sering diangkat oleh para penulis luar, yang beberapa di antaranya bahkan menjadi suatu idiom bagi gerakan penyadaran sosial. Blindness dari Jose Saramago, atau cerita-cerita pendek Jepang tentang kisah kemanusiaan guru sitar yang buta karya Junichiro Tanizaki, adalah beberapa permisalannya. Atau coba simak film dahsyat A Turtles Can Fly karya Bahgman Ghobadi asal Iran, menggambarkan sekelompok anak cacat di pengungsian perang Irak. Kisah-kisah mereka terasa jauh menyentuh karena mengetengahkan kenyataan yang luput kita simak. Kisah-kisah mereka terasa jauh lebih inspiratif, sekaligus mencerahkan, tinimbang tayangan sinetron kita yang miskin imajinasi dan penyadaran sosial itu.
Kecenderungan minimnya eksplorasi tentang kaum difabel dalam karya sastra sebenarnya tema yang sangat menggelitik. Pasalnya, menuliskan mereka dalam dunia imajiner pun tidak terlalu intens dilakukan, apalagi bila sungguh memperhatikannya dalam kenyataan. Moga-moga saya keliru, seolah-olah, sejak dalam rekaan pun kita tak berniat untuk menghadirkan sosok-sosok mereka. Seolah-olah, sejak dalam pikiran, kita telah mengabaikan keberadaannya.
Foto: arsip tempo.co
Ikuti tulisan menarik Ni Made Purnama Sari lainnya di sini.