x

Iklan

dian basuki

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Berjuang Meletakkan Kata

Di tengah rasa sepi, para penulis berusaha menembus apa yang masih jadi misteri bagi dirinya.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

 “We write to taste life twice, in the moment and in retrospect.” 

--Anaïs Nin (Penulis Prancis, 1903-1977)

 

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

 

“Memang aneh,” tulis Paul Auster, penulis The New York Trilogy, “menghabiskan hidup dengan duduk sendiri di suatu ruangan sepi dengan pena di tangan, jam demi jam, hari demi hari, tahun demi tahun, berjuang meletakkan kata-kata di atas secarik kertas.”

Auster barangkali baru menyadari keanehan itu ketika sebuah pertanyaan sederhana diajukan kepadanya: mengapa menulis?

Franz Kafka pernah mengatakan, sebuah buku ditulis sebagai kampak untuk memecahkan lautan beku di dalam diri kita. Novelis, yang duduk sendirian bersama kalimat-kalimatnya, senantiasa belajar dari setiap kalimat baru yang ia tulis untuk menulis kalimat berikutnya. Novelis berbicara bukan untuk orang lain, kata Russell Banks, melainkan untuk dirinya sendiri dan menulis semata-mata untuk menembus apa yang masih menjadi misteri baginya, secara moral atau metafisikal ataupun sosial.

Lantaran itulah, kata Banks (Notes on Literature and Engagement), dalam hampir 300 tahun sejarah sastra Amerika, teramat sedikit novel yang menjadi kekuatan penting bagi perubahan sosial. Barangkali, novel Amerika yang paling dikenal mempengaruhi masyarakat adalah Uncle Tom’s Cabin (1852). Karya Harriet Beecher Stowe ini membuat orang berpikir betapa menyakitkan perbudakan. “Inikah wanita kecil yang telah memicu perang besar?” tanya Abraham Lincoln tatkala Stowe diperkenalkan kepadanya di Gedung Putih.  

Bila menulis hanya untuk diri sendiri, atau seperti guyonan Jurge Lois Borges yang menulis untuk teman-temannya, mengapa banyak despot merasa terganggu? Kata Toni Morrison, rezim-rezim otoritarian, para diktator dan despot seringkali—namun tidak selalu—bodoh. Tapi tidak satupun dari mereka yang cukup bodoh untuk memberi ruang kebebasan kepada penulis pembangkang untuk mempublikasikan penilaian mereka atau mengikuti naluri kreatif mereka.

Para despot tahu, kata Morrison, memberi ruang kebebasan sama halnya dengan menciptakan bahaya bagi diri mereka. Mereka tidak cukup bodoh untuk membatalkan kendali mereka (yang jahat atau busuk) atas media.

Kendati begitu, kata Nadine Gordimer, penulis tetap harus menyatakan apa yang ia saksikan tentang “apa yang sebenarnya terjadi”. Di belahan bumi manapun senantiasa ada orang-orang yang memilih menjadi saksi dan tanpa rasa takut mengisahkannya kepada dunia, seperti Chinua Achebe dan Wole Soyinka di Afrika dan Alexander Sholzenetsyn di Uni Soviet.

Di tengah penindasan, “sastra telah dan tetap menjadi alat bagi manusia untuk menemukan kembali diri mereka.” Gordimer tak sepakat dengan Sartre ketika ia mengatakan ada saatnya seorang penulis harus berhenti menulis dan bertindak semata-mata melalui cara lain karena frustrasi atas konflik tak terpecahkan antara ‘penderitaan karena ketidakadilan di dunia’ dengan ‘pengetahuan bahwa cara terbaik yang ia tahu untuk dilakukan adalah menulis’. “Seorang penulis harus terus menggunakan hak untuk berbicara perihal kesukaran,” kata Gordimer.

Andai saja, dan mungkin saja memang demikian, Auster merasa seperti David Grossman tatkala berbicara ihwal kesukaran. Dalam Writing in the Dark, Grossman menulis, “Ada kalanya saat aku bekerja.. aku berpikir: Sekarang, saat ini, duduk pula penulis-penulis lain, yang tak kukenal, di Damaskus dan Teheran, di Kigali atau Dublin, di Israel dan di Palestina, di Chechnya dan di Sudan, di New York dan di Kongo… yang, seperti aku, terlibat dalam kerja penciptaan yang asing dan mengherankan, di dalam realitas yang mengandung begitu banyak kekerasan dan keterasingan, ketakacuhan dan kekurangan. Aku memiliki sekutu jauh yang tidak mengenalku, dan bersama-sama kami merajut jejaring tanpa bentuk ini, merajut kekuatan untuk mengubah dunia dan menciptakan dunia, kekuatan untuk memberikan kata-kata kepada yang diam.”

Di saat seperti ini, penulis di manapun akan merasa dirinya berdiri di atas konflik antara posisi penulis dan posisi negara-bangsa, sebuah tema yang dieksplorasi oleh Salman Rushdie dalam Notes on Writing and the Nation. Nasionalisme telah mengkorupsi penulis, kata Rushdie. Nasionalisme adalah ‘revolusi melawan sejarah’ yang berusaha menutup apa yang tidak bisa lagi ditutup. Nasionalisme memagari apa yang seharusnya tanpa tapal batas. Tulisan yang bagus, kata Rushdie, mengasumsikan bangsa yang tanpa tapal batas. Ia meyakini, “Penulis yang melayani tapal batas telah menjadi (sekedar) pengawal tapal batas.”

Ketika jutaan orang yang menghadapi ancaman atas eksistensinya, nilai-nilainya, kebebasannya, dan identitasnya sebagai manusia, penulis menjadi saksi sekaligus berjuang menemukan dirinya kembali di tengah segala kesukaran. Hampir setiap orang menghadapi ancamannya sendiri. Setiap diri kita merasa betapa ‘situasi’ uniknya bisa berubah cepat menjadi jebakan yang merampas kebebasannya, rasa ‘pomah’ di negerinya sendiri, bahasa pribadinya, kehendak bebasnya.

Menjadi tugas sejati novelis, kata John Updike, untuk mendramatisasi mula-mula bagi dirinya sendiri dan akhirnya bagi yang lain tentang apa artinya menjadi manusia di zaman kita dan di sepanjang masa, apa maknanya menjadi manusia di tempat kita dan di setiap tempat. “Kita selalu bergantung kepada tukang cerita untuk menceritakan pada kita apa maknanya menjadi manusia.”

Dan mengapa kata yang terpilih untuk menunaikan tugas itu? Barangkali karena kekuatan biusnya yang memabukkan. Seperti tutur Nadine Gordimer, memiliki kata sama artinya dengan kekuasaan tertinggi, prestise, kekaguman, tapi terkadang bisa menjadi rayuan berbahaya…

Di hadapan Burn This Book(2009) yang disunting oleh Toni Morrison ini, kita memperoleh sajian 11 esai yang menawan dari penulis yang menghadirkan pikiran dengan cara demikian beragam. Gordimer, Rushdie, Updike, Banks, Pamuk, Auster, Park, Grossman, Prose, Iyer, dan Morrison mengayakan pengertian kita tentang menulis dan menjadi manusia. Membaca kitab ringkas ini menjadikan kita yakin pada apa yang dikatakan oleh Morrison bahwa “hidup dan karya seorang penulis bukanlah berkah bagi kemanusiaan, melainkan kemestian baginya.” Atau dalam kata Auster, “Karena engkau harus melakukannya, karena engkau tak punya pilihan.”

Antologi esai ini memang tipis, tapi jangan berpikir bahwa ia kehilangan kekuatannya untuk mengingatkan kita bagaimana menjadi manusia. (sbr foto: icysedgwick.com) ***

Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu

Kisah Naluri

Oleh: Wahyu Kurniawan

Selasa, 23 April 2024 22:29 WIB

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu

Kisah Naluri

Oleh: Wahyu Kurniawan

Selasa, 23 April 2024 22:29 WIB