Menggugat Kekerasan Atas Nama Agama

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB
Bagikan Artikel Ini
img-content0
img-content
Iklan
img-content
Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Menggambarkan tentang betapa mengerikannya kekerasan atas nama agama.

            Isu tentang kasus kekerasan atas nama agama memang bukan barang baru, tapi tetap menarik untuk ditelaah. Isu ini menarik karena selalu saja terjadi hal demikian di sekitar kita. Selalu saja ada yang melegalkan kebencian dan kekerasan atas nama agama. Dan selalu saja ada yang mengajarkan tentang penghalalan menggunakan kekerasan.

            Kekerasan atas nama agama memang marak terjadi, terutama di berbagai daerah di Indonesia. Karena Indonesia adalah Negara di mana perbedaan sangat mudah ditemukan. Banyaknya suku, agama dan kepercayaan membuat Indonesia menjadi Negara yang Plural. Terkadang  atas alasan perbedaan tersebut, banyak terjadi kasus kekerasan. Salah satu kasus kekerasan yang berdampak besar  yang terjadi di Indonesia adalah kekerasan atas nama agama.

            Telah banyak perspektif dari para ahli untuk mengetahui penyebab dari kasus ini. Sehingga telah banyak kesimpulan yang dikeluarkan para ahli tersebut. Ada yang mengatakan bahwa konflik yang terjadi bukanlah konflik antar agama atau kepercayaan dengan agama atau kepercayaan yang lainnya. Konflik tersebut adalah konflik kepentingan pribadi untuk berkuasa, ada juga yang berpendapat konflik untuk memperluas pengaruh, serta untuk menguasai perekonomian.

Dalam tulisan ini, penulis tidak akan membahas lebih jauh tentang penyebab dari kasus-kasus ini. Karena mengingat sudah begitu banyak yang telah menelaahnya lebih dalam. Akan tetapi, penulis akan menunjukkan akibat dari fakta tersebut. Karena hanya dengan memahaminya, serta menyaksikan lebih dekat akibat dari kasus itu, maka kita akan dengan mudah memahami bahwa, kemanusiaan memang lebih penting dari segalanya. Terutama kasus-kasus kekerasan atas nama agama di berbagai daerah di Indonesia.

Kekerasan Atas Nama Agama di Indonesia

            Dalam buku Laporan Investigasi yang diterbitkan oleh LBH Jakarta dan Kontras pada tahun 2008 ada beberapa kasus kekerasan karena perbedaan agama serta kepercayaan. Pada tahun 2002, kasus kekerasan terhadap kelompok-kelompok yang memeluk agama dan kepercayaan yang berbeda dengan mayoritas meningkat pesat. Ada beberapa konflik yang terjadi di masyarakat atas dasar agama. Mulai dari kekerasan terhadap Jamaah ahmadiyah di Manislor Kuningan Jawa Barat tahun 2007, kekerasan terhadap Jama’ah Al Qiyadah al Islamiyah Siroj Jaziroh Padang Sumatra Barat tahun 2007 , sampai kekerasan terhadap Jemaat Gereja di Bandung Jawa barat tahun 1995, 1999, 2005 dan 2007.

            Dalam buku Refleksi Keberagaman Agama, Hukum Sesat dan Menyesatkan Hukum yang diterbitkan oleh YLBHI tahun 2009, juga banyak tercatat berbagai kasus kekerasan atas nama agama. Mulai dari kasus shalat dua bahasa di Malang  tahun 2002, kasus ajaran Lia Eden di Senen Jakarta Pusat, kasus shalat bersiul di Polewali Mandar Sulbar, dan sebagainya.

            Adapun kasus kekerasan yang akhir-akhir ini terjadi adalah kasus kekerasan yang di alami oleh komunitas Syiah di Sampang  (http://www.tempo.co/read/news/2013/07/24/078499176/Kasus-Syiah-Sampang-Pemerintah-Akui-Terpojok diunduh tanggal 18 Juli 2014), juga kasus kekerasan terhadap umat katolik di Sleman Yogyakarta tahun 2014 (http://www.tempo.co/read/news/2014/06/05/063582691/Penyerang-Umat-Katolik-Bawa-Samurai-dan-Penyetrum diunduh pada tanggal 18 Juli 2014).

            Konflik tersebut terjadi karena adanya kelompok mayoritas yang ingin mendominasi kelompok minoritas. Menurut C Wright Mills dalam bukunya berjudul The Power elite yang dikutip Hasrullah dalam bukunya “Dendam Konflik Poso” bahwa Dominasi berarti kemampuan untuk memaksakan kehendak walaupun orang lain menentangnya.

            Akibat dari dominasi ini, maka kaum marginal yang berbeda dengan kaum mayoritas mendapat tekanan dari kaum mayoritas. Tekanan dilakukan karena kaum mayoritas tidak mau melihat adanya perbedaan di sekitar mereka. Begitupun ketika kaum mayoritas pemeluk agama ingin mendominasi dan menyingkirkan kaum minoritas pemeluk agama lain. Maka terjadilah berbagai penekanan agar kaum minoritas meninggalkan kepercayaannya dan beralih ke kaum mayoritas.

            Konflik memang bisa terjadi karena kemajemukan, kelompok lain melakukan ketidak adilan terhadap kelompok lainnya. Dalam buku Nationalism and Ethnic Conflict karya Brown masih kutipan Hasrullah menyatakan bahwa di masyarakat majemuk cenderung lebih sulit untuk mengakomodasi semua kepentingannya, sehingga keadilan disini menjadi sangat penting sebagai penjaga dari tuntutan kelompok-kelompok yang merasa dirugikan. Ketidak adilan ataupun diskriminasi kelompok atas kelompok yang lain, pada akhirnya akan berdampak pada ketimpangan, baik ketimpangan ekonomi, pendidikan, hak-hak hukum dan politik.

            Dampak dari ketidakadilan yang dilakukan kaum mayoritas dan kaum minoritas adalah ketimpangan dan ketidakseimbangan kehidupan umat manusia. Begitupun ketika kaum mayoritas pemeluk agama melakukan ketidakadilan kepada kaum minoritas pemeluk agama lain, maka akan terjadi ketimpangan kehidupan.

            Konflik kelompok terutama kelompok agama, juga dapat terjadi karena persaingan antar kelompok lainnya. Dalam buku Human Group and Social Categories karya Tafjel yang masih dikutip oleh Hasrullah mengungkapkan bahwa eksistensi suatu kelompok dapat dilihat dari kemampuan kelompok untuk mendapatkan identitas positif dari lingkungan sosialnya, dengan jalan kompetisi maupun dengan melakukan perbandingan dengan dengan kelompok lain. Ketika eksistensi kelompok diukur melalui perbandingan, maka hal itu dapat memunculkan persaingan hebat yang awalnya persaingan sehat justru berujung konflik.

            Berdasarkan teori di atas, akibat dari persaingan untuk mengalahkan kelompok agama lain, maka kaum agawan melakukan berbagai cara termasuk melakukan berbagai kekejaman terhadap kelompok agama lainnya demi sebuah identitas serta eksisitensi. Dan kaum yang tertindas akan menderita.

Padahal dalam UUD NKRI Tahun 1945 telah menjamin tentang kebebasan memeluk agama dan kepercayaannya. Seperti dalam pasal 28 E ayat 1, pasal 28 E ayat 2, pasal 28 I ayat 1, serta pasal 29 ayat 2. Pasal-pasal tersebut memberikan keluasan untuk meyakini dan menjalankan agama sesuai keyakinan masing-masing penganutnya. Tapi dalam kenyatannya, banyak orang yang tidak patuh pada konstitusi, tidak patuh pada Hak Asasi Manusia, tidak patuh kepada Tuhannya sendiri.

Kesimpulan Dari Dampak Kekerasan Atas Nama Agama

            Seperti dampak dari kekerasan dalam bentuk lainnya, kekerasan atas nama agama juga menyebabkan ketimpangan sosial ekonomi masyarakat yang menjadi korban. Selain itu, banyak terjadi pelanggaran HAM di dalamnya. Banyak anak yang menjadi yatim piatu, seorang istri yang menjadi janda, seorang ibu yang kehilangan anaknya serta seorang suami yang kehilangan istrinya. Ada juga orang yang kehilangan hartanya, anak yang tidak lagi bersekolah, seorang yang tidak bisa mendapatkan pelayanan kesehatan yang layak juga menjadi dampak dari kekacauan ini.

            Banyak dampak negatif dari perbuatan tersebut, dan tidak mempunyai manfaat sedikitpun dari hal itu. Maka saatnya kita meninggalkan kekerasan dan memilih perdamaian didalamnya. Bukankah kita terlahir kedunia ini sebagai saudara? Bukakah manusia lebih penting dari agama? bukankah perdamaian lebih penting dari peperangan? Dan bukankah cinta lebih utama daripada kebencian?

            Seperti kata Mahatma Gandhi dalam Buku karya Easwaran dengan judul Gandhi The Man, "Saya menolak kekerasan karena saat terlihat menghasilkan kebaikan, kebaikan itu hanyalah sementara, keburukan yang dihasilkannya adalah kekal".

Bagikan Artikel Ini
img-content
Mulya Sarmono

Penulis Indonesiana

1 Pengikut

img-content

Semangat Karbala

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB
img-content

Corruption Effect

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Baca Juga











Artikel Terpopuler