x

Iklan

Mulya Sarmono

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Semangat Karbala

Menceritakan tentang semangat Sayyidina Husain serta keberaniaannya dalam menegakkan kebenaran.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

            Panas terik membakar padang karbala saat pasukan Yazid menggempur Sayyidina Husain dan keluarganya. Sungai eufrat sebagai sumber air satu-satunya berhasil dikuasai oleh pasukan Yazid sehingga Sayyidina Husain tak dapat menghapuskan dahaga yang semakin lama semakin menyiksa. Pun keluarga Husain yang nota bene keturunan langsung Sang Nabi Agung tak luput dari penyiksaan.

            Kumpulan pasukan menyerang rombongan kecil Sayyidina Husian. Husain dengan memakai pakaian milik Kakeknya Nabi Muhammad Saw dan menghunus Pedang milik Ayahnya Ali bin Abu Tahlib dengan mengendarai kuda menghadang pasukan itu dengan gagah berani. Satu per satu keluarga Al Husain berguguran dan kemah yang dibangunnya habis dilahap api.

            Tak terelakkan, pasukan yang banyak itu berhasil memanah beberapa bagian tubuh Al Husain. Tubuh Husain terluka parah, padang karbala basah oleh darah dan air mata, namun perlawanannya tak kunjung surut. Baginya mati tak menjadi soal untuk menegakkan kebenaran.

            Tubuh yang di dalamnya mengalir darah suci sang Nabi semakin tak berdaya. Lambat laun tubuh itu tak tahan pula menghadapi berbagai serangan yang tiba. Namun semangat itu tampak tak pernah pudar bahkan didera berbagai senjata. Semangat yang ditanamkan sang Kakek dan sang Ayah ternyata lebih kuat dari beribu pasukan berkuda.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

            Tibalah saat di mana salah satu pasukan memotong dengan semena-mena kepala Al Husain. Matahari dan debu padang karbala menjadi saksi bisu sebuah kekejaman. Pejuang yang tak pernah kenal takut itu kini terbujur kaku. Kepalanya ditancap pada tombak dan diarak, menandakan bahwa betapa kejam musuh kebenaran itu.

            Begitulah kisah yang dilakonkan kepada kita disetiap generasi pembenci ketakbenaran. Bahkan kisah itu menginspirasi Mahatma Gandhi dan Soekarno untuk merebut kemerdekaan. Sebuah kisah yang melambangkan semangat penegakan Hukum Tuhan sebagai dasar dari kebenaran yang nyata.

            Kisah itu diperingati sebagai hari Asyura yang jatuh pada tanggal 10 Muharram tahun Hijriah oleh sebagain besar umat Muslim di dunia. Ada yang memperingati dengan renungan dan tangis, ada yang berpuasa menahan dahaga, bahkan bentuk paling ekstrimnya dengan melukai dan mengalirkan darah sebagai simbol tertumpahnya darah kenabian. Tapi inti dari kisah itu adalah perlawanan terhadap kejahatan.

 

            Indonesia yang saat ini sedang gencar-gencarnya melawan pasukan Yazid –baca: Koruptor- terkadang tak berdaya pula menghadapinya. Mereka dengan kuasa dan uangnya mampu merobohkan sistem hukum yang telah mapan. Hal itu karena mereka membentuk semacam mafia yang tidak hanya berada dalam lingkup birokrasi, tapi juga berada di lingkup penegak hukum. Selain itu, penegak hukum yang tidak progresif dalam menegakkan hukum juga menjadi masalah lain yang tak dapat dianggap sepele.

            Penegakan hukum yang tidak progresif banyak ditemui di Indonesia khususnya di Sulawesi Selatan. Salah satunya adalah penuntutan ringan para koruptor oleh Jaksa Penuntut Umum yang mengakibatkan putusan hakim yang terlalu ringan. Contohnya kasus korupsi dana Bansos Sulsel tahun 2008 yang melibatkan Andi Muallim selaku mantan Sekertaris Provinsi Sulawesi Selatan. Andi Muallim dituntut oleh Jaksa dengan hukuman 3 tahun penjara, denda Rp. 100 juta subsidair tiga bulan kurungan.

            Dari tuntutan Jaksa Penuntut Umum yang sedikit, mengakibatkan sedikitnya putusan hakim yaitu 2 tahun penjara, denda Rp. 50 juta subsidair tiga bulan kurungan. Hal ini tidak mencerminkan penegakan hukum yang progresif. Di mana kejahatan luar biasa (extra ordinary crime) justru dihukum dengan hukuman konvensional atau biasa. Serta banyak lagi kasus korupsi yang putusannya biasa.

            Fenomena ini terjadi karena rasa takut para penegak hukum untuk menumpas korupsi apalagi yang berkaitan dengan ring satu kekuasaan. Padahal korupsi yang dilakukan oleh ring satu kekuasaan atau yang kerugian negaranya sangat banyak begitu merusak sistem Negara dan masyarakat. Kalau keberanian tidak ada, maka koruptor akan  leluasa menjalankan kejahatannya.

 

            Penegak Hukum di Indonesia khususnya di Sulawesi Selatan haruslah belajar dari semangat karbala. Semangat Al Husain dalam perlawanannya terhadap kekuasaan yang sewenang-wenang dan korup. Penegak hukum di Sulawesi Selatan tidak boleh gentar dan takut untuk melawan kekuasaan yang korup, juga tidak boleh lemah terhadap iming-iming kekuasaan serta uang.

            Penegak hukum harus berani menanggung resiko apapun bahkan nyawa menjadi taruhannya untuk menegakkan hukum serta memberantas korupsi sampai ke akar-akarnya. Maka dari itu, penegak hukum baik di Kepolisian, kejaksaan maupun Hakim harus benar-benar memahami perjuangan Al Husain juga mencontohnya.

Ikuti tulisan menarik Mulya Sarmono lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler