Serba Tetangga

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB
Bagikan Artikel Ini
img-content0
img-content
Iklan
img-content
Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Jika panjenengan (anda-red) adalah pecinta musik atau paling tidak mengikuti arus mainstream dunia musik Indonesia, panjenengan tentu sangat faham dengan band yang bernama Repvblik (sering disebut Republik walau penulisannya dengan huruf “v”. Entah sejak

Jika panjenengan (anda-red) adalah pecinta musik atau paling tidak mengikuti arus mainstream dunia musik Indonesia, panjenengan tentu sangat faham dengan band yang bernama Repvblik (sering disebut Republik walau penulisannya dengan huruf “v”. Entah sejak kapan huruf “v” bisa dibaca menjadi “u”. Nanti bisa-bisa video dengan format “flv” dibaca “flu”, “vampir” dibaca “uampir”, “miss-v” dibaca “miss-u”. Kok malah ngomongin huruf “v” dan “u” sih? OK, kembali ke laptop).

Sebenarnya band yang satu ini sudah agak lumayan lama. Paling tidak saya sudah mengenalnya ketika saya masih suka berseragam putih abu-abu, persisnya tatkala saya duduk di bangku kelas 2 SMA. Lagu Repvblik dengan judul “hanya ingin kau tahu” yang dulu sempat menjadi hits di beberapa radio, turut membantu saya menaklukkan hati anak kepala desa yang ndilalah juga tetangga saya (terimakasih Mas Repvublik).

Sebut saja namanya Nana (memang nama sebenarnya). Dia gadis desa yang mirip artis Ibu Kota. Mungkin 11-12 dengan Dian Sastro Wardoyo yang belakangan ngetop lagi lewat mini drama AADC 2014 itu. Hampir semua pemuda desa yang seumuran dengan saya seolah ingin mempersuntingnya. Dasar memang sudah takdir, saya yang waktu itu hanya punya modal gitar, nekat menyatakan cinta dan ndilalah diterima. Matursuwun, duh gusti.

Namun, hubungan asmara kami bubar di tengah jalan. Alasannya sangat absurd dan nyaris tidak bisa saya terima. Pertama, saya diputus hanya dengan secarik kertas, persis dengan cara saya saat menyatakan cinta kepadanya juga dengan secarik kertas. Walaupun selanjutnya saya pertegas melalui kata-kata. Ya seperti orang ijab-qabul begitulah, biar lebih mantep.

Kedua, ini yang membuat saya ndongkol dan mangkel. Karena menurut saya ini adalah keputusan sepihak. Ia menuduh saya selingkuh. Padahal sejauh ini kalau saya selingkuh tidak pernah ketahuan. (Jika ketahuan dan tertangkap basah, pastinya saya legowo). Inilah yang saya anggap tuduhan tanpa bukti.

Tetangga Menjadi Alasan

Ketiga, ini alasan yang menurut saya paling rasional dan membuat saya tidak ngeyel ketika ia meminta putus. Panjenengan semua mau tahu alasannya? Sebenarnya agak wagu sih kalau saya ceritakan. Tapi ya sudahlah, untuk panjenengan semua saya akan bercerita.

Sebenarnya, alasan ini adalah alasan yang bagi sebagaian orang tidaklah menjadi masalah berarti. Tapi bagi kami (saya dan Nana) ini masalah besar, jauh lebih besar daripada persoalan kenaikan harga BBM yang belakangan menjadi Hot Issue. Yup, alasan utamanya adalah karena kami bertetangga. Panjenengan boleh ngeyel atau protes dengan alasan ini, tapi itulah kenyataannya, kami berpisah karena kami bertetangga. Awalnya saya juga nyaris ngeyel seperti panjenengan semua. Tapi, setelah mendengarkan penjelasan yang super lengkap dari Nana (alumni pacar saya), saya hanya bisa mengangguk dan berkata “iya, deal, kita PUTUS”.

Pacaran dengan tetangga memang gampang-gampang susah. Enaknya, panjenengan tidak perlu dipusingkan dengan persoalan uang untuk untuk apel, atau ngajak dia makan, karena untuk apel tinggal jalan kali, untuk makan bisa di rumah masing-masing secara bergantian. Enak bukan? (lebih jelas tentang enaknya punya pacar tetangga sudah secara gamblang dijelaskan oleh Uut Pertama sari lewat lagu populernya, Pacar Lima Langkah).

Namun susahnya punya pacar tetangga adalah anda harus siap dengan omongan para tetangga. Saya jadi teringat dengan perkataan Udin, salah satu teman saya. “Mosok Pacaran Karo Tonggone dewe? Ora kreatif blass”. Setelah saya fikir, omongan Udin ada benarnya juga. Coba panjenengan bayangkan jika panjenengan menikah dengan gadis yang kebetulan adalah tetangga panjenengan. Lantas panjenengan menikah dengan satu tenda, satu pesta, semua dijadikan satu. Karena jika penjenengan memuat pesta dan mertua panjenengan juga menggelar pesta, bisa dibayangkan betapa gaduhnya lingkungan panjenengan. Belum lagi jika saling nanggap dangutan semisal OM Monata atau OM Sera. Pokoke gak pantes blass.

Karena alasan itulah, akhirnya kami resmi bubar. Tapi sebelum bubar, kami menyempatkan diri untuk menggelar ritual perpisahan, ritualnya berupa apa? Itu rahasia kami berdua (silahkan panjenengan menerka-nerka sendiri). Setelah ritual selesai kami saling memberikan kenang-kenangan, saya memberikan sebuah buku harian dengan harapan ia menumpahkan keluh kesahnya dalam buku itu, dan Ia memberikan sebuah sarung yang entah apa tujuannya. Analisis standar saya berpendapat bahwa dengan sarung itu saya akan kelihatan makin “kece” kalau sedang adzan di mushola, karena memang kebetulan saya suka menjadi tukang adzan.

Sebenarnya, dalam praktik kehidupan masyarakat jawa, khususnya Rembang dan sekitarnya, sarung memiliki banyak fungsi. Kadang dijadikan topeng oleh para maling, kadang dijadikan wadah pengganti karung, dan yang paling banyak dijadikan sebagai kemul atau selimut.

****

Kini sudah hampir 6 tahun kami berpisah. Semenjak saya putus, saya memilih kabur ke Semarang lalu lanjut ke Jakarta, sesekali setiap saya pulang ke kampung halaman, suasana tempo doeloe masih ada. Sarung pemberian sang mantan pujaan hati juga masih saya simpan dengan baik, meski kadang hanya saya pakai untuk “kemul”.

Belakangan memori saya kembali dipaksa untuk mengingat roman masa lalu yang indah itu. Lagi-lagi band Repvblik yang jadi biang keroknya. Lagu dengan judul “selimut tetangga” memaksa saya untuk mengingat Nana yang dulu pernah duduk manis di hati saya. Setidaknya lagu itu menyadarkan saya bahwa Nana saat ini adalah tetangga saya, tidak lebih. Sarung yang diberikan kepada saya juga tidak tidak lebih dari “sarung tetangga” saja, yang kadang-kadang berfungsi sebagai “selimut tetangga” (selimut pemberian tetangga).

Ah, sudahlah tidak perlu diperpanjang. Masa lalu adalah masa lalu, masa depan adalah masa depan. Mau diingat sedalam apapaun tetap sama, Ia adalah tetangga saya.

“Hari tak pernah bisa kembali, tapi pagi selalu menawarkan cerita baru” (Copas AADC 2014).

ditulis oleh Misbahul Ulum, Penulis Partikelir yang bermimpi punya istri sholehah

Bagikan Artikel Ini
img-content
Misbahul Ulum

Penulis Indonesiana

0 Pengikut

Baca Juga











Artikel Terpopuler