x

Iklan

Luhut Pandjaitan

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Forgive But Not Forget, Setahun Meninggalnya Nelson Mandela

Tanggal 5 Desember 2013 adalah dimana Nelson Mandela yang bukan saja merupakan tokoh Afrika Selatan, melainkan sudah menjadi tokoh dunia, meninggal dunia. Tapi nilai-nilai kehidupan yang telah ditinggalkannya patut untuk menjadi keteladanan dan pelajaran

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Beberapa waktu lalu, dua Komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), Sitti Noor Laila dan Rochiatul Aswidah datang ke kantor saya dan berbicara cukup banyak.

Salah satu topik yang ditanyakan kepada saya adalah, apakah Presiden Joko Widodo pada waktunya nanti, bersedia menyampaikan semacam pidato yang pada pokoknya menyerukan semacam “rujuk nasional”.

Saya menyambut dengan antusias pemikiran Komnas HAM tersebut, sebab bila bisa terlaksana, kita akan banyak menyimpan energi kita untuk hal-hal lain ke depan dan bukan lagi berbicara serta berkelahi mengenai masa lalu. Forgive but not forget.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Forgive, but not forget adalah kalimatnya yang mendunia karena kata kunci “tidak melupakan” dan “memaafkan”  membuka sebuah halaman baru dalam peradaban manusia masa kini.

Sebagaimana yang dilakukan oleh Nelson Mandela yang telah meninggal tepat setahun lalu, 5 Desember 2013.

Nelson Rolihlahla Mandela, demikian nama lengkapnya, lahir di sebuah desa miskin bernama Mvezo pada  18 Juli 1918. Setelah kehidupan masa kecil, remaja dan muda yang naik dan turun, Mandela akhirnya terjun ke politik. Dan dalam waktu yang tidak lama, ia sudah masuk daftar hitam pemerintah Afrika Selatan. Ditangkap, diperiksa dan di penjara menjadi bagian dari sebagian besar kehidupannya setelah itu.

Mandela mulai mengenal penjara. Hukuman terberat dijatuhkan kepadanya tahun 1964 yaitu penjara seumur hidup. Ia dan sejumlah aktivis anti-apratheid lainnya di penjarakan di Pulau Robben, sebuah pulau kecil di Samudra Atlantik yang setara kejamnya dengan Penjara Alcatraz di Teluk San Fransisco. Tetapi penjara tidak mampu memadamkan semangat perlawanan anti-apartheid sehingga pemerintahlah yang kemudian menyerah, Mandela dan kawan-kawannya harus dilepas.

Dalam pidato pertama sebagai seorang yang merdeka hanya beberapa jam setelah dilepaskan dari penjara pada tahun 1990  (ia selalu mengatakan bahwa ia sebenarnya “menikmati” masa 10.000 hari di penjara!), Mandela berkata bahwa, perjuangan belum selesai tetapi, katanya lagi, we should walk the last mile together. Kita harus menjalankan satu mil terakhir bersama-sama.    

Saya berulang kali membaca buku yang ditulisnya, Long Walk To Freedom (1994), dan saya buka lagi buku tersebut di hari meninggalnya.  Berulang kali saya kagum atas semua yang dijalankannya, terutama ketika ia semakin dekat ke arah kebebasan, ia semakin melihat bahwa kebebasan yang diberikan kepadanya bukan berarti ia akan memimpin masyarakat hitam di Afrika Selatan membalas dendam (revenge) terhadap politik apartheid(berasal dari bahasa Afrikaan yang artinya ‘kebijakan negara yang memisahkan’) yang dijalankan oleh pemerintahan kulit putih sejak tahun 1948.

Nelson Mandela menggunakan kemerdekaannya yang diberikan kepadanya oleh Presiden kulit putih F.W de Klerk untuk meyakinkan seluruh masyarakat bahwa Afrika Selatan yang dicita-citakannya adalah sebuah negara multi-etnis dimana seluruhnya hidup dalam kondisi sama rata dan sama rasa. Pidato-pidatonya selalu bernada sejuk, mengajak kaum hitam untuk menjauhi balas dendam serta meyakinkan masyarakat putih bahwa mereka tidak akan diperlakukan sebagai pihak yang kalah.

Menurut saya, negarawan yang sesungguhnya adalah pribadi yang mau memberi contoh, mau bersikap sahaja, menepati janji yang pernah diucapkannya serta tidak mengingkarinya dengan berbagai alasan  dan tidak pernah menyimpan dendam terhadap musuh politiknya. Aura seorang negarawan sejati biasanya terpancar dari kombinasi faktor-faktor di atas, dan tidak bisa diselubungi dengan tirai palsu atas nama citra atau image.

Sejarah akan mencatat apakah para pemimpin kita pasca tahun 2014, mampu mencatatkan prestasi dan pengabdiannya sebagai sebuah legacy milik bangsa atau bukan, tetapi saya yakin, melihat pribadi Pak Jokowi, beliau akan melakukan hal itu.

www.luhutpandjaitan.com

Ikuti tulisan menarik Luhut Pandjaitan lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

Sabtu, 27 April 2024 14:25 WIB

Bingkai Kehidupan

Oleh: Indrian Safka Fauzi (Aa Rian)

Sabtu, 27 April 2024 06:23 WIB

Terkini

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

Sabtu, 27 April 2024 14:25 WIB

Bingkai Kehidupan

Oleh: Indrian Safka Fauzi (Aa Rian)

Sabtu, 27 April 2024 06:23 WIB