x

Iklan

Wulung Dian Pertiwi

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Pengantar Ilmu Penjajahan

Sayangnya pidato-pidato Bung Karno seperti ini bukan bacaan wajib disekolah, minimal jaman saya sekolah dulu. Mencari buku-bukunya saja setengah mati.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Bukankah banyak antara kita yang silau dengan banyaknya pembangunan, banyaknya usaha swasta, banyaknya modal, banyaknya dana asing tanpa berpikir dari mana berasal? Sudahkah kita berpikir itu benar kemajuan atau bukan bencana besar yang mengancam? Apakah benar kredit-kredit nasional, penetapan suatu standar demi terpandang dalam pergaulan hidup internasional, hakekatnya benar-benar demikian? Halaman 30, 32, dan 33.

Nampaknya memang kemajuan, kemajuan peri kehidupan, kemajuan peradaban, tapi itulah penjajahan modern adalah sebuah politik menanamkan modal ke negeri-negeri jajahan, menanamkan pengaruh, mencampuri rumah tangga negeri jajahan, yang hakekatnya adalah drainage, adalah pengeringan, adalah pengerukan, adalah penghisapan kekayaan negeri jajahan sehingga tumbuh bangsa yang korat-karit (=berantakan), yang diperlakukan semena-mena, yang kokro (=loyo), yang bukan tuan di negeri sendiri, yang kehilangan kekayaan-kekayaan buminya tanpa bisa lagi kembali. Sesungguhnya segala faktor perbaikan itu hanya jalan untuk mempermudah pemerasan. Pembangunan yang diatasnamakan modernisasi itu adalah keperluan mutlak pertumbuhan perusahaan swasta yang hasilnya harus besar-besaran diperdagangkan di pasar-pasar dunia. Pendapat Karl Kautsky, JE. Stokvis, dan Prof. Gonggrijp, masih di halaman 32 dan 33, ditambah halaman 34.

Peraturan-peraturan dan pembangunan-pembangunan, yang dilabeli standar internasional itu, sesungguhnya demi mempermudah pengerukan kekayaan dari negeri jajahan, memusnahkan kemerdekaan negeri-negeri Aceh, Jambi, Kerinci, Lombok, Bali, Boni (=Kalimantan), masih dilengkapi sistem pengajaran yang menghasilkan “kaum buruh halusan”. Dengan itu semua, jadilan Indonesia ladang penjajahan internasional, karena modal asing menemukan surganya di Indonesia. Empat keistimewaan dimiliki Indonesia yaitu satu : negeri kaya sehingga bisa menjadi tempat pengambilan bekal hidup yang sempurna karena kelengkapannya, dua : kekayaan dan tersedianya sumber daya manusia yang terkondisi menjadi sumber murah bekal pabrik-pabrik atau industri-industri negeri penjajah, tiga : pasar sempurna bagi penjualan barang-barang hasil industri asing, empat : lapangan luas bagi penanaman modal. Halaman 35 diambil dari halaman 15 Die Kolonial Politiek, juga dari halaman 169 Over Jawa en de Javanen.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Lalu, masih adakah yang meragukan bahwa penanaman modal itu berarti penjajahan dan penjajahan berarti kejahatan? Kan penanaman modal mendatangkan uang juga bagi Indonesia dari terbukanya lapangan kerja, sumber daya lebih termanfaatkan, bagaimana? O, memang, memang terbuka kesempatan memburuh, memang datang keuntungan bagi Indonesia, tapi itu serpih-serpih, itu sisa-sisa dari keuntungan berlipat kaum pemodal, yang selalu sebenarnya bukan sungguh-sungguh ditujukan bagi memuliakan bangsa tanah jajahan. Ibarat wadah gula berisi penuh, maka selamanya tanah jajahan akan dikerubuti semut, dan ketika gula habis, maka wadah ditinggalkan, tanah jajahan merana semakin terpuruk sudah terhisap kekayaan tanpa kembali, ditambah kerusakan yang makin memundurkan kualitas kehidupan. Itu jawaban Prof. Snouck Hurgronje dari beberapa halaman menjabarkan hakekat penanaman modal.

Teori Prof. Schrieke dalam The Effect of Western Influence of Nation Civilizations in The Malay Archipelago, ‘keuntungan berlipat yang diterima kaum pemodal dan perusahaan industri menjadi sangat besar seiring bertambah jeleknya tingkat kehidupan bangsa jajahan’.  Kaum pemodal asing menjalankan roda ekonomi dengan mengeduk kekayaan dari bumi jajahan dan membikin negeri-negeri itu memberi keuntungan sebesar-besarnya dengan menjadi penyedia barang-barang yang diperlukan pasar dunia, sekaligus penyedia pekerja yang dibayar murah, akibat standar kehidupan yang sengaja selalu dibikin rendah, teori Prof. Boeke. Jadi benar bahwa penjajahan, yaitu penanaman modal asing, selalu menjadikan bangsa terjajah menjadi kaum buruh belaka, menjadi si buruh dalam pergaulan hidup internasional. Ada di halaman 45.

Musnah, musnahlah kekayaan itu buat selama-lamanya bagi bangsa terjajah. Musnah semua kekayaan yang harusnya demi kemakmuran sebesar-besarnya hidup bangsa Indonesia, terkeruk habis masuk ke kantong penanam modal yang membuat dirinya abadi sebagai pemegang andil. Perusahaan-perusahaan hasil tambang menghabiskan kekayaan-kekayaan tambang itu sendiri, begitu Prof. Van Galderen menulis.

Penjajahan selalu bersemangat memeras, mencuri, mengeduk sebesar-besarnya kekayaan, dengan kalimat termasyurnya, “Kita jerumuskan bangsa jajahan ke dalam jurang,” tulis Mr. Brooshooft. Hati nasional mana yang tidak perih menyaksikan keangkaramurkan ini, jiwa nasional mana yang tidak terluka, dan bangsa terjajah tidak gampang melupakannya. Kata Prof. Sanders, “Ingatan orang pada kelaliman yang diderita lama hilangnya, sementara pelaku kelaliman akan lekas lupa.” Ada di halaman 29.

Jelaslah bahwa penanaman modal asing itu penjajahan, dan penjajahan adalah kejahatan. Sama tuanya dengan dunia, penjajahan adalah nafsu tak terhingga melebihkan diri sendiri dengan menguasai, mempengaruhi, memperdaya mereka dari luar, bahkan hingga kelewat batas. Penjajahan adalah suatu keinginan, suatu usaha, suatu kecenderungan, suatu paham, suatu sistem, dasarnya keserakahan, ketamakan, keangkaramurkaan. Azas penjajahan adalah satu, urusan rizqi. Itu teori sosiologi penjajahan Prof. Jos Schumpeter dalam bukunya Zur Soziologie der Imperialismen.

Semua tulisan tadi, dari alinea satu sampai alinea terakhir sebelum ini, ada dalam Buku Indonesia Menggugat, adalah pidato pembelaan Bung Karno di depan Landraad, mahkamah Belanda, di Bandung, 22 Desember 1930. Waktu itu, Bung Karno dan tiga pemimpin Partai Nasional Indonesia dituduh hendak merobohkan pemerintahan. Penjara untuk Bung Karno selama empat tahun adalah keputusan mahkamah meskipun itu ditentang satu-satunya profesor ilmu hukum yang ada di Indonesia waktu itu, seorang Belanda juga, Prof. Schepper. Menurut sang profesor, itu hukuman yang dicari-cari, hukuman yang diada-adakan, menghalangi kebangkitan bangsa Indonesia yang telah lama diperas Belanda.

Sayangnya pidato-pidato Bung Karno seperti ini bukan bacaan wajib disekolah, minimal jaman saya sekolah dulu. Mencari buku-bukunya saja setengah mati, ditambah pelajar-pelajar jaman saya tidak dibiasakan mencari alternatif sumber lain. Yah, mungkin kita bisa mulai sekarang karena wajar kan sebuah bangsa memahami pemikiran-pemikiran bapak-bapak pendirinya, harus malah, menurut saya.

Dinamai Pengantar Ilmu Penjajahan, misalnya, sebuah mata kuliah wajib untuk mahasiswa-mahasiswa, atau dijadikan materi belajar anak-anak di sekolah-sekolah Indonesia, agar generasi tahu arah jalan, memahami penjajahan dan bentuk-bentuk penjajahan. Agar generasi mengerti apa yang dulu diperjuangkan pendiri-pendiri Indonesia, apa yang dulu diperangi. Biar tidak tersesat, biar tidak salah jalan, agar tidak salah memilih tempat berpijak. Biar perjalanan generasi sejalan dengan tujuan pendirian negara, yang kata Bung Hatta, “Membebaskan bangsa dari segala ketergantungan luar adalah cita-cita besar yang kita perjuangkan berangkat dari titik awal, kemerdekaan.”

Ah, sebuah usulan saja, dari saya yang awam. Setuju tidak? Masih tidak ya pendidikan Indonesia bercita-cita sama dengan pendirian Indonesia?

 

Sumber Foto : libguides.uco.edu

Ikuti tulisan menarik Wulung Dian Pertiwi lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

Sabtu, 27 April 2024 14:25 WIB

Terkini

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

Sabtu, 27 April 2024 14:25 WIB