Kira-kira satu milenium yang silam, seorang ilmuwan yang tengah dikenai tahanan rumah menulis-ulang pemahaman manusia mengenai optik. Di bawah penerangan seadanya, dengan tekun ia mempelajari perilaku dan sifat-sifat cahaya. Bagi Hasan ibn al-Haytham, ilmuwan kelahiran Basrrah, Irak, pada 965 M itu, cahaya begitu memukau hingga ia menghabiskan banyak waktu untuk mempelajari cahaya dan menulis karya yang kelak menjadi sumber pengetahuan Barat.
Memanfaatkan sumber cahaya sederhana dan lubang kecil (pinhole) pada sebuah kotak, ibn al-Haytham membuktikan watak cahaya yang menjalar lurus. Tercatatlah ia sebagai orang pertama yang membuat camera obscura—kotak dengan lubang yang menangkap sebuah gambar dan memproyeksikannya kembali, sebuah awal bagi kamera modern.
Dengan peranti sederhana itu, ibn al-Haytham merintis metode eksperimental—sebuah gagasan ditolak atau diterima setelah melewati kegiatan eksperimen. Ia tak puas dengan cara kerja orang-orang Yunani yang mengandalkan ‘permainan pikiran’. Inilah sumbangan fundamental yang diberikan Alhazen—begitu orang Barat memanggilnya, merujuk nama depannya—bagi cara kerja ilmu pengetahuan.
Ia menolak pengetahuan Yunani bahwa mata dapat melihat benda (obyek) karena memancarkan cahaya. Alih-alih begitu, ibn al-Haytham menunjukkan bahwa mata melihat benda karena benda itu memantulkan atau memancarkan cahaya. Studi fisikanya mengenai topik ini membawanya ke ranah biologi: bagaimana mata bekerja sehingga dapat ‘melihat’ sesuatu.
Bahkan, ibn al-Haytham melangkah lebih jauh lagi dengan mempelajari persepsi manusia dalam melihat sesuatu. Ia berbicara ihwal ilusi penglihatan, dan karena itu ibn al-Haytham memasuki wilayah psikologi. Dialah orang pertama yang memadukan fisika, biologi (organ mata), psikologi (ilusi), serta matematika lewat studinya tentang pembelokan dan pembiasan cahaya.
Lewat studinya tentang topik terakhir ini, ibn al-Haytham menjelaskan mengapa pelangi terjadi, dan mengapa senja dan fajar begitu menawan—sebuah efek refraksi atmosferik. Ia berbicara tentang hubungan antara sudut datang dan sudut biasa cahaya yang memasuki medium berbeda beberapa abad mendahului Willebrord Snellius, orang Belanda (1580-1626) yang namanya disematkan pada hukum tentang pembiasan cahaya.
Semua itu dikerjakan ibn al-Haytham di zaman ketika tentara Normandia belum menyerang kerajaan Anglo-Saxon di Inggris dan orang-orang Viking membakar seluruh warisan ilmiah Yunani dan Romawi.
Begitulah ibn al-Haytham bekerja untuk memahami cahaya yang baginya sangat memukau, kira-kira 700 tahun sebelum Isaac Newton (1642-1727)—orang pintar yang menandai kemajuan Barat modern. Studi-mendalam ibn al-Haytham itu dituangkan dalam karyanya yang mashur, Kitab al-Manazir (Kitab Optik). Penerjemahan karya ini pada akhir abad ke-12 atau awal abad ke-13 ke dalam Bahasa Latin telah memperluas pengaruh pemikiran ibn al-Haytham terhadap sains Barat.
Roger Bacon (1214-1294), orang Inggris yang dianggap sebagai penganjur metode empiris di Barat, mengakui kontribusi penting ibn al-Haytham dalam bukunya. Dan bukan tidak mungkin Isaac Newton pun mengetahui dan membaca Kitab al-Manazir. ***
Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.