x

Iklan

dian basuki

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Buku dan Kecemasan Otoritas

Setelah 70 tahun hak cipta Mein Kampf dipegang pemerintah freistaat Bayern, penerbit Jerman seharusnya bebas untuk menerbitkan kembali karya Adolf Hitler. Namun, pemerintah Bavaria tetap tidak menghendaki penerbitan kembali dengan alasan ideologi Nazi tet

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

“There are worse crimes than burning books. One of them is not reading them.”
--Ray Bradbury (Penulis, 1920-2012)

 

 

Setelah 70 tahun hak cipta Mein Kampf dipegang oleh pemerintah negara bebas Bavaria (freistaat Bayern), penerbit Jerman seharusnya bebas untuk menerbitkan kembali karya Adolf Hitler ini mulai Januari 2016. Namun, pemerintah Bavaria tetap tidak menghendaki penerbitan kembali dengan alasan ideologi Nazi tetap dilarang.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Sebagian lainnya bermaksud menerbitkan Mein Kampf dengan anotasi—catatan kritis dan historis mengenai karya Hitler ini sehingga karya ini tidak lebih, kata penganjurnya, menjadi sekedar saksi sejarah. Para sejarawan yang menulis anotasi bermaksud meredam efek pukau dari agitasi-agitasi Hitler. Apakah nanti di awal 2016 karya beranotasi ini jadi terbit atau tidak, belum diputuskan.

Dalam sejarah manusia, pelarangan buku sudah berusia tua. Di Eropa abad ke-13, Roger Bacon harus mendekam dalam penjara selama 14 tahun karena buah pikirnya dianggap tidak seiring dengan pandangan Gereja. Meskipun Bacon sudah menyatakan bahwa karyanya, Opus Maius, Opus Minor, dipersembahkan untuk Raja Clement IV, ia tetap tidak terlindungi dari kecaman otoritas agama. Beberapa abad kemudian, Galileo Galilei juga menghadapi tantangan serupa dari otoritas agama.

Jauh sebelum Bacon dan Galilei, Aristophanes dituduh meracuni pikiran anak-anak muda Yunani. Karya mashurnya, Lysistrata, yang ditulis pada 411 Sebelum Masehi, berkali-kali dilarang beredar oleh penguasa dari zaman yang berbeda-beda dan tempat yang berlainan. Bahkan, pabean AS melarang Lysistrata memasuki wilayah AS hingga larangan ini dicabut pada 1930.

Masih di Yunani, pada 1967, pemerintahan militer melarang peredaran Lysistrata dengan alasan karya ini menyebarkan semangat antiperang. Naskah drama yang pernah dipentaskan Rendra bersama Bengkel Teater ini mengisahkan pemogokan para perempuan untuk melakukan hubungan badan sebagai bentuk protes dan upaya agar suami mereka berhenti berperang. Penguasa militer Yunani khawatir, Lysistrata akan mengilhami para istri yang suaminya sedang maju ke medan tempur dalam konflik melawan Turki.

Lain lagi dengan karya J.D. Salinger, The Catcher in the Rye. Dalam waktu dua pekan sejak diterbitkan pada 1951, novel ini meroket ke posisi pertama daftar buku terlaris versi koran The New York Times. Sejak itu, novel yang mengeksplorasi tiga hari dalam kehidupan remaja 16 tahun ini kemudian menjadi ‘favorit sensor’. Pada 1960, misalnya, pengurus sebuah sekolah menengah di Tulsa, Oklahoma, AS, memecat guru bahasa Inggris karena memberi tugas membaca The Catcher kepada siswa kelas 11.

Mula-mula, karya Salinger ini dianggap bacaan orang dewasa, tapi karakter remaja di dalam novel ini, yakni Holden Caulfield menjadi daya tarik bagi remaja untuk membacanya. Salinger menggambarkan Caulfield sebagai remaja pemberontak dan membangkang, yang menganggap orang dewasa penuh kepalsuan. Di dalam novel ini bertebaran kata-kata kasar.

Banyak alasan yang melatari pelarangan peredaran sebuah karya tulis. Di Jerman hingga saat ini Mein Kampf dilarang beredar karena isinya dipandang menyebarkan kebencian. Pemegang otoritas lainnya, baik politik, keagamaan, maupun sosial, merasa terusik oleh karya-karya terlarang ini. Meskipun, dalam beberapa kejadian, pelarangan itu mungkin terasa menggelikan.

Di Afrika Selatan, umpamanya, rezim apartheid kulit putih melarang publikasi novel Black Beauty karya Anna Sewel sejak 1955. Rezim ini rupanya tidak menyukai pemilihan judul Black Beauty—menurut mereka perpaduan dua kata ini tidak tepat.

Di China, pada suatu kurun waktu, anak-anak negeri ini tidak berkesempatan membaca Alice’s Adventures in Wonderland. Karya mashur Lewis Carroll yang disukai oleh anak-anak di berbagai penjuru dunia ini pernah dilarang beredar oleh pemerintah China sejak 1931 karena satu alasan: “hewan tidak berbicara dalam bahasa manusia”.

Ya, penguasa China waktu itu tidak mau terima bahwa karya Carroll itu berupa fabel. Mereka menganggap potret hewan yang di-manusia-kan (anthropomorphized) oleh Carroll itu sebagai soal serius yang bisa menyesatkan anak-anak. (foto: adegan opera lysistrata, sbr foto: fwscene.com) ***

Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan