Baru saja saya membaca artikel mengenai pemblokiran situs radikal yang ditulis Harja Saputra, seorang kawan yang berprofesi sebagai staf ahli DPR. Harja mengusulkan penyensoran konten bisa dilakukan lewat pembatasan 'keyword kontekstual', seperti yang dikembangkan Google di algoritmanya yang baru, Hummingbird.
Kebetulan, saya sedikit-sedikit sudah membaca beberapa tulisan dan mengaplikasikan pemahaman tentang Hummingbird sejak triwulan akhir 2014. Kebutuhan saya saat dipercaya mengembangkan Indonesiana mengharuskan saya memahami 'gaya' beberapa mesin pencari.
Hasilnya, pada periode Oktober 2014 hingga Januari 2015, keterbacaan konten-konten Indonesiana di mata mesin Google lumayan meningkat setelah saya dan tim IT melakukan sedikit penyesuaian pada mesin kami. Dengan tiga sampai lima keyword, beberapa artikel dengan konten kuat di Indonesiana dapat muncul di laman pertama pencarian google, bahkan di komputer yang (dari sejarah di mesin pencari) sebelumnya tidak pernah digunakan untuk mengakses Indonesiana.
Kembali ke Google Hummingbird. Di sini dijelaskan seperti ini, '...even that was limited primarily to improving the indexing of information rather than the sorting of information.'
Hummingbird tidak pernah dirancang untuk sorting - menyortir, membuang yg tidak sesuai kata kunci - konten, tetapi untuk indexing - mengatur urutan konten dalam daftar hasil pencarian, dari yang most related (paling terkait dg kata kunci pencarian) ke yang less related. Coba bayangkan seandainya Google justru membuang atau memblokir hasil pencarian yang paling berhubungan. Bisa jadi, dengan banyaknya konten terkait yang justru diblokir, hasil pencarian "musafir dayak di Buluh" tidak berbeda jauh dengan hasil pencarian “orang kafir layak dibunuh.”
Bercermin dari sejarah pengembangan Google, menganggarkan dana dan waktu riset sebegitu besar untuk membangun mesin secanggih Hummingbird hanya dengan tujuan menyensor keyword, menurut saya tidaklah efektif. Jikapun pemerintah mengambil solusi tersebut, apa semua pihak akan legowo jika, misalnya, anggaran pendidikan di APBN 2015 dialihfungsikan untuk mendanai pembangunan enjin itu?
Saya pikir pemerintah RI memiliki UU ITE, Depkominfo, dan Divisi cybercrime di Polri itu sudah cukup, hanya perlu sinergi yang lebih baik di antara mereka. Jika perlu ada yang ditambah, mungkin paling pas adalah pengadilan khusus pidana/perdata ITE yang prioritas utamanya lebih pada memproteksi khalayak pengguna internet, BUKAN secara represif menindak pelanggar UU ITE. Jadi, pemerintah bisa memiliki argumentasi hukum yang kuat dan tidak terkesan 'asal blokir' jika harus melakukan penutupan situs.
Singkat kata, saya percaya bahwa dalam gaya pemerintahan apapun, entah demokrasi, komunisme, monarkhi ataupun khilafah, tindakan persuasi dan represi sama2 dibutuhkan pada porsinya, dg caranya, dan sesuai kebutuhannya masing-masing demi kepentingan yg lebih luas.
Ikuti tulisan menarik Rob Januar lainnya di sini.