x

Iklan

dian basuki

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Belajar Sains, Jangan Lupakan Konteks dengan Alam

Menarik relevansi dan konteks antara pengetahuan fisika, kimia, biologi, dan matematika yang dipelajari di kelas dengan kehidupan sehari-hari jarang dilakukan, sehingga pembelajaran sains terasa steril dari dunia nyata.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Mengapa murid-murid kelas menengah di sejumlah negara, seperti Finlandia, Singapura, Selandia Baru, Korea Selatan, dan Kanada begitu bagus pemahamannya terhadap sains? Dalam salah satu edisinya tahun 2011, Slate Magazine menulis bahwa keberhasilan itu tidak terlepas dari pendekatan yang dipakai dalam pembelajaran sains. Para guru di lima negara itu menyebutkan resep rahasia mereka: selalu melibatkan siswa dan menjadikan sains relevan dengan kehidupan sehari-hari siswa.

Bila dirunut-runut, pendekatan relevansi ini seiring dengan penilaian yang dilakukan oleh OECD (Organization for Economic Co-Operation and Development) untuk mengukur ‘kemampuan bernalar’ para siswa dalam bidang sains, membaca, dan matematika. Lewat program yang disebut PISA (Programme for International Student Assessment), yang diadakan OECD tiga tahun sekali, para siswa dari ratusan negara diukur kemampuannya dalam memahami dan memecahkan persoalan di dunia nyata dengan mengandalkan pengetahuannya dalam sains, matematika, maupun membaca.

Bila siswa tidak menguasai atau terlatih dalam ‘cara bernalar’, ia mungkin akan kebingungan dihadapkan pada soal yang mentautkan antara pengetahuan fisika, biologi, dan kimia dengan persoalan nyata yang mereka jumpai. Menarik relevansi dan konteks antara pengetahuan ilmiah dengan kehidupan sehari-hari tidak selalu dilakukan, sehingga pembelajaran sains terasa steril dari dunia nyata.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Siswa jarang diajak mengamati lingkungan sekeliling, padahal di lingkungan inilah prinsip-prinsip matematis, fisika, kimia, dan peristiwa biologis bisa kita saksikan—perubahan kecebong menjadi kodok, kepompong menjadi kupu-kupu, umpamanya. Niscaya hasilnya akan lain jika siswa belajar tentang pergerakan fluida dengan mengamati langsung di sungai sekitar sekolah, dan bahkan merasakannya sendiri, nyemplung ke dalam arus sungai.

Siswa dapat belajar, misalnya, tentang energi melalui pengalaman langsung. Mengamati bagaimana air mengalir dari tempat yang lebih tinggi ke yang lebih rendah dan mencoba mengerti serta merasakan adanya energi yang diusung air yang jatuh mengenai kaki, semakin tinggi jatuhnya semakin terasa keras.

Saran para guru kelima negara tadi, agar siswa selalu dilibatkan dalam diskusi dan belajar menarik relevansi dengan dunia sekeliling, juga seiring dengan hasil studi Neves (2000), yang secara spesifik mengkaji pembelajaran fisika di sekolah-sekolah. Ia mempelajari pendekatan pembelajaran matematika dan sains di Amerika Latin dan menemukan sejumlah ciri yang patut memperoleh perhatian.

Pertama, pembelajaran sains di sekolah cenderung dogmatis. Semua materi yang dipelajari tentang fenomena alam harus ‘dimengerti’ oleh memori dan dalam konteks ‘kebenaran mutlak’.

Kedua, bersifat non-human, dalam pengertian bahwa kebenaran ilmiah yang dipelajari itu dilihat sebagai terpisah dan tidak terpengaruh oleh manusia. Padahal, dengan menunjukkan relevansi pengetahuan tertentu dengan hidup manusia, anak-anak akan lebih mudah memahami konsep dan pengertian yang dipelajari.

Ketiga, bersifat matematis. Dalam belajar fisika dan kimia, berbagai fenomena (seperti gaya, listrik, reaksi larutan) didominasi oleh penjelasan dengan bahasa matematika yang abstrak.

Keempat, bersifat simbolis. Fenomena alam ditunjukkan dalam bentuk rumus-rumus matematis tetapi kurang dijelaskan dan dipahami makna riilnya seperti apa.

Kelima, bersifat ethereal, dalam pengertian bahwa pelajaran fisika (khususnya) tidak mempunyai kontak langsung dengan dunia nyata. Jadinya, pelajaran kehilangan konteks dengan kehidupan nyata.

Kelima ciri tersebut, menurut Neves, berpotensi menurunkan motivasi siswa dalam mempelajari sains. Mereka jadi enggan mengeksplorasi pendapatnya sendiri mengenai fenomena alam yang terjadi di sekitar mereka. Rasanya, rekomendasi para guru tadi layak untuk diadopsi di sini: selalu melibatkan siswa dalam proses pembelajaran dan berlatih bersama untuk menarik relevansi pengetahuan yang sedang dipelajari dengan kehidupan nyata di sekeliling mereka. (Foto: tempo.co) ***

Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu

Hanya Satu

Oleh: Maesa Mae

Kamis, 25 April 2024 13:27 WIB

Terkini

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu

Hanya Satu

Oleh: Maesa Mae

Kamis, 25 April 2024 13:27 WIB