x

Iklan

dian basuki

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Melarang Buku, Sebuah Klise

Pelarangan buku adalah sebuah klise yang dicetak ulang—di mana saja, di Timur maupun di Barat, hingga sekarang. Pelarangan buku tak ubahnya promosi gratis.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Pelarangan buku adalah sebuah klise yang dicetak ulang—di mana saja, di Timur maupun di Barat, hingga sekarang.

Tak ubahnya promosi gratis, pelarangan buku malah mendorong masyarakat, yang semula tidak mengetahui kehadiran buku-buku terlarang tersebut, untuk mencarinya. Kalaupun ditarik dari peredaran, masyarakat akan memburu buku-buku yang dilarang itu, apapun caranya: membeli di pasar gelap, memfotokopi, atau meminjam. Alamiah belaka, pelarangan justru mengusik rasa ingin tahu mereka.

Tetralogi Pulau Buru karya Pramoedya Ananta Toer, contohnya. Di masa Orde Baru, karya-karya itu beredar di pasar gelap, beredar dari satu tangan ke tangan lain, yang membacanya relatif terbatas. Tatkala pemerintah Orde Baru resmi melarang peredarannya, publik yang jauh lebih luas malah mengetahui ada novel itu dan mencuri-curi baca Bumi Manusia. Diam-diam, mereka membeli langsung ke penerbitnya, Hasta Mitra.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Itu di masa lalu, ketika Internet belum lagi ada di negeri ini. Apakah pelarangan buku efektif mencapai sasarannya? Rasanya tidak. Waktu itu, selalu ada cara-cara kreatif  yang dikembangkan pembaca untuk mengakses karya terlarang.

Kini, cara yang jauh lebih ampuh dari fotokopi, atau membeli di pasar gelap, ialah memburu naskah versi digitalnya melalui Internet—akan ada saja individu yang berinisiatif berbagi dan teks akan beredar bagai virus yang cepat menular. Publik yang jauh lebih luas akan sanggup mengaksesnya dan mengunduhnya dalam waktu cepat.

Membendung peredaran ide, pikiran, gagasan, di saat ini, bukanlah perkara mudah. Bahkan, di zaman tertutup dulu pun sukar. Ide selalu menemukan jalan untuk sampai kepada pembacanya, di manapun ia dihadang. Gulag Archipelago, yang ditulis Alexander Solzhenitsyn saat dalam kungkungan rezim komunis Uni Soviet, terbit pertama kali di Paris, Desember 1973. Betapapun ketat KGB membangun dinding penghalang, ada saja lubang yang bocor.

Lolosnya Gulag ke luar negeri itu membikin berang Leonid Brezhnev, yang ketika itu menjabat Sekjen Partai Komunis Uni Soviet. “Berdasarkan undang-undang, kita mempunyai setiap alasan untuk menjebloskannya ke penjara,” kata orang nomor satu Soviet itu menanggapi lolosnya Gulag. “Ia telah mencoba menggerogoti apa yang kita semua sakralkan: Lenin, sistem Soviet, kekuasaan Soviet…”

Kantor berita Pravda melancarkan serangan dengan menyebut Solzhenitsyn pengkianat. Solzhenitsyn ditahan, kewarganegaraannya dilucuti, dan pesawat menuju Jerman Barat sudah disiapkan untuknya. Yang dicemaskan penulis itu akhirnya terjadi: diusir dari tanah kelahirannya sendiri.

Apakah semua itu membungkam suara yang digemakan Gulag? Alih-alih demikian, publik yang jauh lebih luas dari kawasan Soviet justru memburu karya yang menjadi publikasi buruk pemerintah komunis itu. Suara Solzhenitsyn malah didengar oleh orang-orang yang semula tak mengenalnya, tak mengetahui karyanya, dan mungkin tak pernah mengerti persis apa yang terjadi di sel-sel Soviet yang dingin menggigit itu.

Pelarangan, sesungguhnya, sering dilambari oleh kecemasan berlebihan—sesuatu yang dirasakan oleh rezim penguasa atau otoritas yang memimpin pandangan dominan dalam masyarakat. Ketimbang melarang, cara yang lebih jitu bila ingin mengurangi efek yang ditimbulkan oleh peredaran sebuah gagasan ialah menyodorkan kontra-gagasan. Apabila sebuah buku dianggap mengandung fitnah, ujilah akurasinya, kekuatan nalarnya. Falsifikasi adalah cara yang ampuh untuk itu.

Ketika sebuah buku terbit mengenai sebuah peristiwa, dan kita tidak bersepakat dengan isi buku itu, menerbitkan “buku-tandingan” jauh lebih bermanfaat. Dengan tidak melarang, publik dibiasakan untuk berpikir lebih matang mengenai subyek bahasan buku itu melalui perdebatan terbuka dan secara emosional lebih cerdas.

Publik dapat menimbang-nimbang mana tafsir sejarah yang lebih tepat atas sebuah peristiwa di masa lampau. Sumber yang andal, akurasi yang tinggi, analisis yang obyektif adalah modal yang kuat untuk berdebat. Jika ada pihak yang berusaha memaksakan tafsir sejarahnya, masyarakat niscaya justru akan menampiknya. Masyarakat akhirnya akan menyimpulkan mana buku yang pantas dibaca dan mana yang tidak dengan melihat kualitas isinya.

Melalui perdebatan terbuka, kematangan kognitif akan menjadi benteng ampuh bagi masyarakat sehingga tak mudah ditembus oleh pikiran seaneh apapun. Masyarakat yang matang tidak akan menganggap Rowling tengah mengajak mereka untuk memuja sihir (yang menyebabkan karyanya dilarang di banyak sekolah di negara-negara Barat). Publik tahu benar, Harry Potter adalah cerita fiksi belaka dan mesti dibaca sebagai fiksi. Penerbitan Das Kapital edisi Indonesia ternyata juga tidak menimbulkan gejolak apapun seperti yang dicemaskan oleh rezim Orde Baru. Buku itu tidak mudah dibaca, bahkan melelahkan, dan banyak warga yang mengerti bahwa marxisme sedang surut.

Kita harus percaya bahwa masyarakat selalu menemukan caranya sendiri untuk memahami sebuah buku dan menimbangnya secara dewasa. Melarang bukanlah cara yang bijak, bahkan sia-sia. Biarlah masyarakat menguji kebenaran buku-buku itu. Sejarah pelarangan buku telah mengajarkan: setiap kali dikekang, sebuah ide akan mencari lubang untuk meloloskan diri. Rezim penguasa dan pandangan dominan tak perlu cemas, sebuah buku tak akan serta-merta menggulingkan mereka bila itu yang sebenarnya ditakutkan. (sbr ilustrasi: gcelabschool.com) **

Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

Sabtu, 27 April 2024 14:25 WIB

Terkini

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

Sabtu, 27 April 2024 14:25 WIB