Jika Hidup Terasa Menghimpit, Berdamailah

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB
Bagikan Artikel Ini
img-content0
img-content
Iklan
img-content
Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Berdamai dengan diri sendiri adalah hal yang gampang diucapkan tapi tidak mudah untuk dilakukan. Butuh kebesaran hati untuk melakukannya

 

Beberapa waktu lalu saya bertemu dengan seorang teman, saya melihat raut muka dan aura teman saya ini berubah, lebih ayem kalau orang jawa bilang. Selang beberapa waktu setelah mengobrol kesana kemari dia pun berkata

“aku sekarang sudah tidak ngoyo lagi, kalaupun nantinya Tuhan tidak kersa menitipkan amanah pada kami aku sudah ikhlas” katanya sambil tersenyum tulus. Saya pun hanya bisa membalas dengan pelukan

 

Ya, teman saya sudah menikah dengan rentang waktu yang lumayan, dulu dia menikah juga tidak pada umur yang boleh dikatakan ideal, tapi tak perlulah saya bercerita apa yang menyebabkan dia baru menikah di usia sekian, apakah dia pernah patah hati dengan seseorang, apakah dia terlalu pemilih, apakah dia tidak ada yang suka, ah saya tidak punya wewenang untuk itu seperti yang jamak dilakukan beberapa orang yang senantiasa ingin tahu dan harus tahu tentang sisi kehidupan orang lain. Yang jelas saya sangat bahagia ketika akhirnya dia mengirimkan undangan pernikahannya beberapa waktu lampau.

 

Kembali lagi ke awal, sekali lagi saya ikut senang dengan keputusannya untuk bisa ikhlas menerima keadaan dan berdamai dengan dirinya sendiri. Sebuah hal yang gampang sekali diucapkan tapi selalu sulit dilakukan. Semua hal itu butuh proses, proses yang terkadang melelahkan dan menyakitkan. Saya ingat bahwa betapa teman saya seperti selalu mendapatkan tekanan dari lingkungannya dengan pertanyaan-pertanyaan klise sambil lalu, sudah bathi belum? Sudah ada isinya belum? Kapan ni kita syukuran kehamilan? Dan segudang rentetan pertanyaan yang sangat lamis, sangat ringan diucapkan seolah pertanyaan itu tidak menimbulkan efek apapun kepada yang ditanya.

 

Mungkin saja yang bertanya tidak tahu atau tepatnya tidak mau tahu bahwa teman saya dan pasangannya ini sudah sedemikian banyaknya berusaha untuk bisa mendapatkan keturunan dari rahimnya sendiri. Dari tindakan medis sampai pengobatan alternatif dan segala ikhtiar lainnya yang semuanya dilakukan dengan harapan bisa memboyong buah hati ke dalam rumah tangganya. Tapi bagaimanapun diatas langit masih ada langit, kekuasaan tertinggi adalah padaNya.

 

Ada saat-saat dimana teman saya bercerita dan seperti menyerah dengan sindiran dan cibiran dalam lingkungannya, tapi saya senantiasa menguatkan hatinya walaupun tidak dengan rangkaian kata mutiara nan inspiratif ala motivator yang sering nongol di layar kaca. saya selalu mengingatkan bahwa sebenarnya dia sudah punya banyak anak, saya tahu teman saya itu orang baik dan aktif dalam membantu pendidikan anak-anak yatim ,baik yang terorganisir maupun anak-anak di lingkungannya yang memang membutuhkan. Dia pun bisa kembali tersenyum setelah saya ingatkan begitu.

 

Sepertinya koq, tidak ada orang menikah yang tidak ingin punya anak dari rahimnya sendiri, siapapun mereka pasti menginginkan hal itu, tapi terkadang tidak semua yang kita inginkan dalam kehidupan harus menjadi kenyataan. Bagi saya definisi anak tidak lagi orang yang harus punya garis keturunan dari orang yang merawatnya. Saat ada orang tua berhasil mendidik dan membesarkan anaknya sendiri dengan baik , pasti hal itu akan menjadi sebuah momen membahagiakan. Tapi di saat orang tua berhasil mendidik dan membesarkan anak-anak orang lain yang sudah dianggapnya anak sendiri menjadi pribadi-pribadi yang baik, mandiri dan bermanfaat tentu itu adalah sebuah prestasi luar biasa. Tidak banyak orang yang mau legawa untuk berbagi dengan orang lain dalam kehidupannya, apalagi mencurahkan hampir sebagian besar waktunya dengan orang yang notabene bukan siapa-siapanya.

 

Ya, tanpa disadari seringkali manusia sangat ahli untuk menjadi juri bagi kehidupan orang lain, mereka mengamati, menakar, dan akhirnya memberi nilai bagi manusia-manusia lainnya tanpa pernah melakukan hal yang sama dengan dirinya sendiri. Tapi sayangnya penjurian itu lebih sering dilakukan terhadap kekurangan-kekurangan yang ada, seakan orang lain itu tidak punya kelebihan seperti dirinya. Tanpa disadari pula lisan ikut tidak terkontrol dan potensial menorehkan luka di hati orang lain.

 

Ah sepertinya saya tidak menyadari juga bahwa tulisan ini pun bisa punya kekuatan untuk menciderai perasaan manusia yang membacanya, tapi sungguh saya tidak ada maksud kesana, saya hanya ingin berbagi sebuah hal indah dari teman saya yang sudah lulus pelajaran ilmu ikhlas dan berdamai dengan dirinya sendiri , dan di akhir perbincangan dengan semangat dia berkata “seperti yang kamu katakan dulu sebenarnya aku sudah punya banyak anak, aku harus lebih semangat untuk memelihara dan memastikan masa depan mereka lebih baik lagi, doakan ya”

 

Tuhan pasti akan menyertai hamba-hambanya yang berbuat baik dan kelak semua kebaikanmu akan mendapat balasan yang lebih berlimpah lagi teman.

sumber foto : dok pribadi

Bagikan Artikel Ini
img-content
indri permatasari

Penulis Indonesiana

0 Pengikut

img-content

"Green Book", Kisah Humanis Nan Manis

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB
img-content

Galaumu itu Lebay Dék

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Baca Juga











Artikel Terpopuler