x

Iklan

dian basuki

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Menyusuri Kota di Jawa Era Kolonial

Melalui telaah pustakanya yang intensif, Olivier Johannes Raap mengungkapkan cerita di balik foto-foto kota di Jawa era kolonial.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Dalam bahasa Sunda, kata banceuy berarti perkampungan tempat istal serta pengurus kuda kereta zaman dulu. Setelah Jalan Raya Pos dibangun pada 1808, di setiap 8 atau 9 kilometer disediakan pos perhentian untuk kereta pos, yang merupakan tempat peristirahatan dan ganti kuda. Dari kata banceuy inilah, sebuah jalan yang terletak kira-kira 500 meter dari Jalan Raya Pos (kini Jalan Asia Afrika, Bandung) dinamai Jalan Banceuy—yang tetap dipakai hingga kini.

Olivier Johannes Raap mengisahkan latar historis sebuah foto yang berjudul Groet uit Bandoeng, Bantjenweg (Salam dari Bandung, Jalan Banceuy). Foto ini diterbitkan oleh Tio Tek Hong dan salah satu koleksi Raap yang berasal dari tahun 1920an.

Dalam foto ini tampak sebuah rumah cantik dengan menara, yang semula merupakan tempat tinggal seorang arsitek dan pelukis asal Belanda Selatan (kini Belgia) bernama Antoine Auguste Joseph Payen (1792-1853), salah satu guru melukis Raden Saleh. Saat foto dibuat, bangunan telah berganti fungsi menjadi rumah lelang yang dimiliki Carl Kreutz Jensen (1872-1921), perwira KNIL asal Denmark yang pada 1905 menjadi pelelang di Bandung. Kini, di bekas tempat rumah tersebut dibangun Monumen Laskar Wanita Indonesia.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Melalui ketelatenannya dalam membaca beragam literatur, Raap mengungkapkan kisah di balik sebuah foto/kartu pos tua. Raap, pedagang buku di Den Haag dan berlatar pendidikan tinggi arsitektur, menyimpan koleksi yang sangat banyak mengenai Indonesia, khususnya Jawa. Ia mengumpulkan ribuan benda kuno yang berkaitan dengan Indonesia masa lampau, berupa buku, dokumen, foto, kartu pos, maupun benda seni.

Dari beragam koleksinya itu, Raap telah menelurkan tiga buku. Buku pertamanya, Pekerdja di Djawa Tempo Doeloe, terbit April 2013. Tujuh bulan kemudian terbit buku kedua, Soeka-Doeka di Djawa Tempo Doeloe. Buku ketiga, Kota di Djawa Tempo Doeloe, terbit Juni 2015. Raap memanfaatkan media dokumentasi berupa kartu pos kuno untuk menyusun ketiga buku ini disertai ‘cerita di balik foto’ yang merupakan hasil telaahnya atas kepustakaan yang mencapai puluhan judul.

Kota di Djawa Tempo Doeloe menyajikan gambaran pada masa sekitar pergantian abad ke-19 hingga akhir zaman kolonial atau awal kemerdekaan Indonesia. Periode ini, menurut penilaian Raap, merupakan zaman emas untuk kartu pos—ketika berkomunikasi melalui telepon masih sangat mahal dan berkirim kartu pos semurah berkirim SMS di zaman kini.

Sungguh menarik bahwa Raap memilah koleksinya secara tematik, bukan secara kronologis-historis. Ia memulai dengan foto alun-alun berupa tanah lapang yang ukurannya beragam: di Garut Jawa Barat 100 x 100 meter, sedangkan di Purworejo Jawa Tengah 250 x 250 meter. Raap memberi pengantar ringkas mengenai masing-masing tema sebelum menceritakan latar historis dari setiap foto yang ia sajikan. Misalnya, tentang pohon beringin yang lazim ada di setiap alun-alun; dan Raap mendiskusikannya bukan hanya dalam konteks pohon besar ini memberi kesejukan, tapi juga menyinggung konsep kosmografi bahwa alun-alun merupakan titik pertemuan kehidupan duniawi dengan dunia lain dengan pohon beringin sebagai pusatnya.

Raap juga menghadirkan jejak-jejak kolonial berupa bangunan benteng dan loji (gudang tempat penyimpanan rempah-rempah), serta permukiman VOC. Di Batavia (Jakarta) jejak ini terlihat antara lain di Stadhuis (balai kota), kawasan Pintoe Besar, maupun Oud Batavia atau Batavia Lama. Membandingkannya dengan keadaan masa sekarang terlihat bagaimana beragam peristiwa telah mengubah banyak hal.

Salah satu tema menarik lainnya ialah Pecinan. Foto-foto yang disajikan Raap menggambarkan bagaimana warga keturunan Cina membentuk komunitas tersendiri di wilayah yang potensial untuk berdagang, seperti pasar dan permukiman Belanda. Kaum Tionghoa berhasil menguasai sebagian besar perdagangan karena kecakapan mereka dalam berdagang. Jalan Karet di Surabaya, Ketandan di Solo (kini Jl. RE Martadinata), Jalan Pemuda di Magelang, hingga Jalan Pasar Besa di Malang merupakan daerah Pecinan di masa kolonial.

Lewat buku dengan sajian 277 foto kota-kota di Jawa era kolonial ini, Raap telah menunjukkan kecintaannya kepada negeri yang punya ikatan kuat di masa lalu dengan tanah kelahirannya. **

Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu

Hanya Satu

Oleh: Maesa Mae

Kamis, 25 April 2024 13:27 WIB

Terkini

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu

Hanya Satu

Oleh: Maesa Mae

Kamis, 25 April 2024 13:27 WIB