x

Iklan

Wulung Dian Pertiwi

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Laut Sabang, Catatan-catatan Seorang Urban - Suatu Senja Dengan Panglima

Ini laporan saya, suatu senja di rumah Panglima Laot Kota, ketika saya belajar mengerti apa panglima sampai mendengar pendapatnya tentang relokasi nelayan.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Saya harus berkendara sepuluh kilometeran dari kota ke Selatan mencapai rumahnya, yang ternyata sangat dekat pelabuhan penyeberangan. Sebelum masuk gang kecil, jalan raya yang saya lewati, tepat menuju pintu gerbang pelabuhan dan latar laut terlihat jelas di belakang sana. Lalu lintas sedang ramai. Kendaraan-kendaraan memuat mereka yang baru datang sesuai jadwal kapal penyeberangan dari Banda Aceh, jam lima lebih seperempat. Senja belum mula, langit masih keemasan. Saat berbelok ke kiri, bayangan saya memanjang di hadapan. 

Mengikuti petunjuk seorang teman, saya berhenti sebelum jalan naik jembatan kecil, tepat depan kedai mungil kanan jalan, yang sepertinya usaha sampingan sang empu rumah. Di dalam pagar, ia telah berdiri, menunggu dengan keramahan, lalu saya dipersilahkan.

Bayangan saya akan Panglima, pemimpin adat, buyar. Seratus persen salah. Alih-alih seorang tua dengan tafsir-tafsir panjang serupa petuah, yang saya temui sosok muda, mungkin pertengahan 40 tahun, dan kalimat-kalimatnya lugas. Lelaki itu mengurai tiap keingintahuan saya sampai semua jelas. Berikut laporan saya, suatu senja di rumah Pak Ali Rani, Panglima Laot Kota Sabang, ketika saya belajar mengerti apa panglima sampai mendengar pendapatnya tentang isu relokasi nelayan.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Saya : Apa kabar Pak Ali… Sehat-sehatkah?

Pak Ali : Alhamdulillah… Alhamdulillah.

Saya : Ini Pak Ali, saya ingin tahu tentang Panglima Laot. Sebenarnya, Panglima Laot itu apa?

Pak Ali : Panglima Laot itu lembaga adat khas Aceh yang menaungi nelayan, juga pemimpin para nelayan. Jadi lembaganya disebut Panglima Laot, pemimpin lembaga itu juga disebut Panglima Laot.

Saya : Dalam Panglima Laot itu berarti ada semacam pengurus?

Pak Ali :  Iya, betul. Jadi dalam Panglima Laot, lembaganya, ada panglima, ada sekretaris, ada bendahara.

Saya : Kalau tidak salah, lembaga Panglima Laot itu berjenjang ya, Pak Ali. Benar tidak?

Pak Ali : Iya…iya…benar. Jadi wilayah terkecil itu lhok, di atas lhok ada Panglima Laut Kota atau Kabupaten, paling tinggi Panglima Laot Aceh.

Saya : Hubungan jenjang itu sendiri apa, Pak? Ada semacam pertanggungjawaban atau bagaimana?

Pak Ali : O, tidak. Fungsi jenjang di atas, untuk menengahi konflik masyarakat tingkat bawahnya. Jadi kalau ada masalah yang tidak terselesaikan dua kelompok yang setingkat, Panglima Laot tingkat atasnya yang menyelesaikan.

Saya : Lhok-lhok itu berarti ada di seluruh pesisir Aceh ya, Pak?

Pak Ali : Iya…iya…betul.

Saya : Bagaimana sih Pak proses terbentuknya lhok itu sendiri? Sudah dari dulu turun-temurun, atau bagaimana?

Pak Ali : Jadi begini, lhok itu tempat tambat boat (kapal). Orang pesisir (maksudnya perkembangan masyarakat pesisir) mulai dari lhok. Ya, masing-masing tempat dimulai beberapa lhok, terus berkembang, tambah banyak, karena orang juga tambah banyak. Ya, itu. Terus wilayah kota atau kabupaten akan punya lhok-lhok. Tidak sama se-Aceh (dalam jumlah per kota maksudnya). Tapi lhok itu wilayah adat paling kecil.

Saya : Kalau di Sabang sendiri, bagaimana Pak, awal lhok-lhok-nya?

Pak Ali : Pembagian lhok, kalau seingat saya, karena saya juga generasi penerus, … Pertama, lhok yang ada di Sabang ini cuma dua, Pasiran dan Balohan. Kemudian makin lama karena makin ramai, terbentuklah yang lain, ada di Ie Meulee dan Iboih. Tambah lagi tambah lagi, sampai terbentuk sembilan lhok, lama…, Pasiran, Ie Meulee, Anoi Itam, Balohan, Jaboi, Keunekai, Paya, Iboih, Pria Laot. Keunekai dulu termasuk Beurawang, pecah jadi Keunekai dan Beurawang. Kemudian Keunekai sendiri akhirnya pecah lagi menjadi Keunekai dan Paya Keunekai. Sebelum ada Paya Keunekai, saya larang Keunekai pecah lagi, tapi orang itu gabung ke Beurawang. Lama, sampai setelah tsunami, orang itu minta lagi duduk sendiri, jadi ditetapkan lhok baru, itulah Lhok Paya Keunekai.

Saya : Jadi pembentukan lhok bisa dikatakan tergantung keinginan masyarakat ya, Pak?

Pak Ali : Ya. Tergantung keinginan masyarakat, kapan mereka merasa butuh. Pertama, biasanya, per kelurahan atau kampung. tapi kalau kebutuhannya tidak terpenuhi, maka duduklah masing-masing (maksudnya akhirnya mempunyai kedudukan atau tempat atau wilayah sendiri dan terbentuklah lhok baru). Meskipun kalau kita lihat sejarahnya, dulu, wilayah lhok mulanya kuala (muara).

Saya : Maksudnya dulu lhok berkembang dari sebuah kuala, begitu?

Pak Ali : Ya, betul. Jadi biasanya, dekat-dekat kuala itu orang tinggal. Di situ mereka dekat aliran air tawar, sungai, dekat laut juga. Satu dua orang tinggal, berkembang jadi masyarakat, yang oleh adat, di satuan paling kecil dinamai lhok tadi.

Saya : Dengan kondisi sekarang, mungkin tidak, Pak, dibentuk lhok baru?

Pak Ali : Saya rasa tidak ada kemungkinan. Lebih condong, masyarakat saat ini, selama kebutuhan mereka terpenuhi, … saya rasa…. tidak ada minta bentuk lhok lagi. Saat ini, kalau saya bilang, tidak perlu bentuk lhok baru. Yang penting setiap lhok mampu menguasai daerah masing-masing (maksudnya mampu mengelola).

Saya : Pak Ali ada dengar rencana relokasi nelayan Pasiran? …penggusuran, Pak.

Pak Ali : Isu isu ada dengar. Betul itu?

Saya : Bapak belum dapat kabar? Pemberitahuan mungkin, atau diundang diskusi mungkin?

Pak Ali : Diundang…?

Saya : Pemerintah maksud saya

Pak Ali : Tidak ada….isu isu saja. Benar?

Saya : Misalnya benar, Pak?

Pak Ali : Isu saja…

Saya : Misalnya, Pak, misalnya pembukaan kembali pelabuhan berdampak relokasi atau penggusuran suatu daerah dan akibatnya nelayan satu lhok ikut tergusur, bagaimana pendapat Bapak?

Pak Ali : Saya rasa kalau memang harus dipindah di suatu tempat, ya mereka harus pergi ke tempat baru itu. Kalau masyarakat Pasiran dipindah ya berarti tidak ada lagi Lhok Pasiran ditempat itu, karena tidak ada masyarakat adat.

Saya : Kira-kira, apakah Panglima Laot Kota terlibat penataan masyarakat nelayan seandainya terjadi perpindahan besar seperti itu?

Pak Ali : Saya rasa tidak akan terlibat. Ya kalau mereka harus pindah, misalnya ke Lhok Iboih, ya akhirnya jadi masyarakat nelayan Iboih, masuk Lhok Iboih. Seperti Agus, Bang Ali, yang dulunya orang Lhok Pasiran, sekarang pindah ke Paya, ya mereka jadi bagian Lhok Paya. Panglima Laot tidak ikut campur.

Saya : Berarti pernah terjadi?

Pak Ali : Pernah. Sering.

Saya : Orang perorangan ya, Pak?

Pak Ali : Iya

Saya : Kalau dalam kelompok? Perpindahan besar, banyak orang, satu lhok ?

Pak Ali : Nah…kalau itu belum pernah.

Saya : Perpindahan orang-perorangan ada yang menimbulkan masalah tidak, Pak?

Pak Ali : Alhamdulillah, tidak ada. Karena kesamaan itu ada. Semua anak nelayan pasti ada kesamaannya (persamaan nasib maksudnya).

Saya : Kalau perpindahan jumlah besar, seperti yang mungkin akan terjadi, satu lhok begitu, bagaimana menurut Bapak?

Pak Ali : Mudah-mudahan tidak apa-apa, ya. Dari kesamaan tadi, biasanya jadi ndak ribut.

Saya : Tapi permintaan membentuk lhok baru beberapa kali terjadi kan, Pak?

Pak Ali : Iya, benar.

Saya : Apa itu bukan karena bibit perselisihan, atau karena ada ketidaksesuaian?

Pak Ali : Tidak. Itu kan karena keinginan mereka merasa perlu bentuk lhok baru. Intinya hukum adat laot itu sesuai kebutuhan nelayan. Artinya suatu saat nelayan memang membutuhkan lhok baru, maka bisa saja dibentuk lhok baru.

Saya : Apa pertambahan drastis di suatu wilayah tidak akan menimbulkan masalah?

Pak Ali : Selama ini perpindahan nelayan tidak ada masalah.

Saya : Dalam jumlah besar, Pak?

Pak Ali : Mudah-mudahan tidak ada. Dalam hukum adat laot segala diputuskan berdasarkan nilai-nilai bersama, seperti agama, hukum negara, jadi otomatis ada semangat bersama. Harapan saya, tidak ada masalah karena nelayan semua memahami itu. Kebanyakan seperti itu (keputusan adat) berdasarkan kesepakatan masyarakat meskipun tidak ada turunan dari atas, misalnya dari Al Quran (maksudnya tidak ada peraturan terdahulu, tradisi, atau rujukan hukum Islam yang mendasari kehidupan adat Aceh).

Saya : Dalam satu lhok sendiri ada ketentuan jumlah nelayan apa tidak, Pak?

Pak Ali : Oo..tidak. Tidak.

Saya : Ada lhok dengan jumlah nelayan banyak sedangkan lainnya sedikit begitu ya, Pak?

Pak Ali : Iya, betul.

Saya : Tidak akan ada masalah, Pak?

Pak Ali : Tidak masalah. Yang selama ini kan seperti itu. Di Pasiran, jika kita minta data nelayan itu mungkin bisa sampai ratusan. Dia yang pertama, daerah awal yang ramai. Tapi di Lhok lain, misalnya Beurawang atau Keunekai, bisa jadi hanya puluhan.

Saya : Sekarang misalnya tinjauannya soal wilayah, Pak. Dulu, untuk duduk sendiri menjadi satu lhok, mungkin, karena wilayah tersedia, menurut saya. Kondisi sekarang pesisir Sabang kan sudah penuh lhok-lhok, Pak. Seandainyaperpindahan besar sampai memunculkan kebutuhan membuka lhok baru, bagaimana dengan pembagian wilayah?

Pak Ali : (sejenak, Pak Ali tidak memberi jawaban) Mungkin pakat adat, ya…? (kalimat Pak Ali terdengar seperti pertanyaan bagi saya). Intinya sebenarnya tidak masalah karena seperti yang saya bilang tadi, anak nelayan itu rata-rata sama-sama. Jadi masalah apa saja, bisa kita duduk bicara.

Saya : Berarti kemungkinan Panglima Laot akan terlibat ya, Pak?

Pak Ali : Jelas, kalau soal buka lhok baru seperti itu, ya Panglima Laot yang urus.

Saya : Kalau perselisih terjadi antara nelayan dengan warga bukan nelayan, apa Panglima Laot berperan?

Pak Ali : O, iya. Itu termasuk tugas panglima.

Saya : Seperti apa bentuk keterlibatannya?

Pak Ali : Pertama, kita beri pengertian dulu kepada masyarakat non nelayannya, bahwa masyarakat nelayan ada aturannya. Orang Aceh, orang-orang tua, rata-rata sudah tahu. Cuma yang anak-anak muda ini...... Seperti kemaren ada pertemuan di Rumoh PMI, ketika sosialisasi kawasan konservasi yg dibentuk WWF di Ulhee Leuee. Kita perlu menyosialisasikan bahwa di Aceh itu ada kehidupan adat Panglima Laot khususnya kepada masyarakat non nelayan. Selama ini orang banyak tidak tahu. Orang darat bahkan pemerintah tidak tahu bahwa di laut ada adat laot Panglima Laot yang berjalan disini saat ini. Ini yang perlu kita sampaikan. Kalau sudah sama-sama tahu, baru adil jalan keluar, karena kadang orang ndak tahu.

Saya : Sabang ini kan tidak seluruh kampungnya kampung pesisir ya, Pak. Seperti Cot-Cot itu (beberapa nama wilayah/kampung di Sabang dimulai dengan ‘Cot’ yang berarti ‘bukit’ karena memang dataran Sabang sebagian adalah bukit). Misal, nelayan Pasiran ternyata direlokasi ke suatu wilayah bukan pesisir, bagaimana tanggapan Pak Ali?

Pak Ali : Ya itu harus dimusyawarahkan dengan warga, ya. Menurut saya, sebaiknya tidak. Pasti payah itu (maksudnya masyarakat akan kesulitan).

Saya : Payahnya, Pak?

Pak Ali : Ya, orang nelayan ini kan ada boat, perlu dekatlah dengan laut.

Saya : Perlu akses cepat begitu ya, Pak

Pak Ali : Iya

Saya : Berarti Bapak tidak setuju kalau nelayan Pasiran sampai dipindah ke daerah bukan pesisir?

Pak Ali : Harapan saya, tidak.

Saya : Bapak berharap Panglima Laot dilibatkan diskusi seandainya Pasiran jadi dipindahkan?

Pak Ali : Sebaiknya iya. Kalaupun bukan saya, Panglima Laot Lhok Pasiran minimal kan diajak diskusi. Mungkin belum. Tapi saya juga belum dapat berita dari Pasiran. Mudah-mudahan ya..

Saya : Mudah-mudahan tidak sampai ada perselisihan, mudah-mudahan tidak ada masalah, mudah-mudahan tidak perlu ada yang pindah ya, Pak?

Pak Ali : Hahaha…. (Pak Ali tertawa)… iya iya… Mudah-mudahan Panglima Laot diajak diskusi

Saya : Mudah-mudahan Panglima Laot diajak diskusi, diakui ada, atau dihormati begitu, dan dilibatkan dalam proses membangun Sabang ini ya, Pak?

Pak Ali : Ya, ya, benar…benar.

Saya : Baik, Pak Ali, terima kasih banyak atas waktu, ilmu, dan diskusinya.

Pak Ali : Sama-sama, sama-sama.

Saya : Semoga mudah-mudahan yang terakhir tadi dikabulkan ya, Pak.

Pak Ali : Hahaha…. Ya..ya… amin….amin. Mudah-mudahan orang nelayan gampang cari hidup, itu saja sebenarnya.

Saya : Amin…amin… Mudah-mudahan ya, Pak

 

Saya mengemasi bawaan dan mohon diri. Senja buta ditinggal lembayung dan jingga, malam hampir sempurna. Dalam berkendara sayup-sayup adzan sahut-menyahut. Ini masa permohonan-permohonan lulus. Kabulkan mudah-mudahan kami tadi, Ya Maha Agung.

 

 

 

 

 

 

Ikuti tulisan menarik Wulung Dian Pertiwi lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu

Hanya Satu

Oleh: Maesa Mae

Kamis, 25 April 2024 13:27 WIB

Terkini

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu

Hanya Satu

Oleh: Maesa Mae

Kamis, 25 April 2024 13:27 WIB