x

Iklan

Aseanty Pahlevi

journalist, momsky, writer, bathroom singer, traveler.
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Berulang Lagi, Pemerintah Kalbar Tak Serius Tangani Kabut Asap

Kabut asap, masalah yang kerap berulang di Indonesia. Disinyalir ada kelalaian pemerintah daerah setempat, untuk mangantisipasi masalah ini sejak hilir

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

“Untuk mengatasi masalah kabut asap akibat kebakaran lahan itu, hanya soal kemauan. Mau tidak daerah ini menyelesaikan. Selalu berulang terus setiap tahun, ini apa sebabnya dibiarkan,” ujar Presiden RI Joko Widodo, saat bertandang ke Kalimantan Barat, Januari lalu.

Presiden menyatakan, pemerintah daerah terkadang lengah. Hanya mengharapkan bergantinya musim, sehingga hujan bisa mematikan titik api di lahan yang terbakar. Padahal, semua institusi teknis bisa melakukan pencegahan dan penanggulangan pada berulangnya kasus tersebut. “Kalau ada daerah yang berhasil, paling tidak mengurangi titik api. Akan saya beri reward,” katanya.

Namun, ternyata hal itu tidak menyebabkan enam daerah di Indonesia bisa mencapai target zero kebakaran hutan dan lahan. Memasuki musim kering panjang, di bulan Agustus-September, ribuan titik api pun menjadi marak. Jokowi lantas memberikan warning kepada Jambi, Riau, Sumatera Selatan, Kalimantan Tengah, Kalimantan Barat dan Kalimantan Selatan.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Sampai Jumat (4/9), Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan mencatat ada 156 titik panas sumber kabut asap di Sumatera dan Kalimantan. Dari 156 titik tersebut, 95 titik di Sumatera dan 61 titik di Kalimantan.

Meski kondisi kabut asap sudah masuk kategori darurat, pemerintah daerahlah yang berhak menetapkan wilayahnya masuk kondisi darurat asap. Namun, sejumlah provinsi masih menetapkan wilayahnya siaga bencana asap, belum tanggap darurat asap seperti di Riau dan Kalimantan Barat. Dua provinsi tersebut menyatakan, fenomena kabut asap di daerahnya belum memasuki kategori darurat.

Entah ada unsur gengsi karena dianggap tidak bisa menangani kasus kebakaran hutan dan lahan di wilayahnya, atau memang kriteria darurat yang mengharuskan sedikitnya tiga kabupaten/kota menetapkan status darurat, belum terpenuhi. Kondisi ini menyebabkan masyarakat daerah setempat, malah menuding pemerintah pusat membiarkan rakyatnya terkena dampak kabut asap lebih lama.

Padahal, kebijakan lokal sangat memungkinkan untuk mencegah hal ini berkurang. Salah satunya dengan penegakan hukum terhadap perusahaan yang terindikasi melakukan pembakaran lahan. Selain itu, dengan membuat regulasi daerah terkait aturan teknis terhadap kegiatan masyarakat yang melakukan pembukaan lahan secara tradisional. Di Kalimantan Barat, ini belum ada.

Maka, Pemerintah Daerah Kalimantan Barat dianggap tidak serius dalam mengatasi masalah kebarakan hutan dan lahan. Siklus kabut asap dibiarkan terjadi berulang setiap tahunnya. “Intinya keliru kalo tanggung jawab penanganan asap itu diserahkan ke Badan Nasional Penanggulangan Bencana.  BNPB itu urusan di hilir. Kalo sudah menjadi bencana, baru BNPB turun,” kata Direktur Swandiri Institute Hermawansyah.

Dia mengatakan, persoalannya asap ini beda konteksnya  dengan bencana alam, seperti gunung meletus, banjir atau tsunami. “Asap ini terjadi setiap tahun, mestinya bisa diprediksi untuk diambil langkah-langkah antisipasi. Jangan seperti sekarang, asap meluas dan tidak terkendali,” ujarnya.

Ketika kebakaran hutan dan lahan menyebabkan cuaca kabut asap yang tidak terkendali, kata Wawan, semua serta merta ribut soal penegakan hukum semata-mata.  “Lalu ujung-ujungnya menyalahkan masyarakat yang bakar lahan. Masyarakat mestinya dibina dan diberdayakan, bagaimana mengolah lahan tanpa membakar,” paparnya.

Maka terkait dengan titik api, seharusnya dengan jelas bisa dilihat dengan membandingkan di peta perizinan kawasan perkebunan. “Jika berada di konsesi perusahaan, ya harus ditindak karena perusahaan wajib mencegah, menanggulangi dan dilarang melakukan pengolahan lahan dengan cara membakar,” tambahnya.

Paradigma ini menimbulkan sikap ketidakpedulian instansi-instansi pemerintah daerah, dan cenderung melemparkan masalah pada upaya penegakan hukum. Padahal yang harus dilakukan adalah mencegah jangan sampai terjadi asap dengan upaya preemtif dan preventif.

Direktur LinkAR Borneo, Agus Sutomo, juga mengkritik pemerintah agar menindak tegas perusahaan yang terindikasi melakukan pembakaran lahan. "Kabut asap sudah mendengarkan rakyat. Terlebih perusahaan-perusahaan yang jelas merupakan sumber penyebab kebakaran selama ini," kata Tomo.

Dia mengatakan, ekosistem hutan gambut adalah salah satu ekosistem yang paling rapuh. Banyak lahan gambut di Indonesia saat ini yang sudah rusak dan sulit dipulihkan, salah satunya di Kalimantan Barat. Jika kebakaran terjadi di wilayah pemegang konsesi lahan maka perusahaan harus bertanggung jawab. “Diundang-undang jelas kalau terbakar maka pemilik konsesi bertanggung jawab," katanya.

Ia pun mengkritik tidak adanya upaya serius pemerintah untuk menegakkan peraturan. Padahal, ini merupakan kejahatan korporasi yang mengakibatkan kerugian luar biasa. Peraturan jelas menyebutkan sebelum mendapatkan izin, pemilik konsesi harus berkomitmen menyediakan sarana dan prasarana penanggulangan bencana kebakaran hutan dan gambut, pungkas Tomo.

Ikuti tulisan menarik Aseanty Pahlevi lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

1 hari lalu

Terkini

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

1 hari lalu