x

Iklan

Mahendra Ibn Muhammad Adam

Sejarah mengadili hukum dan ekonomi, sebab sejarah adalah takdir, di satu sisi. *blog: https://mahendros.wordpress.com/ *Twitter: @mahenunja - FB: Mahendra Ibn Muhammad Adam
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Tarumanegara: Tanya Kontribusi Nawa Cita

Belajar sejarah Tarumanegara, ambil pelajaran dan motivasi, renungi nawa cita.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Jika museum nasional direnovasi karena tujuan untuk menarik wisatawan agar lebih banyak berkunjung, maka wajar jika ada orang yang sangat berminat dengan sejarah dan mengambil sejarah sebagai pelajaran, bahkan motivasi. Tidak masalah mengaitkan prestasi zaman sekarang dengan zaman dulu. Saya baru saja mendiskusikan kerajaan Tarumanegara dengan siswa saya, jadi tidak mengapa kalau saya mengambil lingkup sejarah Tarumanegara.

Sebentar lagi usia pemerintahan eksekutif genap satu tahun, semenjak dilantik 20 Oktober tahun lalu. Membandingkan dengan eksekutif-eksekutif sebelumnya bukan berarti tak bermanfaat sama sekali, tapi dengan membandingkan maka ia menjadi pelajaran dan tantangan. Tak usah membela diri atas tak mampunya diri Presiden masa kini dalam menggapai prestasi selayaknya kaum zaman dahulu. Maka, mencoba menilai Tarumanegara sebagai cakupan artikel ini, tak masalah untuk menggapai pelajaran dan motivasi (sebab ada tantangan).

Kata “taruma” berhubungan dengan kata “tarum” yang artinya biru. Hingga sekarang nama “taruma” masih digunakan sebagai nama sungai, yaitu Citarum (ci adalah sungai). Tarumanegara lebih dikenal dengan Raja Purnawarman (raja ketiga), karena kerajaan mencapai puncak kejayaan pada masanya. Tarumanegara didirikan pada abad ke-4 Masehi, ‘eksekutifnya’ yang pertama adalah Jayasingawarman yang memerintah sejak 358 sampai 382 Masehi, dengan kata lain ia memerintah selama 42 tahun.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Tarumanegra sepanjang nama dan wujudnya memiliki pengaruh real di bidang agama, ekonomi, politik, social, budaya yang telah menjangkau luasan yang mengagumkan mulai dari Banten, Jakarta, hingga Cirebon dan secara umum Jawa Barat dalam rentang waktu  3 abad lebih (358-669 Masehi).

Gambaran kerajaan dilihat dari para aktornya. Pertama adalah raja, kedua pejabat non kerajaan yang bisa diisi pewaris tahta kerajaan, selanjutnya pejabat keagamaan, dewan penasihat kerajaan, pejabat peradilan, dan pejabat daerah (penyambung komunikasi pusat dengan daerah). Dengan begini jangan selalu dan terfokus pada eksekutif zaman sekarang, atau presidennya, Joko Widodo.

Dengan kehidupan sosial Hindu yang empat kasta itulah yang mempengaruhi sepak terjang Tarumanegara, yaitu kasta brahmana (pendeta Hindu), Ksatria (raja, bangsawan, prajurit), waisya (pedagang dan petani) dan sudra (budak, masyaarakat biasa dan buruh). Dengan begini, sekali lagi, di zaman sekarang dalam konteks sosial pun jangan selalu dan terfokus pada eksekutifnya (presiden).

Kehidupan perekonomian, Tarumanegara sebagaimana kerajaan Hindu-Budha lainnya, mendapat kas dana dari pajak atas tanah pertanian, perdagangan ekspor-impor (terutama relasi dengan China) dan rampasan perang ketika memenangi peperangan. Dengan sistemnya yang bertahan 311 tahun, coba dibandingkan dengan sistem pasca kemerdekaan republik Indonesia, yang baru berusia 70 tahun dengan 7 presiden (anggap lah tidak memperhitungkan perubahan sistem Republik ke Republik Indonesia Serikat)!

Kehidupan perekonomian Tarumanegara direfleksikan dari cermin mata pencaharian masyaratnya seperti perniagaan, perburuan, perikanan, pertambangan, pertanian dan peternakan. Kehidupan yang hidup itu tak berbeda bidang-bidangnya di zaman sekarang. Dalam masa presiden Joko Widodo, ini menjadi tantangan sebagai masa pemerintahan yang tergabung dalam masa sistem 70 tahun pasca kemerdekaan. Apalagi ketika Raja Ketiga, Purnawarman sebagai simbol dari puncak kejayaaan Tarumanegara berhasil memimpin program penggalian Sungai Gomati dan Candrabaga sepanjang kurang lebih 11 km, itu proyek raksasa di zamannya yang melibatkan banyak aktor, yang kemudian Purnawarman menyedekahkan 1000 sapi kepada brahmana.

Transportasi (alat angkut) di kala itu adalah pedati, perahu, gerobak dan  kapal lengkap dengan pelabuhan. Sekarang beda, sekarang kira-kira plus pesawat terbang dan kehebatan jaringan komunikasi serta sejumlah teknologi lainnya sampai-sampai memperebutkan sumber energi (minyak) dan barang tambang. Dari segi keuangan, sekarang juga mirip dengan zaman dulu, alat tukar zaman Tarumangeara adalah mata uang dari perak, emas, temabga, dan besi. Saya belum dapat informasi apakah dahulu menggunakan sistem bunga atau tidak dan ada bank (sejenis lembaga riba) atau tidak. Namun yang tidak diragukan lagi adalah dulu dan sekarang menggunakan sistem perhitungan yang dianggap baku (kolektif) pada zamannya masing-masing. Sampai di sini berhentilah mengatakan “kondisi dan masalah zaman dulu kompleksnya beda dengan sekarang” atau “sekarang masalahnya lebih kompeks”. Tanyakan sebelum berkata begitu, seharusnya tanyakan “orangnya yang buruk atau sistemnya yang buruk, salah manusianya atau salah aturannya”.

Kembali ke prestasi, itu prestasi tidak hayalan, sebab kejayaan yang rajanya sakti, perkasa dan menyejahterakan rakyatnya itu telah tertulis berhuruf Pallawa dan berbahasa Sansekerta dalam Prasasti Ciaruteun dan Prasasti Jambu di Bogor dan Prasasti Tugu di Jakarta.  Namun, ada kemungkinan atau bisa saja prasasti itu menunjukkan sekadar kehebatan raja, dan bukan kehebatan sistemnya. Tapi berita China dari Fa-hsien mengabarkan bahwa Tarumanegra termasuk wilayah yang mampu rukun sebab rakyatnya beragama Hindu aliran Wisnu (mayoritas) rukun berdampingan hidup dengan penganut Budha serta animisme-dinamisme. Maka Presiden Joko Widodo jangan mengabaikan isu-isu intoleransi.

Toleransi adalah keadaan orang-orang menebar ide secara bertanggung jawab, berdiskusi, bukan sedikit-sedikit menuduhnya dengan perkataan: “itu syara’” sehingga sejumlah orang tidak pernah mau berpikir tentang kebenaran. Seperti, bentuk Tuhan yang benar (menurut logika sekalipun) adalah tidak ada yang menyerupai-Nya sehingga Tuhan adalah satu, Tuhan adalah Tuhan, makhluk-Nya adalah makhluk-Nya. Tuhan yang hak adalah jelas menjawab pertanyaan ” di mana Ia”. Ketika ditanya “di mana Ia”, jawabannya adalah: “Aku dekat”. Karena pertanyaan “di mana Ia” menunjukkan jawaban bahwa subjek lebih kecil dari tempatnya, sehingga Tuhan yang hak ketika ditanya “di mana Ia”, jawabannya adalah: “Aku dekat”. Tentang ini bukan sesuatu yang perlu ditakuti, tapi perlu berdiskusi, itu penting. Sementara yang jahat adalah yang memaksa.

Purnawarman tidak menyepelekan agama, ia juga begitu dekat dengan brahmana sebagaimana di zamannya telah bekerja optimal pejabat keagamaan. Tapi Purnawarman tidak berhasil mewariskan semangat berloyalitas kepada agama untuk pewaris tahta kerajaan. Raja Tarumanegara yang terakhir mungkin terbilang gagal. Itu dimulai ketika dua putri raja keduabelas (Linggawarman) yaitu Dewi Manasih dan Sobakencana. Tarusbawa kemudian menikahi Dewi Manasih, sementara Dapunta Hyang Sri Jayanasa menikahi Sobakencana. Tarusbawa mnedapat tampuk kepemimpinan dan terlibat dalam mendirikan Kerajaan Sunda dengan memindahkan pusat kerajaan Tarumanegara ke Sunda. Padahal dulunya kerajaan Sunda terintegrasi dengan Tarumanegara. Sedangkan Dapunta Hyang Sri Jayanasa terlibat dalam mendirikan kerajaan Sriwijaya.

Mungkin dari sudut pandang Tarumanegara, keduanya (Tarusbawa dan Dapunta), keegoisannya, dan ketidakloyalannya kepada agama telah memotong-motong kerajaan Tarumanegara dan menghilangkan nama dan wujudnya pasca abad ke-7, itu bertepatan dengan masa di mana Islam yang syumul berkembang pesat dan berpusat di Timur Tengah. Maka janganlah Presiden Jokowi menjauhi MUI!

Pak Presiden Joko Widodo akan menyedekahkan berapa sapi? Membangun apa? Saya menunggu kabar darinya bukan sebagai diri yang 5 tahun tapi bagian dari 70 tahun usia kemerdekaan republik ini. Bagus jika Bapak mendapat pujian dari Raja Saudi, dan Bapak termasuk 100 top tokoh yang berpengaruh di dunia 2015 versi The Time. Bahkan sebagai 50 top muslim berpengaruh di dunia (2015) versi The Royal Islamic Strategic Studies Centre. Bagaimana dengan terminologi Purnawarman?

Dari sisi sudut pandang manapun, Pak Presiden memiliki tanggungjawab lebih besar, dan harus melakukan gerak lebih dulu dari siapapun. Rakyat tidak berubah jika presidennya tidak berubah lebih dulu. Namun yang jelas semua pihak harus kembali merenungi janji ini, termasuk apakah saya sudah berkontribusi atau belum. Ini Nawa Cita:

Kami akan menghadirkan kembali Negara untuk melindungi segenap bangsa dan memberikan rasa aman pada seluruh warga Negara.

Kami akan membuat pemerintah tidak absen dengan membangun tata kelola pemerintahan yang bersih, efektif, demokratis dan terpercaya.

Kami akan membangun Indonesia dari pinggiran dengan memperkuat daerah-daerah dan desa dalam kerangka Negara kesatuan.

Kami akan menolak Negara lemah dengan melakukan reformasi sistem danpenegakan hukum yang bebas korupsi , bermartabat dan terpercaya.

Kami akan meningkatkan kualitas hidup manusia Indonesia.

Kami akan meningkatkan produktivitas rakyat dan daya saing di pasar internasional.

Kami akan mewujudkan kemandirian ekonomi dengan menggerakkan sektor-sektor strategis ekonomi domestik.

Kami akan melakukan revolusi karakter bangsa.

Kami akan memperteguh ke-bhineka-an  dan memperkuat restorasi sosial Indonesia.

 

Ikuti tulisan menarik Mahendra Ibn Muhammad Adam lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler