x

Musim Baru Kabut Asap

Iklan

Muhammad Isnaini

HP 0813 7000 8997. Alamat di Petatal, Batu Bara, Sumut. Penangkar bibit aren, asam gelugur, lada, durian dll.
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Kabut Asap Melanglang Buana, Salah Siapa?

Jerebu alias kabut asap sudah go international. Sayangnya, hal itu hanya memberi aib bagi kita. Bagaimana kisah sebenarnya?

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Sudah lebih dari sewindu lamanya, tiap tahun kita selalu dipusingkan dengan masalah kabut asap. Asap hasil pembakaran semak belukar, yang oleh Upin –Ipin ini dinamakan jerebu, memberi dampak negatif berupa penyakit ISPA. Jutaan ummat di seantero negeri terpapar, ada yang jadi sakit, susah bernafas atau harus diungsikan ke luar pulau.

 Tak tanggung-tanggung, tahun ini ‘jerebu made in Indonesia’ juga sudah go international  sampai ke negara tetangga seperti Malaysia dan Singapura. Sama seperti keadaan di daerah Sumatera dan Kalimantan, berminggu-minggu lamanya penduduk Malaysia dan Singapura menanggung derita akibat polusi udara musiman ini. Tak pelak, berbagai meme bertajuk ‘Terima kasih Indonesia’ pun ramai beredar di pelbagai medsos, sebagai sebuah sindiran tajam kepada pihak kita.  

Sayangnya, pemerintah Jokowi-JK seakan tak berdaya menghadapi masalah pembakaran hutan ini. Pemerintah Jokowi-JK yang giat membangun infrastruktur di mana-mana, seolah tak peduli dengan masalah lingkungan dan penderitaan masyarakat.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Sekali waktu JK malah berujar bahwa hanya hujan yang dapat menyelesaikan masalah. “Kita gagal, hanya hujan yang dapat hentikan asap”, ujar JK seperti dikutip news.liputan6.com. Padahal, bagaimana mau berharap pada hujan, sedangkan awan saja pun tidak ada di puncak musim kemarau ini. Pemerintah seharusnya lebih peduli dan mengupayakan pemadaman api yang membakar hutan, dengan jalan apa pun yang bisa ditempuh, meski pun mahal.

Pemerintah juga harus mendorong aparat kepolisian untuk mengusut kasus ini dan menindak mereka yang tetap membandel melakukan pembakaran lahan. Tak peduli itu perorangan atau korporasi, tak peduli ia punya beking kuat atau punya silsilah istana. Semua pelaku pembakaran hutan tak terkendali wajib dihukum sesuai peraturan yang berlaku.

***

 Mengapa orang membakar lahan yang akan ia tanami?

Menurut pengamatan langsung penulis di lapangan, pekebun, termasuk korporasi, membakar semak belukar atau hutan imas tumbang pada akhir musim kemarau karena cara itu merupakan cara yang termudah, termurah dan sangat efektif dalam melakukan land clearing alias pembersihan lahan. Lahan semak belukar yang sudah dibakar akan menjadi bersih terbakar, karena saat itu rerumputan sudah mulai mengering, hingga api mudah menyala dan melebar.

Apakah titik awal api langsung dapat menunjukkan siapa pelaku pembakaran? Tidak juga. Kadang ada juga orang yang sengaja membakar lahan milik tetangga kebunnya, dengan harapan api akan menyebar ke lahan miliknya, dan membersihkannya. Kebun yang dibakar pertama itu biasanya adalah kebun atau semak belukar yang pemiliknya tidak ada di tempat. Pembakar jahat seperti ini akan mendapatkan dua keuntungan jika tidak ketahuan: lahan belukarnya bersih dan ia tidak jadi tersangka. Tak jarang juga pembakaran seperti ini jadi meluas tak terkendali hingga merugikan banyak pihak. Pun sangat sering terjadi, lahan yang sudah ditanami, tanamannya jadi hangus dan mati karena kemasukan api.

Penulis pernah juga menemukan lahan kebun akasia milik salah satu perusahaan yang sepertinya sengaja dibakar oleh orang jahat iseng. Unsur kesengajaan terlihat dari adanya dua titik api yang berdekatan. Kesengajaan juga dapat dikaji dari sifat daun-daun akasia kering yang terbakar itu. Meski pun kering, daun akasia itu cukup tebal, hingga nyaris mustahil api akan bisa berkobar jika hanya tersundut api puntung rokok yang dibuang sembarangan.

 Pembakar lahan tak bertanggung jawab seperti ini memang sebaiknya diciduk dan dihukum sesuai aturan yang berlaku. Keisengannya sudah menyumbang bertambahnya jerebu yang menyiksa mata dan sistim pernafasan mahkluk hidup di bumi.

Apakah ada jalan lain membersihkan lahan selain membakar semak belukarnya? Tentu saja ada, tetapi akan makan waktu lama dan menghabiskan biaya besar.

Tahapan land clearing tanpa api adalah sebagai berikut.

Mula-mula semak belukar dan anak kayu ditebas secara manual. Saat ini di Riau upahnya sekitar satu juta rupiah perhektarnya. Dua bulan kemudian, rumput yang sudah mulai tumbuh bersemi, disemprot dengan herbisida kontak. Biayanya juga berkisar satu juta rupiah untuk tiap hektarnya. Setelah dua bulan berlalu, lahan disemprot lagi dengan herbisida sistemik. Biaya bertambah lagi, tentunya.

Tiga bulan kemudian, setelah rumput dan ilalang rubuh rata dengan tanah, barulah tanaman dapat ditanam. Menanam tanaman di lahan yang rumputnya masih tegak, walau pun sudah mati, adalah sangat riskan. Babi hutan dan tikus masih suka berkeliaran di lahan yang demikian.

Segerombolan babi hutan yang dibantu sahabat karibnya, tikus, dapat memusnahkan berhektar-hektar tanaman sawit muda hanya dalam waktu satu malam saja.

Lalu, apa solusinya? Sebaiknya para pekebun, termasuk korporasi, mau merubah pola pikir. Janganlah hanya mau senangnya saja tapi tidak memikirkan akibat buruk yang ditanggung orang lain. Hentikanlah pembakaran lahan. Bersihkanlah lahan Anda dengan cara yang baik, cara yang beradab serta tidak memberikan penderitaan bagi jutaan ummat lainnya. Jika Anda tidak mampu membersihkan lahan tanpa api, maka tak usah buka lahan yang luas. Lakukan pembukaan lahan hanya sebatas kemampuan keuangan yang dimiliki. Janganlah keserakahan kita menjadi musabab derita orang lain.

Satu keluarga tak perlu membuka lahan sampai puluhan hektar. Cukup dua hektar tanah mineral saja. Yang satu hektar ditanami aren atau asam gelugur. Yang satu hektar lagi ditanami singkong gajah. Singkong gajah akan memberikan penghasilan kotor minimal rp.80.000.000/hektar/tahun. Hasil bersihnya sekitar rp.68.000.000. Setelah aren mulai berproduksi, pada umur 7-8 tahun, maka penghasilan pekebun akan menjadi minimal rp.455.000.000 pertahunnya. Jumlah ini jauh lebih banyak dibandingkan dengan hasil menanam kelapa sawit seluas empat kali lipatnya. Terlebih lagi saat harga tandan buah segar (TBS) kelapa sawit harganya sedang rontok seperti saat ini. Harga karet dan TBS memang tengah  tergerus parah, seiring jatuhnya harga minyak bumi dunia.

Saat ini, masyarakat pekebun cenderung menguasai lahan puluhan hektar per keluarganya, karena mereka menanam kelapa sawit, yang memang hanya akan memberikan penghasilan kotor rp.24.000.000/hektar/tahunnya. Saat harga TBS sawit jatuh seperti sekarang ini, maka hasil brutto tadi jadi tinggal kurang dari setengahnya. Tentu saja ini mengakibatkan hasil dari kebun sawit seluas empat hektar tak cukup untuk menghidupi satu keluarga yang tinggal di Riau, Jambi, Sumsel, Babel dan sekitarnya. Kalau di Sumut, angka itu masih cukup, karena segala sesuatu di Sumut harganya lebih murah.

Bagaimana jika lahan itu tanahnya berjenis gambut? Apa boleh buat, lahan gambut umumnya hanya cocok ditanami tanaman berakar serabut. Dalam kasus ini, bertanam aren dan padi gogo adalah solusi yang cukup menjanjikan.

 

Ikuti tulisan menarik Muhammad Isnaini lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

Sabtu, 27 April 2024 14:25 WIB

Terkini

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

Sabtu, 27 April 2024 14:25 WIB