x

Iklan

dian basuki

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Rivalitas yang Memacu Kemajuan

Rivalitas di antara individu kreatif telah mendorong kemajuan masyarakat. Newton vs Leibniz mendorong kemajuan ilmu kalkulus.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Setelah lebih dari 10 tahun mengerjakan lukisannya dan tiba waktunya untuk memamerkan karyanya kepada dunia, pelukis John Constable masih sibuk menorehkan sentuhan terakhir pada karya terbaiknya, The Opening of Waterloo Bridge. Di sebelah lukisan ini menggantung Helvoetsluys karya JMW Turner. Melihat upaya terakhir Constable di menit-menit terakhir menjelang pembukaan pameran, 26 Mei 1832, Turner terdorong untuk memberi sentuhan pula pada lukisannya: pelampung merah yang mengapung di air.

Rivalitas di antara Constable dan Turner itu—yang dianggap sebagai sosok-sosok yang membuka jalan bagi modernise—bukanlah satu-satunya yang terjadi di panggung para jenius kreatif. Di abad ke-17, dua matematikawan brilian bersaing untuk memberi kontribusi terbaik terhadap matematika. Mereka adalah Isaac Newton yang orang Inggris dan Gottfried Leibniz yang orang Jerman.

Newton dikabarkan bersaing sengit dengan Leibniz, sebab masing-masing mengklaim sebagai orang pertama yang menemukan kalkulus. Kini, pandangan umum yang berlaku, mereka berdua mengembangkan kalkulus sendiri-sendiri. Rivalitas Newton dan Leibniz menyebabkan tidak ada pertukaran pengetahuan di antara mereka. Di muka publik, yang terjadi adalah persaingan sengit.

Ada lagi sosok hebat yang saling bersaing di lapangan inovasi kelistrikan, yakni Thomas Alva Edison dan Nikola Tesla. Edison memiliki 1.093 paten atas namanya, sedangkan Tesla mempunyai 1.200 paten. Mereka menemukan sistem kelistrikan pada 1880an. Tesla condong kepada listrik arus bolak-balik (alternating current), sementara Edison listrik arus searah (direct current). Mereka berdebat sengit tentang mana yang lebih bermanfaat di antara AC dan DC—keduanya terbukti bermanfaat untuk masing-masing kebutuhan.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Di ranah biologi terdapat sosok Charles Darwin dan Alfred Russel Wallace. Berdasarkan riset alam di tempat yang sangat berjauhan, Darwin di Kepulauan Galapagos Amerika Selatan dan Wallace di Kepulauan Nusantara, keduanya merintis apa yang kemudian dikenal sebagai teori evolusi. Darwin dengan terburu-buru menerbitkan bukunya, The Origin of Species, setelah menerima makalah yang ditulis Wallace mengenai bukti-bukti evolusi hewan di Kepulauan Nusantara.

Salah satu pertanyaan yang layak diajukan: burukkah rivalitas di antara individu-individu yang berusaha meraih prestasi puncak ini? Hasil studi menunjukkan bahwa rivalitas di antara mereka justru berdampak positif bagi perkembangan masyarakat. Mengapa begitu? Masing-masing individu didorong oleh obsesi untuk menjadi lebih baik dari rivalnya, sehingga pencapaian mereka terus meningkat tak ubahnya spiral. Yang seorang meraih prestasi tertentu, pesaingnya menjadi ‘panas’ dan berusaha keras untuk melewati prestasi rivalnya; begitu seterusnya.

Studi yang dilakukan oleh Gavin Kilduff, psikolog di New York University, pada 2014 memperlihatkan bahwa rivalitas itu terjadi di antara individu yang usianya setara, sama jenis kelaminnya, saling mengenal—setidaknya mengetahui siapa rivalnya, dan punya ‘sejarah personal’ tertentu di antara mereka. Rivalitas bukan hanya berdampak positif, menurut Kilduff, namun dalam hal tertentu memang berpotensi mendorong perilaku yang tidak etis, seperti berbohong atau menyembunyikan sesuatu.

Sebagian sejarawan seni berpendapat bahwa kelahiran Renaisans, setidaknya dalam ranah seni, dapat dilihat sebagai buah dari persaingan dua seniman yang bersaing merancang pintu perunggu Florence Baptistery. Pencapaian artistik era Renaisans terjadi di wilayah yang relatif kecil, yakni Roma, Florence, dan Venesia yang berpenghuni ribuan orang saja. Di masa ini, hidup sejumlah sosok raksasa seni seperti Leonardo da Vinci (1452-1519), Michelangelo (1475-1564) dan Raphael (1483-1520). Karya Raphael diapresiasi oleh seniman-seniman lain, kecuali Michelangelo.

Terkait rivalitas individual ini, ada eksplorasi menarik yang dilakukan oleh psikolog mendiang Carl Jung—pendiri psikologi analitik. Jung mengatakan, sebenarnya kita memiliki lebih banyak kesamaan dengan rival kita dibandingkan yang kita mau mengakuinya. Kita memiliki kegelisahan yang sama, sifat agresif yang sama, obsesi serupa, juga keangkuhan yang sama—kira-kira seperti itu. Jung menyebutnya perilaku ‘bayangan’.

Rivalitas itu mencuat di antara orang-orang kreatif yang saling terusik oleh kemajuan yang dicapai pesaingnya. Semakin Anda kreatif, semakin besar peluang Anda untuk terlibat persaingan sengit. Dan semakin sengit persaingan Anda, semakin besar peluang Anda untuk memperoleh kemajuan yang luar biasa. Inilah barangkali yang menjelaskan mengapa ranah seni di era Renaisans begitu cemerlang, begitu pula dengan kemajuan di bidang kalkulus dan kelistrikan, serta lahirnya teori evolusi. (Foto: kiri Charles Darwin, kanan Alfred Wallace) ***

Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

5 hari lalu

Bingkai Kehidupan

Oleh: Indrian Safka Fauzi (Aa Rian)

Sabtu, 27 April 2024 06:23 WIB

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

5 hari lalu

Bingkai Kehidupan

Oleh: Indrian Safka Fauzi (Aa Rian)

Sabtu, 27 April 2024 06:23 WIB