x

Iklan

Handoko Widagdo

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Sultan Agung Ingin Dimakamkan di Samping Nabi

Kisah naik haji orang Nusantara di masa silam

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Judul: Naik Haji di Masa Silam – Kisah-Kisah Orang Indonesia Naik Haji (1482 - 1964); Jilid I (1482 - 1890).

Penulis: Henri Chambert-Loir

Tahun Terbit: 2013

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Penerbit: KPG (Kepustakaan Populer Gramedia)                                                    

Tebal: vi + 470 halaman

ISBN: 978-979-91-0656-8

 

Melaksanakan ibadah haji adalah salah satu dari lima rukun Islam. Kelima rukun Islam tersebut adalah: (1) membaca kalimat sahadat, (2) menegakkan shalat, (3) melaksanakan puasa pada Bulan Ramadhan, (4) membayar zakat, dan (5) jika mempunyai kemampuan yang cukup, menunaikan ibadah haji. Jika keempat rukun Islam wajib dilaksanakan tanpa prasyarat, rukun kelima ini, yakni melaksanakan ibadah haji, hanya diwajibkan kepada mereka yang ‘mampu’.

Islam sudah masuk ke Nusantara sejak abad ke 7M. Khalifah Ustman bin Aflan mengirimkan utusan ke Kerajaan Kalingga (Jepara) pada tahun 674 M. Salah satu putra Ratu Kalingga (Ratu Shima) dikhabarkan masuk Islam. Pada abad ke 13M, Agama Islam semakin instensif berkembang di Nusantara bersama dengan kedatangan para pedagang dari Persia dan Gujarat (India). Meski Islam sudah masuk ke Nusantara sejak abad ke tujuh, namun catatan orang Nusantara yang naik haji baru diketahui sejak abad 15M (tahun 1482M).

Meski bukan berarti bahwa tidak ada orang Nusantara yang menunaikan ibadah haji sebelum tahun 1482M, namun jelas bahwa berhaji belum menjadi ibadah yang diutamakan oleh orang-orang di Nusantara. Hal ini bisa disebabkan karena transportasi yang belum memungkinkan orang Nusantara naik haji, juga bisa disebabkan bahwa berhaji hanya disyaratkan kepada mereka yang ‘mampu’.

Adalah Hang Tuah, seorang laksamana dari Melaka yang dalam pelayarannya ke Istambul untuk membeli meriam. Saat kapalnya berlabuh di Jedah, Hang Tuah diajak oleh Malik Razal (Syahbandar Jedah) untuk menunaikan ibadah haji. Namun apakah benar bahwa Hang Tuah yang naik haji pada tahun 1482M, tepatnya tanggal 29 Januari 1482, atau ada orang lain yang naik haji dan membuat catatan kemudian dimasukkan dalam Hikayat Hang Tuah, beberapa ahli meragukannya. Namun teks ini menunjukkan bahwa siapapun dia, sudah ada orang Melaka yang berangkat haji pada tahun 1482.

Tulisan kedua tentang orang Nusantara naik haji berasal dari Sejarah Banten Rante-Rante. Teks ini menceritakan Sunan Gunung Jati naik haji. Sunan Gunung Jati adalah seorang keramat, yang bapaknya berasal dari Yamani dan ibunya dari Banisrail –seorang Yahudi (p158). Sebagai seorang anak saudagar di Pasai, Sunan Gunung Jati pergi ke Mekah untuk belajar. Sunan Gunung Jati memtusukan untuk kembali ke Nusantara (Jepara) karena beliau bemimpi bertemu dengan Nabi Muhammad. Sunan Gunung Jati diminta untuk kembali ke Jawa dan mengislamkan orang Jawa (p161). Selain dari Sunan Gunung Jati, perjalanan haji yang fenomenal dilakukan oleh Syekh Yusuf al-Makasari (1650). Selain perjalanan fisik, kisah haji Syekh Yusuf al-Makasari dipenuhi dengan kisah perjalanan spiritual bertemu dengan berbagai nabi.

Berturut-turut buku ini menyajikan kisah Jamaluddin Ibn al-Jawi (awal abad ke-18), Raja Ahmad dari Riau (1828), Abdullah bin Abdul Kadir Munsyi (1854) dan Sultan Abdul Kahar dari Pontianak (1880). Selain itu buku ini juga memuat beberapa petunjuk berhaji, seperti: Sirat al-Mutaqim (Karya Nurudin ar Raniri -1634), Syair Rukun Haji (1841), Buku Wulang Haji (1873), dan beberapa buku petunjuk berhaji yang terbit dari tahun 1880-1990.

Pada abad ke-17 Mekah adalah pusat Agama Islam sekaligus pusat kekuatan politik. Itulah sebabnya banyak kerajaan-kerajaan di Nusantara membangun jaringan dengan Mekah. Selain dengan mengirimkan utusan untuk belajar agama, ada juga beberapa kerajaan di Nusantara yang mengundang para syekh untuk mengajar agama di kerajaannya.

Salah satu kisah upaya membangun jaringan dengan Mekah yang dimuat dalam buku ini adalah tentang Sultan Agung Raja Mataram. Dikisahkan bahwa Sultan Agung selalu shalat Jumat di Masjid Mekah. Sultan meminta supaya bisa membangun makam di samping makam Nabi Muhammad. Namun permintaan ini ditolak oleh Imam Syafi’i. Sultan Agung marah atas penolakan ini dan melaporkannya kepada istrinya Ratu Kidul. Maka Ratu Kidul mengirimkan wabah penyakit ke Mekah. Akhirnya, Sunan Kalijaga meredakan wabah tersebut dan membawa segenggam tanah dari makam Nabi untuk disebarkan di Jawa. Lahan tempat disebarkannya tanah dari makam Nabi kemudian menjadi makam para raja Jawa (Imogiri). Kisah ini, disamping legenda supranaturalnya, menunjukkan bahwa hubungan dengan Mekah adalah sangat penting untuk meningkatkan legitimasi kerajaan-kerajaan di Nusantara.

 

Ikuti tulisan menarik Handoko Widagdo lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

5 hari lalu

Bingkai Kehidupan

Oleh: Indrian Safka Fauzi (Aa Rian)

Sabtu, 27 April 2024 06:23 WIB

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

5 hari lalu

Bingkai Kehidupan

Oleh: Indrian Safka Fauzi (Aa Rian)

Sabtu, 27 April 2024 06:23 WIB