x

Iklan

dian basuki

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Jaguar Sang Ketua

Ada problem kepemimpinan di DPR ketika Ketua tidak peka terhadap kondisi masyarakatnya.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

“Nobody cares how much you know, until they know how much you care.”
--Theodore Roosevelt

 

Orang kaya boleh-boleh saja naik Jaguar atau Rolls-Royce di jalanan Jakarta. Mereka membayar pajak seperti warga lainnya, jadi secara legal tak ada yang salah. Meskipun dapat diduga, kenikmatan tatkala meluncur di aspal Jakarta tak bisa dirasakan sepenuhnya. Maklum, lalu lintas sering macet. Tapi di tengah kemacetan itu setidaknya orang-orang akan menengok: “Siapa ya yang menunggang Jaguar itu?”

Duduk perkaranya menjadi berbeda ketika yang menunggang si Jaguar itu adalah figur yang mewakili institusi negara bernama Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), apalagi dengan posisi Ketua DPR. Plat nomor yang terpasang di bagian depan mobil Jaguar, RI 6, sudah menunjukkan betapa penting jabatan yang diemban. Jaraknya dari RI 1 atau Presiden hanya lima nomor—ini sebuah simbol tentang pentingnya jabatan Ketua DPR.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Sebagai orang kaya, Setya Novanto berhak saja untuk menunggangi mobil, yang menurut Tempo.co, seharga Rp 2,6 miliar itu. Soalnya jadi lain ketika nomor plat RI 6 dipasang di Jaguar dengan alasan mobil dinasnya, dari jenis Lexus, sedang diperbaiki di bengkel. Ketua DPR memilih untuk memakai mobil yang lebih mewah lagi dibanding Lexus (yang sudah mewah) yang jadi fasilitas pimpinan DPR. Untuk apa?

Pemilihan mobil Jaguar sebagai pengganti mobil dinas yang disediakan negara setidaknya mencerminkan dua hal, yaitu kurangnya self-awareness dan sikap berempati. DPR adalah institusi negara yang secara formal mewakili rakyat. Setiap lima tahun sekali rakyat dibujuk-bujuk agar mau memilih partai politik dan orang-orang partai agar mereka bisa duduk di kursi DPR. Mestikah suara rakyat hanya dimanfaatkan ketika musim pemilu tiba?

Self-awareness atau kesadaran akan diri sendiri adalah salah satu butir dari kecerdasan emosional yang penting dimiliki oleh siapapun, terlebih lagi figur yang ditunjuk oleh partai untuk duduk di kursi pimpinan DPR (pimpinan DPR memang tidak dipilih oleh rakyat). Seseorang yang menapaki hirarki yang kian tinggi di tataran kenegaraan, jadi presiden, menteri, atau ketua DPR, sudah semestinya semakin menyadari siapa dirinya: ia bukan lagi pebisnis yang mencari profit, ia bukan politikus yang sempit pikiran, ia bukan lagi artis yang bisa bertingkah seenaknya.

Sungguh mengherankan bahwa karena alasan mobil dinasnya masuk bengkel, Ketua DPR memakai mobil Jaguar dengan plat RI 6. Apakah Setjen DPR tidak punya mobil dinas cadangan yang bisa dipakai oleh pimpinan? Atau, ia menggunakan mobil pribadi yang tidak mencolok kemewahannya, atau memakai taksi dan kendaraan umum laiknya rakyat yang (secara formal) diwakilinya? Sebagai wakil rakyat, self-awareness berarti kesadaran tentang harapan rakyat terhadap dirinya.

Begitu pula dengan empati, banyak pejabat publik yang sukar untuk bersikap empatetik kepada rakyat. Kamus Merriam-Webster mendefinisikan empati sebagai “perasaan bahwa kamu memahami dan berbagi dengan perasaan dan emosi orang lain”. Berempati itu lebih dalam ketimbang bersimpati. Dengan berempati, kita ikut merasakan bagaimana pengalaman, perasaan, kebutuhan, maupun persepsi orang lain tentang sesuatu.

Empati dianggap sebagai kualitas dasar manusia. Lantaran itu, pemimpin politik yang menyadari posisinya dan memahami kondisi rakyat akan tahu bagaimana menempatkan diri. Dalam pepatah Jawa: “Ngono yo ngono, ning ojo ngono.” Salah satu maknanya ialah “kamu memang orang kaya, tapi ya gak perlulah mempertunjukkan kekayaanmu.”

Dalam kepemimpinan, mendengarkan merupakan perilaku yang sangat penting sebagai wujud sikap berempati. Pemimpin yang baik akan meluangkan lebih banyak waktu untuk mendengarkan suara rakyat. Sikap berempati memungkinkan pemimpin untuk memahami akar-akar persoalan yang menyebabkan kehidupan masyarakat menurun.

Sikap berempati memungkinkan pemimpin menjalin komunikasi dan hubungan yang erat dengan rakyat. Sikap berempati membuat jarak antara pemimpin dan rakyat semakin dekat. Begitu pula, tidak 'unjuk kemewahan' adalah salah satu wujud empati terhadap kesukaran hidup yang masih dihadapi oleh sebagian besar rakyat, termasuk saya. (Foto: tempo) ***

Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu

Kisah Naluri

Oleh: Wahyu Kurniawan

Selasa, 23 April 2024 22:29 WIB

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu

Kisah Naluri

Oleh: Wahyu Kurniawan

Selasa, 23 April 2024 22:29 WIB