x

Iklan

dian basuki

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Mengenang Ibu tak Terbatas oleh Bilangan Waktu

Ibu selalu ada ketika aku membutuhkannya. Ketika teman sebaya merisakku, kepada Ibu aku bersandar. Tempat terbaik untuk menangis adalah pangkuan Ibu.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

 

“Kita terlahir karena cinta; Cinta adalah Ibu kita.”

-- Jalaluddin Rumi

 

Hari Ibu boleh berlalu, tapi mengenang Ibu tak terbatas oleh bilangan waktu. Mungkin Ibu sudah tak ada di sisi kita dalam hidup sehari-hari, namun jiwanya akan selalu hadir menemani di saat-saat senang, di waktu-waktu sedih. “Aku ingat akan doa-doa Ibu dan doa-doa itu selalu menyertaiku,” kata Abraham Lincoln. “Doa-doa itu melekat pada diriku sepanjang hidup.”

Di saat letih sekalipun, Ibu menyempatkan diri membacakan cerita untukku. Mengajariku mengeja a, b, c; 1, 2, 3; alif, ba’, ta’ adalah kesukaannya. Di manapun, ibu adalah guru yang tak letih mengajari anak-anaknya tentang kehidupan. “Ibu adalah guruku yang paling hebat,” ujar Stevie Wonder. “Ibu mengajariku perihal kasih sayang, cinta, dan keberanian. Apabila cinta itu semanis bunga, maka Ibuku adalah bunga cinta yang manis itu.”

Ibu selalu ada ketika aku membutuhkannya. Ketika teman sebaya merisakku, kepada Ibu aku berpaling. Seperti kata Jodi Picoult, penulis My Sister’s Keeper, “Tempat terbaik untuk menangis adalah lengan Ibu.” Ibu tak akan melemahkan diriku dengan kata-kata yang mengerdilkan semangat. Setiap Ibu akan berusaha menjadikan anak-anaknya yang terbaik. “Ibuku berpikir bahwa aku yang terbaik,” kata Diego Maradona, “dan aku dibesarkan untuk selalu memercayai apa yang Ibu katakan kepadaku.”

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Aku sepakat dengan yang dikatakan Washington Irving, Ibu adalah teman paling sejati yang kita miliki. Ketika cobaan berat tiba-tiba datang, ketika kesulitan menerjang, ketika teman-teman pergi, Ibu selalu hadir di sisi. “Dengan ajaran dan nasihatnya, Ibu mengusir awan gelap dan membawa kedamaian kembali ke hati kita,” kata Irving.

Yang aku ingat, meskipun Ibu turut mencari nafkah, Ibu punya tugas tambahan di rumah: menyiapkan sarapan dan makan malam, serta membuatkan kopi panas untuk Ayah. “Jika Ibumu memasak hidangan Italia, mengapa kamu mesti pergi ke restoran?” pertanyaan retoris Martin Scorsese ini adalah pertanyaan untukku pula. Masakan Ibu memang tak selalu lezat, tapi senyumnya membuat masakannya senantiasa nikmat untuk disantap sembari ngobrol bersama di meja makan.

Dengan sabar Ibu mendengarkan ceritaku, tentang teman-temanku, yang bagi orang lain barangkali tidak begitu penting. Ibu mungkin sudah letih sehabis bekerja, tapi wajahnya tetap sumringah mendengarkan celotehku. Ibu bertanya perihal ini dan itu. Kapanpun, di manapun, Ibu mengajariku tentang kekuatan inspirasi dan keberanian. Dan Ibu melakukannya dengan sepenuh hati. Terkadang ia terlihat cerewet. Tapi seperti kata Pearl S. Buck, sebagian ibu memang cerewet, sebagian lainnya senang mencium anak-anaknya. “Dan kebanyakan Ibu senang mencium sekaligus cerewet,” kata Pearl.

Ibu tak pernah lupa kapan anak-anaknya berulang tahun. Ayam goreng, telor dadar, dan nasi uduk menjadi santapan bersama, tak lupa bubur merah dan putih. Selalu begitu, siapapun di antara anak-anaknya yang berulang tahu. Tapi kami gembira, sebab hidangan itu mengingatkan bahwa kami tumbuh semakin besar. Seperti kebanyakan Ibu, ia akan bertanya: “Hadiah apa yang kamu inginkan?” Dan seperti kata Guy Johnson, aku pun menjawab: “Aku ingin membaca puisi bersama Ibu.”

Bagiku, Ibu adalah penghiburan di dalam kesedihan. Ia harapan ketika kita diimpit kesukaran. Ia sumber kekuatan di saat kita lemah. Ketika Ibu pergi, akupun merasa ada yang hilang. “Ibu adalah sumber cinta, kasih sayang, simpati, dan ampunan,” kata Kahlil Gibran. “Orang yang kehilangan Ibunya, ia kehilangan jiwa murni yang selalu memberkati dan melindunginya.” Namun, aku tak akan membiarkan kekosongan itu—sebab di sana tetap ada Ibu.

Teringat Ibu, aku pun teringat pula kata-kata Mark Twain. Penulis novel Lelaki Tua dan Laut itu pernah berkata: “Ibuku punya tubuh yang langsing dan kecil, namun hatinya demikian besar. Sangat besar malah hingga semua orang dapat menemukan kebahagiaan di dalamnya, dan diterima dengan ramah.”

Bahkan ketika anak-anaknya berbuat salah, Ibu senantiasa memaafkan. Ia berusaha memaklumi. Sesekali, mungkin Ibu marah, namun lebih banyak ia tersenyum menyaksikan polah anak-anaknya, yang niscaya membikin jengkel siapa yang melihatnya. Aku rasa benar apa yang dikatakan Honore de Balzac, “Hati Ibu adalah jurang yang dalam, yang di dasarnya engkau akan selalu menemukan pengampunan.” (Ilustrasi: 'Ibu dan Anak', lukisan karya Pablo Picasso, 1901) **

Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu

Hanya Satu

Oleh: Maesa Mae

Kamis, 25 April 2024 13:27 WIB

Terkini

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu

Hanya Satu

Oleh: Maesa Mae

Kamis, 25 April 2024 13:27 WIB