x

Iklan

machmud nasrudin arsyad

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Empat Warisan Gus Dur

Perubahan yang dilakukan Gus Dur diwarnai dengan dinamika politik dan cerita yang menarik di belakang kebijakan yang dilakukan oleh presiden keempat ini

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

K.H Abdurrahman Wahid atau yang biasa disapa Gus Dur adalah Presiden keempat yang dipilih oleh MPR dan presiden tercepat dalam sejarah Indonesia, dimulai 20 Oktober 1999 berakhir 23 Juli 2001 sudah lengser dari kursi kekuasaanya. Khusus kasus Gus Dur, kekuasaan yang cepat tidak ada korelasinya dengan perubahan besar yang dilakukan di masa kekuasannya. Akibat perubahan tersebut sampai sekarang masih dirasakan oleh bangsa ini sebagai warisan sekaligus pembelajaran bagi penerus bangsa.

Perubahan yang dilakukan Gus Dur diwarnai dengan dinamika politik dan cerita yang menarik di belakang kebijakan yang dilakukan oleh presiden keempat ini. Masyarakat seakan disajikan tontotan mengenai kepemimpinan yang mempunyai visi jelas dalam menjalankan roda pemerintah, disisi lain pihak   mayoritas yang selalu haus kekuasaan tidak pernah berhenti untuk merecoki kekuasaan yang sah dan dipilih secara demokratis oleh wakil rakyat.

Serangan demi serangan terus dilancarkan oleh lawan politiknya, Gus Dur seakan tidak mau berkompromi untuk tetap menjalankan perubahan tatanan politik dan sosial menuju Indonesia yang lebih berdaulat dan sejahtera. Ada empat perubahan yang dimasa kepemimpinannya yang visioner.

Pertama, kebebasan pers, baru sebulan menjabat Gus Dur tidak tanggung-tanggung dalam menegakkan  kebebasan pers, dengan menghapus Departemen Penerangan, yang saat itu dipimpin oleh Letnan Jenderal Muhammad Yunus Yosfiah. Penghapusan Departemen Penerangan merupakan tonggak sejarah dimulainya kebebasan pers dan independensi media sebagai pilar demokrasi keempat. Gus Dur paham betul bahwa demokrasi baru bisa berjalan bila ruang kebebasan pers diberikan seutuhnya, bagi Gus Dur pers merupakan elemen penting untuk penyeimbang kekuasaan. Itulah bedanya Gus Dur dengan pemimpin sekarang, menghapus satu Direktorat Jenderal di Kemendagri saja tidak sanggup apalagi menghapus satu departemen.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Sejak kran kebebasan pers dibuka, pers semakin berkembang dan masyarakat sudah mulai memahami pentingnya kebebasan pers sebagai pengontrol kekuasaan. Contoh berita  tentang pencatutan nama presiden dan wakil presiden yang dilakukan oleh Setya Novanto dalam kasus perpanjangan Freeport.  Media massa memblowup kasus tersebut sehingga masyarakat dapat ikut mengkontrol perkembangan kasus tersebut. Dengan kebebasan pers para pejabat negara tidak seenaknya menggunakan jabatannya untuk kepentingan-kepentingan yang dapat merugikan kepentingan bangsa.

Kedua, Gus Dur tidak tanggung-tanggung menegakkan demokrasi dengan mengedepankan supremasi sipil, di masa kepemimpinannya dwifungsi ABRI dihapuskan, dengan slogan ABRI kembali ke “barak”. Gus Dur sebagai panglima tertinggi ABRI saat itu, melarang tentara aktif ikut berpolitik, Gus Dur   mengganti nama ABRI menjadi TNI. Bukan hal mudah mengembalikan TNI ke “barak”, di internal TNI terjadi banyak penolakkan tapi Gus Dur tetap berpegang pada prinsip bahwa demokrasi baru bisa ditegakkan bila tentara tidak ikut campur dalam politik dan supremasi sipil harus ditegakkan.

Kebijakan inilah yang diyakini oleh pengamat politik, penyebab Gus Dur harus lengser dari kekuasannya, tapi warisan Gus Dur inilah yang menjadikan keadaan seperti ini, demokrasi ditegakkan dan supremasi sipil berjalan walaupun mungkin tidak sepenuhnya sesuai dengan keinginan Gus Dur tapi perubahan nyata itu jelas secara kasat mata, misalnya penggantian Panglima TNI, masyarakat dan politisi parti politik, bisa dengan leluasa menilai track record calon panglima tersebut bahkan anggota dewan dapat melakukan fit and proper test terhadap calon panglima TNI secara terbuka, yang tidak mungkin terjadi di masa orde baru. Sekarang saja sudah muncul “bibit-bibit” yang menginginkan TNI ingin kembali seperti masa orde baru, misalnya pendapat yang menginginkan TNI juga mengurusi masalah keamanan, yang sejak zaman Gus Dur sampai sekarang  diurus oleh polisi, sedangkan TNI mengurusi masalah pertahanan wilayah NKRI. Keinginan itu jelas akan mendapat penolakan dari masyarakat sipil, yang sudah merasa mapan dengan ditegakkannya supremasi sipil, selain itu masyarakat sudah trauma selama tiga puluh dua tahun berada di bawah ancaman kekuatan bersenjata.

Ketiga, sebagai tokoh yang dikenal dengan pembelaan terhadap kaum minoritas, Gus Dur menunjukkan kepada bangsa Indonesia bahwa pluralisme tidak hanya sekedar pemikiran tapi harus dijalankan sepenuhnya dan diperkuat dengan legetimasi kebijakan yang melindungi kaum minoritas. Gus Dur mengeluarkan kebijakan mengakui agama Tionghua dan menjadikan hari raya Imlek sebagai Hari Besar Nasional adalah langkah besar dalam membangun Indonesia yang sungguh-sungguh menghargai kebhinekaan.

Keempat, slogan yang mungkin masih teringat oleh kita semua adalah slogan yang selalu diungkapkan Gus Dur di acara kenegaraan maupun acara yang bersifat terbuka, slogan “Nenek Moyangku Seorang Pelaut”. Slogan yang diambil dari lagu anak-anak yang diciptakan oleh Ibu Soed. Lagu inilah yang menjadikan landasan Gus Dur mengeluarkan Keputusan Presiden Nomor 136 tahun 1999 tentang pembentukan Departemen Eksplorasi Laut (DEL) dengan menteri pertamanya Ir. Sarwono Kusumaatmaja. Departemen inilah yang merupakan cikal-bakal kementerian Kelautan dan Perikanan, yang saat ini dipimpin oleh Susi Pudjiastuti, satu-satunya menteri yang lulusan SMP.

Gus Dur beranggapan selama Negara ini berdiri  melupakan sektor kelautan yang merupakan wilayah terbesar dari bumi nusantara, wilayah Indonesia 75 % adalah laut sisanya daratan, tapi selama hampir 60 tahun Indonesia Merdeka, sektor kelautan masih dianggap sebagai “anak tiri” yang tidak perlu digarap secara serius. Gus Dur dengan caranya “menyentil” kesadaran kita sebagai Bangsa bahwa kita adalah negara maritim, banyak potensi sumbedayanya yang harus dikembangkan dan dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

Empat warisan Gus Dur inilah yang menjadikan kita sebagai bangsa rindu terhadap pemimpin yang mempunyai visi nyata dalam menjalankan roda pemerintahan, tidak hanya sekedar berbagi kekuasaan kepada para pendukungnya dan kompromi politik terhadap lawan politik. Enam tahun sudah Gus Dur meninggalkan rakyat Indonesia, tapi kerinduan terhadap visinya sebagai Guru Bangsa tidak pernah dilupakan rakyat Indonesia. Tinggal pertanyaannya adalah apakah pemimpin sekarang, memilih seperti Gus Dur yang rela kehilangan kursi kepresidenannya karena ingin menegakkan visinya atau lebih memilih jalan kompromi dengan jaminan kekuasannya akan bertahan sampai akhir priode bahkan dapat dipilih lagi. Wallahu a’lam.

 

Machmud Nasrudin Arsyad

Jama’ah Majlis Shalawatan Gus Durian

 

 

 

 

 

Ikuti tulisan menarik machmud nasrudin arsyad lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

Sabtu, 27 April 2024 14:25 WIB

Terkini

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

Sabtu, 27 April 2024 14:25 WIB