Jalan-jalan ke Batu (Bagian 3)

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB
Bagikan Artikel Ini
img-content0
img-content
Iklan
img-content
Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Soal wisata kuliner, Batu didukung hawanya yang dingin. Karena menu apa saja bisa jadi lebih nikmat disantap di Batu, usaha ini berkembang.

Rasanya, kapanpun dimanapun selama di Batu, makan terasa nikmat karena hawa dinginnya mendukung. Mungkin ini juga yang membuat usaha kuliner di Batu tumbuh. Ujungnya, rutinitas makan bisa jadi agenda wisata saking beragamnya masakan. 

Suatu waktu, saya berkesempatan menjelajah menu-menu di Museum Angkut. Siang itu hampir Ashar ketika saya dan dua putri saya selesai keliling museum, dalam kondisi lapar karena belum makan siang, tapi hujan mengguyur sangat deras. Awalnya kecewa, karena hujan menghalangi rencana kami berburu sego bancakan.

Katanya, ini sajian khas Batu dan banyak ditawarkan di rumah-rumah makan. Sego bancakan berarti 'nasi kenduri' dalam Bahasa Indonesia. Sego bancakan berupa seperangkat nasi sayur lauk dalam porsi jumbo layaknya suguhan dalam kenduri, pun cara menikmatinya beramai-ramai, karena tidak mungkin menghabiskannya sekaligus sendiri. Kumpulan orang makan yang terbentuk akhirnya persis tamu kenduri dari banyaknya, jadilah kata bancakan menamai sajian ini.

Di pintu keluar Museum Angkut, jalan mengarah ke dua pilihan. Kanan berarti langsung ke lapangan parkir, kiri menuju pasar apung dan D’ Topeng Kingdom Museum. Saya menuntun anak-anak ke kiri. Menyusuri lantai papan di atas danau buatan, pertama terlihat adalah perahu yang mengangkut penjual serabi. Selanjutnya melintas gudeg, nasi timbel, dan sate madura. Dilematis, tapi karena hujan dan tanpa payung, prioritas saya mencari naungan.

Saya sampai di semacam lorong masih berlantai papan tapi beratap, dengan kios-kios. Setelah deretan suvenir, penjual jamu berhadapan dengan kios susu segar, seterusnya sambelan yang menawarkan menu nasi, sambal, dengan banyak pilihan lauk seperti ayam goreng, ikan goreng, tahu goreng, atau tempe goreng. Disambung lagi soto lamongan, rawon, rujak cingur, sate ayam, menu berlauk bakar seperti ikan, bebek, dan ayam, jajan pasar ada cenil, gethuk, ketan bubuk, jenang sumsum, gorengan ada lumpia, ote-ote, tahu isi, tahu petis, bakwan jagung, tempe goreng, dan banyak lainnya. Lumayan membingungkan karena rata-rata penjual memajang dagangannya di bagian depan kios dalam lemari-lemari kaca, sangat menggugah selera.

Setelah mondar-mandir pilihan saya siang itu lumpia, jenang sumsum, kopi susu, dan wedang jahe, sementara dua putri saya masing-masing memesan susu oreo dan susu cokelat beserta soto dan rawon. Sambil menunggu pesanan diantar, anak-anak mencoba cenil yang seingat saya itu pengalaman pertama mereka. 

Kopi susu, susu oreo, dan susu cokelat pesanan kami, ternyata susu segar asli Batu. Ini dari peternakan lokal yang ternyata telah dikemas dan dipasarkan luas sampai keluar Batu. Produsen susu sapi di Batu rata-rata menjual juga olahan susu seperti es krim juga yoghurt, dan di jalan-jalan keliling berikutnya, saya kemudian tahu ini ramai dipasarkan termasuk mendominasi mini market retail di jenisnya.

Lain waktu, saya mencoba ketan. Baru pada kesempatan ketiga saya berhasil menikmati ketan Batu karena pertama kali datang saya salah waktu, kedua kalinya saya malas melihat antrian yang sangat panjang. Saya memilih Pos Ketan Legenda di pinggir alun-alun Kota Batu, dekat masjid besar, atau di Jalan Kartini. Mereka buka dari jam 3 sore sampai jam 3 dini hari.

Pos Ketan Legenda memang berdiri dalam bangunan semi permanen. Mungkin dari kondisi itu nama Pos bermula. Selain itu, kabarnya, dulu ini warung kopi yang menjual ketan sebagai teman ngopi, biasa disebut pos ngopi. Tapi kemudian ketan lebih banyak dicari ketimbang kopinya sendiri, jadilah sang pemilik yang telah buka sejak 1967 mengubah prioritas produk jualan mereka.

Ada dua belas menu ketan yang ditawarkan mulai resep tradisional yang dulu juga sering saya nikmati waktu kecil, seperti ketan bubuk dan ketan kicir, sampai yang menggunakan topping masa kini seperti ketan susu keju, ketan susu keju meises, dan ketan vla durian. Demi nostalgia saya memilih ketan kicir, dan demi mengikuti jaman, saya tambah ketan susu durian. Ketan kicir adalah ketan yang ditaburi parutan kelapa, disiram gula merah kental yang disebut juruh dalam Bahasa Jawa, dan bisa menambah taburan bubuk kedelai, sedangkan ketan susu durian terdiri komponen sesuai namanya. Semua ketan disajikan dalam porsi sedang dalam wadah piring-piring kecil, jadi meski manis tidak perlu takut enek atau kekenyangan.

Batu punya juga bakso-bakso enak. Meski hidangan ini banyak di manapun di Jawa, tapi makan bakso di Batu seperti berlipat nikmatnya, mungkin pengaruh cuaca seperti saya sampaikan di awal. Dari banyak yang terkenal, saya mencoba Bakso Arif, kebetulan tidak jauh dari alun-alun. Saya sudah lebih dulu kagum pada cerita yang beredar, bahwa usaha kuliner ini dimulai dari bakso gerobak yang didorong keliling penjual sekaligus pemiliknya. Sekarang, Bakso Arif besar dengan kedai tersebar di Kota Batu. Kesempatan itu saya memilih menikmati Bakso Arif ala bakwan atau tanpa mi kuning tanpa suun meskipun keduanya disediakan. Hanya bakso, tahu bakso, gorengan, kuah, dan saos sambal di piring terpisah sebagai cocolan. 

Satu lagi yang khas ada Soto Lombok. Saya kenal tempat makan ini sejak SD, karena ini tempat makan favorit Bapak Ibu saya kalau ke Malang. Dinamai Soto Lombok karena kedai pertama berdiri di Jalan Lombok, Malang. Salah satu cabangnya, bisa dijangkau kurang dari setengah jam dari alun-alun Kota Batu. Alamat tepatnya Jalan Tlogomas No. 50. Soto Lombok sebenarnya soto lamongan dengan kuah bening kuning dan taburan koya yang khas. Bedanya, koya soto lamongan umumnya berbahan bawang putih dan krupuk udang sedangkan Soto Lombok menggunakan kelapa parut yang disangrai sehingga berwarna cokelat gelap. Koya di Soto Lombok disediakan di meja bersama jeruk nipis, sambal, dan kecap, jadi pengunjung bebas menambahkan sesuai selera.

Sebenarnya masih ada sate kambing, rawon buntut, ikan bakar lempung, mie tek-tek, tahu brontak, seperti saran teman-teman saya yang orang Batu, tapi saya tidak punya banyak waktu. Ah, kapan ya kembali ke Batu?

(Tamat)

 

Sumber foto :  instagramphoto.com

Bagikan Artikel Ini
img-content
Wulung Dian Pertiwi

Penulis Indonesiana

0 Pengikut

img-content

Andai Saya Jurnalis, Kemarin

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB
img-content

Tentang Kebenaran (Bagian 2 The Help)

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Baca Juga











Artikel Terpopuler