x

Iklan

dian basuki

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Berita Teror: Ketika Media Ingin Jadi yang Tercepat

Prinsip akurasi dalam pemberitaan diabaikan hanya karena media berlomba menjadi yang tercepat dalam publikasi.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

 

Beberapa stasiun televisi dan radio ditegur Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) terkait pemberitaan yang tidak akurat mengenai teror di Jakarta beberapa hari lalu. Ada pula teguran yang terkait dengan gambar korban teror yang tidak dikaburkan dengan luka-luka yang tampak jelas sehingga kebanyakan pemirsa teve merasa tidak nyaman melihat tayangan itu.

Dalam praktik jurnalistik, akurasi berita merupakan prinsip yang tidak bisa ditawar. Jurnalis selalu diingatkan untuk memeriksa ulang informasi yang hendak ia publikasi—cek dan cek ulang. Salah satu cara yang kerap diajarkan kepada jurnalis untuk memeriksa kebenaran sebuah informasi ialah dengan menelusurinya kepada pihak lain atau sumber lain—dalam konteks ini bisa saja polisi.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Di era digital seperti sekarang, prinsip tersebut memang sering terlanggar. Kecepatan publikasi justru kerap diutamakan dibandingkan prinsip akurasi. Ketika peristiwa panas tengah berlangsung, nyaris semua media berusaha secepatnya mempublikasikan informasi yang ia peroleh. Media apapun berlomba-lomba untuk menjadi yang tercepat dalam menyiarkan berita panas.

Dalam perlombaan kecepatan itu, prinsip akurasi lantas terabaikan. Jurnalis merasa tindakan memeriksa kebenaran sebuah informasi yang panas hanya akan membuat mereka tertinggal dari jurnalis lain. Mereka dipacu untuk menjadi yang tercepat dan yang paling awal dalam memberitakan sebuah peristiwa atau informasi.

Sayangnya, informasi yang masuk ke ruang redaksi (newsroom) ditelan begitu saja untuk kemudian langsung dipublikasikan tanpa diperiksa lebih dulu kebenarannya. Padahal, sumber informasi itu boleh jadi media sosial yang mungkin saja tercemari oleh hoax, rumor, informasi yang sengaja ditiupkan untuk menyesatkan publik, hingga gurauan dari orang yang tidak mengerti bahwa gurauannya itu dapat membahayakan masyarakat.

Pengabaian akurasi hanya untuk menjadi yang tercepat dalam pemberitaan akan menjadi berbahaya ketika informasi itu terkait dengan peristiwa genting, seperti teror dan pemboman. Contohnya berita “ledakan juga terjadi di Palmerah”, padahal peristiwa itu tidak terjadi. Meskipun berita ini dikoreksi kemudian, tapi informasi awal sudah menyebar di tengah masyarakat dan niscaya masyarakat sudah merespons dengan persepsi masing-masing. Dampaknya, mungkin saja timbul kecemasan dan ketakutan di tengah masyarakat. Bahkan, mungkin kekacauan.

Setiap jurnalis selalu diingatkan untuk memeriksa dan memeriksa ulang (check and recheck) kebenaran informasi yang ia terima sebelum mempublikasikannya. Jurnalis dapat menggali informasi pembanding dari sumber-sumber yang berlainan. Prinsip ini ditegakkan untuk mengatasi kelemahan jurnalis sebagai manusia yang bisa berbuat khilaf. **

Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler