x

Iklan

dian basuki

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Terobsesi Pengalaman Konsumen

Pengalaman konsumen akan menentukan apakah pelanggan kembali atau pergi ke tempat lain.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

 

“Customer experience is the next competitive battleground. It’s where business is going to be won or lost.”

--Tom Knighton

 

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Suatu hari, saya menerima telepon dari operator besar. Karyawan di ujung sana menawarkan layanan informasi tagihan melalui e-mail yang akan disampaikan setiap tanggal 7. Saya setuju dan saya berikan alamat e-mail saya. Sebulan, dua bulan, apa yang ditawarkan tak kunjung terwujud. Saya kemudian menanyakan ke bagian layanan konsumen (CS), yang berjanji akan meneruskan keluhan ke bagian yang menangani info tagihan. Satu bulan lagi berlalu, info tagihan via e-mail tetap tak kunjung datang. Sampai kini, sudah 4 bulan berlalu.

Setahu saya, semakin banyak perusahaan—apa lagi perusahaan besar, global—yang menyadari bahwa pengalaman konsumen bukan lagi perkara strategi bisnis, atau mode yang lagi nge-trend, ataupun sekedar gaya-gayaan. Di era digital seperti sekarang, pengalaman konsumen sudah dianggap sebagai norma: sebagai pelaku bisnis Anda memperhatikannya, atau konsumen akan meninggalkan Anda.

Di masa lalu yang belum begitu lama, walaupun pengalaman konsumen tidak buruk, tapi pengalaman ini tidak dianggap sebagai alasan pokok untuk menang dalam bersaing. Keunggulan bersaing lebih dipengaruhi oleh penguasaan distribusi, kualitas produk (kadang-kadang kita menerima produk bagus dengan waktu pengiriman yang lama atau produknya bagus tapi dengan kecacatan yang masih dapat ditoleransi), iklan komersial yang gencar, ataupun harga yang dibanting-banting.

Tapi zaman berubah, informasi mudah mengalir dari dan ke mana saja, sangat cepat dan beranak-pinak (viral), bahkan mengalami amplifikasi—yang buruk dirisak (bully) sehingga terlihat lebih buruk dari aslinya. Sebagian kekuasaan pun bergeser dari penjual ke pembeli. Di blog pribadi, situs perusahaan, atau di toko online, konsumen mengekspresikan persepsinya terhadap suatu produk (barang maupun jasa). Mau bagus atau buruk, konsumen menyatakan dengan begitu bebas meskipun kadang-kadang cukup berisiko.

Pengalaman buruk seorang konsumen (ya, satu orang saja) dapat memancing ribuan komentar. Konsumen lain yang semula tenang-tenang saja merasakan pengalaman buruk serupa mulai ikut bercerita. Efek penguatan kesan mulai menjalar dengan cepat, bukan lagi dalam hitungan harian, tapi menit malah detik, sebab orang-orang yang berada di tempat berbeda-beda dapat mengakses informasi yang sama nyaris bersamaan.

Pengalaman konsumen tak kalah penting dibandingkan dengan mutu produk itu sendiri. Seorang teman pernah menggerutu terus ketika membuka kemasan sebuah produk. Sebelumnya ia mengetahui produk ini dianggap berkualitas bagus oleh kebanyakan orang. Ia pernah mencobanya dan mengakui hal itu. Tapi ia kesal ketika menemui kesulitan untuk mengeluarkan produk itu dari kemasannya. Hasratnya untuk segera bisa memakai produk baru terganggu oleh pengalaman buruknya dalam membuka kemasan.

Contoh lainnya. Memesan tiket kereta, pesawat, maupun kamar hotel kini bisa dilakukan menjelang tidur. Tapi kemudahan yang dibayangkan pelanggan bahwa ia bisa segera tidur nyenyak karena sudah mengantongi tiket malah jadi pengalaman menjengkelkan manakala website penyedia jasa pemesanan ini bekerja begitu lambat.

Pelanggan akan mengingat betul pengalamannya berinteraksi dengan suatu produk, jasa, maupun layanan—seperti layanan konsumen yang saya ceritakan di awal. Betapapun bagus kualitas suatu produk, jika pengalaman tak menyenangkan dirasakan oleh pengguna, maka pengalaman ini akan diingat sebagai kelemahan. Repotnya, kelemahan inilah yang kerap diekspos oleh konsumen di laman blog pribadi maupun media sosial. Terlebih lagi, kita semakin senang merujuk kepada pengalaman orang lain (yang menyenangkan maupun yang tidak) untuk membuat keputusan.

Dalam konteks inilah, pengalaman konsumen akan menjadi ajang pertempuran yang semakin kompetitif. Siapa yang sanggup merebut hati konsumen dengan menyediakan pengalaman yang amat mengesankan, ia akan dikunjungi lagi—terutama oleh pelanggan yang terobsesi oleh pengalaman, katakanlah menikmati sensasi makan malam yang lezat di restoran lantai 30 sembari menyaksikan alam sekitar. (sumber foto: dailymail.co.uk) **

Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

Sabtu, 27 April 2024 14:25 WIB

Terkini

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

Sabtu, 27 April 2024 14:25 WIB