x

Iklan

dian basuki

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Maut Menjemput di Thamrin

Setiap yang berjiwa berhak atas kematian yang layak. Bukan hanya kematian para warga korban aksi teror, melainkan juga kematian teroris yang meledakkan diri.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

 

“Jangan kirimi aku bunga ketika aku mati. Bila engkau menyukaiku, kirimkan bunga itu selagi aku hidup.”

--Brian Clough (atlet, 1935-2004)

 

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Sampul Majalah Tempo edisi pekan lalu membuat saya sukar tidur: salah seorang teroris menembak polisi dari jarak dekat dalam teror Thamrin. Sebelum foto itu jadi sampul majalah, saya sempat melihat hasil jepretan fotografer Aditya Noviansyah. Polisi itu sepertinya mendekati teroris yang berada di belakang mobil dan kemudian tembakan mengenai (mungkin) sekitar perutnya (berita tentang kondisi polisi itu agak jarang ditayangkan).

Perempatan Thamrin-Wahid Hasyim pagi itu berubah bak pentas teror. Teroris lainnya menyalakkan pistolnya di tengah kerumunan warga, menyasar polisi yang terkesan kurang siaga. Aksi teror memang belum sepenuhnya reda ketika warga berkerumun di tengah jalan Thamrin dan tiba-tiba dikejutkan oleh aksi penembakan itu. Kedua teroris itu melenggang bebas sembari mengacungkan pistol dan menyalakkannya.

Warga mungkin tengah tercekam oleh momen keterbiusan—dan tidak menyadari bahwa aksi teror belum lagi usai. Mereka terjebak dalam momen keterbiusan—tidak menyangka akan menjadi saksi yang melihat aksi teror dari jarak sangat dekat, bahkan bukan hanya menyaksikan tapi jadi bagian dari peristiwa teror. Banyak yang terluka dan beberapa warga menjemput maut: Rais Karna, Sugito, Rico Hernawan, dan Amer Quali Tamer.

Laporan media bahwa teroris sempat bertemu keluarganya beberapa hari menjelang teror Thamrin membuat bulu kuduk tegak berdiri: begitu dinginkah hati mereka ketika memantapkan diri pada pilihan untuk mati dan meninggalkan keluarganya sendiri serta menembak mati warga lain yang berarti meninggalkan keluarga mereka? Teror maut adalah pilihan yang sukar dipahami secara rasional, terlebih lagi ketika tuntutan dan tujuannya tidak jelas.

Seorang warga menjemput maut di pos polisi terkena ledakan: tepatkah kata orang bahwa ia berada pada waktu dan tempat yang salah? Begitu pula dengan warga berbaju hitam yang tertembak teroris dan tergeletak di tengah jalan. Kematian bukanlah perkara jumlah semata, 4 atau 8 orang, tetapi juga ihwal bagaimana kematian menjemput manusia. Sayangnya, kita tidak pernah tahu kapan, di mana, dan bagaimana kematian itu menjemput.

Namun saya percaya bahwa setiap yang berjiwa berhak atas kematian yang layak. Bukan hanya kematian para warga korban aksi teror, melainkan juga kematian teroris yang meledakkan diri. Peledakan diri adalah pilihan yang absurd. Mereka, sebagai manusia yang hidup, tak punya hak untuk memisahkan jiwanya dengan paksa terlebih secara eksplosif. Sebab, jiwa yang menghuni raganya bukanlah miliknya.

Ketika kita dilahirkan, kematian memulai langkahnya menuju kita. Biarkanlah kematian berjalan dengan tenang dan tidak memaksanya untuk segera datang. **

Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler