x

Iklan

dian basuki

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Mengenang Tragedi Aaron Swartz

Untuk apa pengetahuan dikembangkan tapi akses terhadapnya dibatasi? Untuk tujuan ekonomi dan kekuasaan atau demi kemaslahatan publik?

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

 

“Informasi adalah kuasa. Seperti halnya semua kuasa, ada orang-orang yang ingin memegang kuasa untuk dirinya sendiri.”

--Aron Swartz (Pemrogram, aktivis internet, 1986-2013)

 

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Dalam perjuangannya menyebarluaskan akses terhadap jurnal-jurnal ilmiah, Aaron Swartz menghadapi tuduhan telah mengunduh secara ilegal lebih dari 4 juta publikasi ilmiah dari JSTOR (Journal Storage). Bila dinyatakan bersalah oleh pengadilan Massachusetts, Swartz harus mendekam 35-50 tahun dalam penjara dan membayar denda US$ 4 juta. Swartz, pada 11 Januari 2013, memilih langkah yang tidak terduga: menggantung diri.

Kemartiran digital rights activist berusia 26 tahun itu menyisakan setidaknya satu pertanyaan: untuk apa pengetahuan dikembangkan sehingga akses terhadap pengetahuan dibatasi? Untuk tujuan ekonomi dan kekuasaan atau demi kemaslahatan publik? Upaya-upaya untuk membuka akses lebih lebar terhadap pengetahuan, khususnya publikasi ilmiah di jurnal-jurnal masih menghadapi rintangan yang tak mudah diatasi.

Nilai pengetahuan memang mempunyai makna yang berbeda di ranah privat dan di ranah publik. Dalam konteks privat, pengetahuan dikaitkan dengan economic gain dan harga pasar. Semakin besar nilai tukarnya dengan barang, jasa, atau uang, semakin bernilai pengetahuan tersebut. Dalam konteks publik, nilai suatu pengetahuan diukur dari kemampuannya dalam memenuhi kebutuhan sosial dan memperbaiki kesejahteraan masyarakat.

Ketika Francis Bacon mengatakan bahwa ‘pengetahuan itu kuasa’ (knowledge is power), maka orang dapat menarik kesimpulan bahwa penerapan pengetahuan diperlukan untuk mewujudkan kuasa tersebut. Pandangan ini memberi landasan bagi penguasaan pengetahuan demi tujuan-tujuan kekuasaan dan ekonomi. Negara dan perusahaan dapat membatasi atau bahkan tidak membuka akses terhadap pengetahuannya sebab kekuasaan negara dan keunggulan bersaing perusahaan berasal dari pengetahuan itu.

Tragedi Swartz menyadarkan kembali banyak pihak tentang akses publik terhadap pengetahuan dan telah mendorong ratusan akademisi dan peneliti untuk membuka akses atas publikasi ilmiahnya sebagai penghormatan terhadap Swartz (#pdftribute dan www.pdftribut.net). Internet memang berpotensi besar untuk mendorong desiminasi dan difusi pengetahuan, namun kasus Swartz-JSTOR membuktikan bahwa teknologi hanyalah enabler.

Kehadiran internet meningkatkan potensi publik untuk dapat mengakses publikasi para peneliti, tetapi academic publisher nyatanya tetap mengenakan biaya untuk membaca dan berlangganan jurnal-jurnal ilmiah; sementara, di saat yang sama publisher tidak membayar apapun kepada para akademisi dan peneliti yang menulis makalah untuk jurnal mereka. Bagi banyak entitas, termasuk mahasiswa, maupun akademisi dan peneliti sendiri, biaya ini (internet pay walls) telah membatasi akses kepada banyak pengetahuan yang sebagian besar didanai oleh pembayar pajak.

Dalam manifestonya, Juli 2008, Swartz menulis:

“Informasi itu kuasa. Seperti halnya semua kuasa, ada orang-orang yang ingin memegang kuasa untuk dirinya sendiri. Keseluruhan warisan ilmiah dan budaya dunia, yang dipublikasikan selama berabad-abad dalam bentuk buku dan jurnal, kini didigitalisasi dan dikunci oleh korporasi-korporasi privat... Kita perlu mengambil informasi itu, di manapun disimpan, menyalinnya dan membaginya dengan dunia... Kita perlu berjuang demi Guerilla Open Access.”

Upaya yang ditempuh oleh berbagai gerakan akses terbuka (open access movement) agar publik dapat mengakses pengetahuan mutakhir menghadapi rintangan yang tidak mudah diatasi. Sebagian pihak berusaha keras melindungi hak-hak mereka ketika internet membuka jalan bagi akses yang lebih luas kepada pengetahuan.

Isu tersebut menjadi agenda pertemuan di Jenewa, awal Februari 2013, tetapi ‘pemanasannya’ sudah dimulai dalam diskusi yang berlangsung sebelumnya di U.N. World Intellectual Property Organization (WIPO). Sebagian peserta mengambil posisi bahwa pertikaian antara pemegang hak dan konsumen sesungguhnya tidak terbelah menurut garis ‘utara-selatan’, sebab konsumen di negara kayapun membayar mahal jika hak intelektual terlampau dilindungi. Karena itu, open access merupakan perjuangan bersama untuk mengembalikan hak publik atas pengetahuan.

Ketika itu, salah satu proposal yang diajukan sebagai jalan keluar ialah ‘mendefinisikan pengecualian dan pembatasan yang minimum untuk menghindari penyalahgunaan hak intelektual’. Posisi tersebut antara lain diambil oleh kelompok Public Knowledge Project yang menyerukan akses terbuka atas riset-riset yang didanai publik, dengan pengecualian atas riset rahasia, temuan yang dapat dipatenkan, serta riset yang dipublikasikan dalam bentuk-bentuk yang menghasilkan royalti, seperti buku. Periode embargo yang diizinkan, atau penundaan akses setelah publikasi, menurut kelompok ini, tidak boleh lebih dari 6 bulan.

Kecenderungan yang semakin kuat pada networked science dan networked knowledge, di mana pengetahuan diproduksi bersama dengan memanfaatkan jaringan Internet, kian meningkatkan kebutuhan akan model baru yang mempromosikan kerjasama terbuka dan penggunaan pengetahuan secara lebih bebas. Dalam bukunya, Open Access, Peter Suber—direktur Harvard Open Access Project—menulis tentang dunia online yang lebih kaya, di mana akses kepada pengetahuan lebih terbuka, bagi peneliti sendiri maupun bagi kelompok ‘bridge builder’ seperti jurnalis yang menghubungkan sumber pengetahuan dengan masyarakat luas.

Secara spesifik, Open Access Project dimaksudkan untuk mendorong dibukanya akses kepada artikel-artikel yang dimuat peer-reviewed scholarly journal, seperti yang diunduh oleh Swartz. Termasuk di dalamnya ialah monograf dan bab tertentu dari buku. Jurnal ilmiah tidak membayar para penulisnya, karena itu dari sisi pendapatan, Open Access tidak akan merugikan penulis. Situasi yang dihadapi para sarjana dan ilmuwan, dalam konteks ini, menurut Suber, sangat berbeda dengan musisi dan pembuat film.

Menarik bahwa UNESCO telah mengambil inisiatif untuk memberi dukungan. Dalam promosinya terhadap Open Access, waktu itu UNESCO menekankan pada ketersediaan informasi ilmiah (artikel jurnal, makalah konferensi, dan berbagai jenis data) yang dihasilkan oleh riset yang dibiayai publik, yang bebas dari rintangan-rintangan lisensi dan hak cipta, agar aliran pengetahuan global berjalan lancar dan mendorong penemuan ilmiah, inovasi, maupun pembangunan sosio-ekonomi, khususnya di negara berkembang.

Pencarian jalan keluar yang mampu menampung berbagai kepentingan memang masih terus dicari. Tragedi Swartz menjadi momen yang menyadarkan pihak-pihak berkepentingan bahwa akses terbuka terhadap sumber-sumber pengetahuan ilmiah merupakan kebutuhan dasar manusia yang harus dipenuhi. (sumber foto: slate.com) ***

Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu

Hanya Satu

Oleh: Maesa Mae

Kamis, 25 April 2024 13:27 WIB

Terkini

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu

Hanya Satu

Oleh: Maesa Mae

Kamis, 25 April 2024 13:27 WIB