x

Iklan

Meilani Yesi

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Seperti Kue Basah di Tangan Ibu Anih

Seorang ibu yang menafkahi keluarganya dengan berjualan kue basah. Kue basah di tangan ibu Anih ini memakai bahan-bahan yang asli sehingga dipercaya oleh para pembeli. Ia sudah menjadi figur inspiratif bagi kaum ibu di desa Purwadadi.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Hampir semua pelanggan Bu Anih berkata bahwa ia adalah seorang yang pekerja keras, tidak mengenal lelah demi keluarganya, dan selalu memberi senyuman saat berjualan, hal itulah yang membuat ibu Anih menjadi figur inspiratif di desa Purwadadi kota Subang, Jawa Barat

Ketika rembulan mulai menghilang dan sebelum fajar menyingsing, sosok wanita bernama Nuryanih (46) telah bangun dan dengan dayanya sendiri pergi menjajakan kue-kue basah buatannya yang dimasak semalaman. Sosok wanita yang tegar itu berusaha untuk menghidupi kebutuhan keluarganya dengan mengelilingi pasar dan desa dengan sepeda motor doyoknya.

Tahun 2008 adalah sebuah tahun dimana keluarganya mengalami kebangkrutan yang dahsyat. Sebuah keluarga yang memiliki 3 orang anak, dengan anak pertama yang masih duduk di kelas 6 SD, anak kedua yang tengah berada di kelas 3 SD dan si bungsu yang berumur 1 tahun. Pikiran kalut mengenai pembiayaan sekolah anak-anaknya.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Kadang ia berpikir mampukah dirinya membiayai semua anaknya untuk sekolah? Atau haruskah anak-anaknya berhenti sampai dititik itu dan menghapus jalan untuk menggapai cita-citanya? Fisik suaminya yang sudah tidak produktif lagi menjadikannya sebagai penanggung jawab atas keluarga, dan raungan permintaan susu selalu datang dari si bungsu. Sungguh perjuangan keras dalam batin dan pikiran.

Dengan hanya berbekal ijazah SD, lowongan pekerjaan manakah yang dapat menerima seorang ibu yang sudah setengah baya ini. Pernah ia berpikir untuk menjadi pembantu saja, namun siapakah yang akan menjaga anak bungsunya? Rasa cintanya yang begitu besar membuat dirinya tidak tega melihat anak bungsunya harus hidup di tengah kondisi caruk maruk. Bersyukur ada satu kemampuan yang dimilikinya, yaitu membuat kue basah.

Dimulai dari titik nol, jatuh bangun untuk memulai usaha kue basah ini demi keluarganya. Saat subuh tiba, Ibu Anih nama sapaannya, mulai menjajakan kue basah dagangannya mengelilingi sudut-sudut pasar hasil dari begadangnya semalaman. Seusai dari berjualannya ia harus mengurus anak bungsunya, belum juga membereskan rumah, mencari makan untuk anak-anaknya.

Saat malam tiba anak-anaknya dan suaminya membantu untuk membuat kue yang akan dijajakan esok hari, namun jika sudah memasuki masa ujian sekolah, terkadang hanya ia dan suaminya yang bekerja membuat kue atau bahkan hanya sendirian. Upah yang didapatkan tidak banyak, ia harus mencari pinjaman untuk membiayai sekolah.

Sungguh seorang ibu yang tangguh! Tahun-tahun dilewatinya dengan mengulang-ulang kegiatan yang sama. Terasa begitu nyata rasa lelah yang dialaminya, terpancar jelas guratan keriput dan kantung mata yang menghitam, namun hanya senyum yang selalu ia taburkan untuk keluarganya serta kepada setiap pembeli. Sekalipun ia membawa beban begitu besar, dua patah kata mengenai keluhanpun tidak keluar dari mulutnya.

“Cape nggak, Bu? Nengteng 3-4 keranjang kue-kue basah ini keliling desa?”

“Secara manusia mah cape, tapi buat anak sama keluarga mah ngga ada yang bisa menggantikan bahagianya”

 

Barang dagangannya bermacam-macam, dengan menu yang dijajakan berbeda-beda setiap harinya.

“Biar pembeli tidak bosen, Nak”

Donat, papais asin dan papais manis, putu ayu, risoles, lapis ubi, bika ambon, kue marmer, kue pisang, cilok, bugis adalah daftar makanan basah yang biasa dijual.

“Semuanya belajar otodidak, nanti anak yang ngasih tau resepnya lewat internet, pun abdi mah teu paham internet teh kumaha” (saya sendiri tidak paham internet itu bagaimana)

Kue buatan ibu Anih ini sudah menjadi incaran khalayak pasar karena penggunaan bahan-bahannya yang berkualitas tanpa pewarna buatan, memakai gula dan santan kelapa asli. Walau begitu sampai sekarang ia masih harus mengedarkan barang dagangannya karena untuk membuka tempat diperlukan izin yang rumit.

“Sampai sekarang berarti sudah 9 tahun jualan kue basah. Anak pertama puji Tuhan udah bisa masuk ITB pake Beasiswa,si bungsu yang masih 1 tahun sampai dia umur 8 tahun sering ngikut saya jualan”

Hampir satu desa sudah mengenalnya dan baik langsung maupun tidak, ia telah memberi motivasi tersendiri bagi kaum ibu di desa Purwadadi, kota Subang, Jawa Barat. 90% pelanggannya juga tahu tentang anak bungsunya yang terkadang ikut ibunya berjualan. Tapi, Tuhan sudah merencanakan hal yang terindah walaupun di mata manusia terlihat menyedihkan. Si bungsu telah dipanggil Tuhan 2015 lalu.

Pelanggan-pelanggannya memberikan dukungan doa dan semangat kepada ibu Anih saat ia kembali berjualan, “Bu, sabar ya, Yesi -si bungsu-  itu udah cantik, putih, lucu, gendut gemes, beruntung ibu, sekarang dia di Surga dan bahagia, gaperlu sedih ya bu”

Terus nyalakan semangat walau jalan keluar terlihat sulit ‘tuk dilalui, seperti kue-kue basah di tangan ibu Anih yang telah menjadi bukti inspirasi banyak kaum ibu di desa Purwadadi. #TEMPO45

Ikuti tulisan menarik Meilani Yesi lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

Sabtu, 27 April 2024 14:25 WIB

Terkini

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

Sabtu, 27 April 2024 14:25 WIB