x

Iklan

Handoko Widagdo

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Pemberontakan Orang Tionghoa di Jawa

Perang Sepanjang, perang yang lebih dahsyat dari perang Diponegoro.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Judul: Geger Pacinan 1740-1743: Persekutuan Tionghoa – Jawa Melawan VOC

Penulis: Daradjadi

Penerbit: KOMPAS

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Tebal: xiiv + 292

ISBN: 978 979 709 687 8

 

Dalam buku-buku sejarah nasional, penjajahan Belanda di Nusantara hanya disajikan kisah-kisah pemberontakan oleh suku-suku yang ada di berbagai pulau. Demikian pula sejarah penjajahan di Jawa. Berbagai pemberontakan dan perang seakan-akan hanya terjadi antara orang Jawa dengan VOC/Belanda. Buku Geger Pacinan 1970-1943: Persekutuan Tionghoa-Jawa Melawan VOC memberikan informasi lain bahwa perang di Jawa juga melibatkan etnis Tionghoa. Bahkan persekutuan Tionghoa-Jawa ini pernah mengangkat seorang Raja Mataram bergelar Sunan Amangkurat V atau dikenal sebagai Sunan Kuning. Sebutan Sunan Kuning adalah karena beliau diangkat oleh laskar Tionghoa sebagai Raja Mataram.

Kemunduran ekonomi dan membanjirnya orang Tionghoa di Batavia menyebabkan Pemerintahan VOC mengambil tindakan represif kepada orang Tionghoa. VOC membatasi jumlah imigran, menerapkan pajak, mengirim orang Tionghoa ke Srilanka dan Tanjung Harapan di Afrika Selatan, dan sebagainya. Namun, semua aturan ini ternyata tidak dijalankan dengan baik oleh pemegang kekuasaan karena banyak imigran Tionghoa tetap masuk dengan cara menyogok. Kebijakan pemindahan orang Tionghoa keluar Batavia menimbulkan desas-desus bahwa mereka dibuang di laut. Kondisi yang semakin menekan orang Tionghoa menimbulkan kriminalitas di dalam kota. Imigran Tionghoa yang tidak mempunyai pekerjaan telah menimbulkan keresahan. Orang Tionghoa yang tidak bekerja mulai melakukan kegiatan kriminal. Mereka menyerang pos-pos keamanan VOC untuk membebaskan kawan-kawannya yang ditangkap. Puncaknya terjadi ketika 50 tentara VOC terbunuh oleh orang Tionghoa yang kebanyakan adalah buruh pabrik gula. Di saat yang sama, Valckinier mendengar bahwa di luar Batavia orang-orang Tionghoa telah mengkonsolidasi untuk menyerang kota. Situasi ini menyebabkan Gubernur Jenderal Vackenier memaklumatkan penggunaan kekerasan kepada orang Tionghoa. Perintah yang dikeluarkan oleh Valckenier pada tanggal 7 Oktober ini kemudian ditindaklanjuti secara membabibuta. Terjadi pembunuhan besar-besaran terhadap orang Tionghoa. Diperkirakan lebih dari 10.000 orang Tionghoa tewas dalam tindakan represif ini.

Orang Tionghoa yang lolos dari pembantaian melarikan diri keluar Batavia ke arah timur. Dipimpin oleh Kapiten Sepanjang (Khe Panjang), orang Tionghoa melakukan penyerangan terhadap Batavia. Serangan terhadap Batavia ini diikuti oleh orang-orang Tionghoa di berbagai tempat di Jawa. Salah satunya adalah laskar Tionghoa Jawa bagian tengah yang dipimpin oleh Tan Sin Ko (Singseh). Melihat situasi seperti ini Raja Mataram, Pakubuwono II memutuskan untuk menyerang benteng VOC di Semarang. Keputusan Pakubuwono didasari ketidak puasan Mataram atas perjanjian Jepara (setelah perang Trunojoyo) yang merugikan Mataram karena wilayah pesisir utara Jawa menjadi wilayah dalam kekuasaan VOC. Tentara Kasunanan Mataram bekerjasama dengan laskar Tionghoa bersama-sama menyerang Semarang pada tahun 1741. Keputusan Pakubowono II ini mendapat dukungan dari Bupati Grobogan Martopuro dan Bupati Pati Mangoenoneng dan beberapa bupati lain di Jawa bagian tengah dan timur. Dari dalam keraton, Raden Mas Said (yang kelak bergelar Pangeran Sambernyowo) dan Pangeran Mangkubumi mendukung keputusan Sunan. Mereka berdua ikut memimpin pasukan melawan VOC. Sayangnya, ketika serangan ke Benteng VOC di Semarang gagal, Pakubuwono II justru mengambil kebijakan yang berbalik arah. Sunan justru mendukung VOC untuk memerangi Laskar Tionghoa.

Tidak semua pihak Jawa menuruti kehendak Sunan untuk berbalik arah. Buktinya Raden Mas Said, Pangeran Mangkubumi, Bupati Martopuro dan Bupati Pati tetap berperang melawan VOC. Sisa-sisa tentara Mataram tetap bergabung untuk melawan VOC. Bahkan Laskar Tionghoa bersama dengan Bupati Martopuro dan prajurit Jawa lainnya mengangkat Raden Mas Garendi (cucu Amangkurat III) menjadi Raja Mataram dan bergelar Amangkurat V. Laskar gabungan Tionghoa-Jawa ini berhasil masuk ke keraton Kartasura dan mendudukkan Pangeran Garendi sebagai Sunan, walau hanya 6 bulan. Selain bergelar Sunan Amangkurat V, Pangeran Garendi juga dijuluki sebagai Sunan Kuning, karena beliau diangkat sebagai raja Mataram oleh orang Tionghoa. Dengan bantuan VOC dan Cakraningrat IV, Pakubuwono bisa kembali ke Keraton Kartasura. Dengan selesainya perang Sepanjang, Pangeran Mangkubumi dan RM Said tetap melawan VOC, meski Pakubuwono telah bersekutu dengan VOC. Perang baru benar-benar selesai pada tahun 1755, atau kira-kira 10 tahun setelah Perang Sepanjang surut. VOC –melalui Perjanjian Giyanti, mengambil keuntungan dengan membagi Mataram menjadi Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Ngayogjokarto. Kepada Raden Mas Said diberikan wilayah Perdikan/Kadipaten Mangkunegaran. Selanjutnya Raden Mas Said bergelar Mangkunegoro. Karena Grobogan adalah termasuk Kabupaten yang tidak mendukung VOC, maka wilayah ini diletakkan pada kekuasaan Ngayogjokarto. Sedangkan wilayah-wilayah pesisir Jawa diambil oleh pihak VOC.

Perang Sepanjang (sebutan lain dari pemberontakan Tionghoa-Jawa) adalah perang yang jangkauan wilayahnya sangat luas. Kerugian di pihak VOC sangat besar. Di pihak Mataram, pemberontakan ini mengakibatkan hancur-leburnya Keraton Kartasura, sehingga keraton harus dipindahkan ke Sala. Pemberontakan ini juga memberi implikasi sejarah Jawa yang demikian besar dengan dipecahkan Kerajaan Mataram menjadi Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Ngayogjokarto, serta Kadipaten Mangkunegaran. Namun sayang, keberadaannya hilang dari sejarah formal Indonesia.

Persekutuan Tionghoa-Jawa pada perang Sepanjang bisa menjadi modal sosial dalam menata kehidupan harmonis antara keturuan Tionghoa dengan masyarakat Jawa dimana mereka tinggal. Buku ini bisa memberi informasi pembanding dari informasi yang ada selama ini bahwa masyarakat Tionghoa dianggap pro-Belanda pada saat jaman penjajahan. Sayangnya modal sosial ini masih terpendam dalam labirin Sejarah Nasional. Buku “Geger Pacinan 1740-1743: Persekutuan Tionghoa-Jawa Melawan VOC” tulisan Daradjadi ini bisa menjadi pemicu untuk membawa kepermukaan kerjasama harmonis antar etnis.

 

 

Bonus: Dulu saya bertanya-tanya mengapa Kabupaten Grobogan masuk ke pangkuan Ngayogjokarto Hadiningrat saat perjanjian Giyanti. Mengapa Grobogan tidak masuk Surakarta, atau setidaknya masuk ke Prajan Mangkunengaran. Bukankah Grobogan lebih dekat ke Surakarta? Alasan mengapa Grobogan tidak dipilih oleh VOC sebagai wilayahnya, meski dekat dengan pantai utara saya rasa adalah karena Grobogan miskin dan tidak menghasilkan apa-apa. Melalui buku ini saya menjadi mengerti alasan mengapa Grobogan masuk Ngayokjokarto. Ternyata kegigihan Bupati Martopuro untuk melawan VOC (yang berarti juga melawan Surakarta), serta kedekatan sang bupati dengan Pangeran Mangkubumi menyebabkan wilayah tempat lahir saya masuk tlatah Ngayokjokarto.

 

 

 

 

                                                                  

Ikuti tulisan menarik Handoko Widagdo lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

5 hari lalu

Bingkai Kehidupan

Oleh: Indrian Safka Fauzi (Aa Rian)

Sabtu, 27 April 2024 06:23 WIB

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

5 hari lalu

Bingkai Kehidupan

Oleh: Indrian Safka Fauzi (Aa Rian)

Sabtu, 27 April 2024 06:23 WIB