x

Reydonnyzar Moenek Kapuspen Departemen Dalam Negeri. Tempo/Jati Mahatmaji

Iklan

Agus Supriyatna

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Dirjen yang Satu Ini, Pantas Jadi Pengamat Politik

Direktur Jenderal Keuangan Daerah Kementerian Dalam Negeri, Reydonnyzar Moenek tampil memukau.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Saat diwawancarai oleh Beritasatu TV, tentang masih rendahnya komitmen pemberantasan dan pencegahan korupsi di daerah,  Direktur Jenderal Keuangan Daerah Kementerian Dalam Negeri, Reydonnyzar Moenek tampil memukau. Ulasannya sudah seperti pengamat politik. Tangkas, dan runut, tapi argumentatif. 
 
Saat itu, host Beritasatu TV yang memawancarai lelaki yang biasa dipanggil Donny itu, membeberkan hasil kajian Kementerian Dalam Negeri tentang Aksi Daerah dalam Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi (AD PPK) tahun 2014. Dalam AD PPK tahun 2014, terkait  pencegahan dan pemberantasan korupsi, 41,18 persen provinsi yang dianggap memuaskan. Sisanya, 58,82 persen mengecewakan.  Yang parah hasil AD PPK di tingkat kabupaten. Hanya 9,25 persen yang memuaskan, sisanya 90, 75 persen mengecewakan. Menanggapi itu Reydonnyzar mengatakan, memang tak dipungkiri, ketika kran otonomi dibuka yang ditandai dengan desentralisasi kewenangan pusat ke daerah, kemudian diikuti pemilihan langsung kepala daerah muncul sejumlah masalah, terutama terkait dengan penyalahgunaan wewenang dan penyimpang anggaran. 
 
" Bahwa katankanlah setelah reformasi, terjadi desentralisasi kewenangan yang diserahkan ke daerah. Presiden sebagai pemegang kekuasaan negara, sebagian kekuasaannya diserahkan ke Pemda, dalam hal ini adalah kepala daerah dan DPRD. Mestinya itu menuntut public acountability, karena kan ini terkait juga dengan mekanisme pemilihan," tuturnya. 
 
Kepala daerah lewat pemilihan langsung memang mendapatkan legitimasi. Tapi, itu belum tentu efektif. Pertanyaannya yang harus di jawab, seberapa jauh desentralisasi itu membawa keterwakilan dan kesejahteraan. Misalnya dalam penyusunan APBD. 
 
" Nah, APBD itu kan maknanya  adalah amanah rakyat yang diserahkan pada  dua penyelenggara pemerintahan daerah dalam hal ini kepala daerah dan DPRD," kata dia. 
 
Tapi harus diakui, desentralisasi yang mestinya diikuti oleh public acountability dalam derajat tertentu kata Reydonyzar belum sesuai keinginan dan harapan. Apa penyebabnya, menurut Reydonnyzar, desentralisasi yang diikuti oleh pemilihan langsung berpengaruh pada moral hazard elit di daerah. Artinya ini terkait dengan sejauhmana political reform sudah dilakukan terutama oleh partai. 
 
Kemudian host bertanya, apakah pasca pemilihan langsung yang lahir hanya raja-raja kecil, bahkan raja lalim?
" Ya bisa seperti itu. Artinya ini membawa implikasi pada derajat public acountability. Ada proses mandatory dari pemilihan itu. Pengaruhnya, penggunaan  anggaran sangat  elitis dalam batas tertentu," katanya. 
 
 
Pada akhirnya, kata Reydonnyzar, karena terjadi elitisme dalam penggunaan dana, maka kepala daerah abai terhadap area rawan korupsi. Padahal banyak area rawan korupsi, mulai dari penyusunan anggaran, pajak, retribusi, pengadaan barang dan jasa, perjalanan dinas, belanja hibah dan bansos.
 
Reydonnyzar mencontohkan dalam masalah dana hibah dan bansos. Kata dia, banyak kasus penyimpangan peruntukan dana hibah dan bansos. Bahkan banyak kasus fiktif dalam pemberian dana hibah dan bansos. Tidak hanya itu, dana hibah dan bansos acapkali jadi alat kepentingan politik. Karena faktanya, terjadi kenaikan signifikan dana hibah dan bansos menjelang Pilkada.
 
" Bahkan dua tahun menjelang pemilihan terjadi kenaikan signifikan. Itu gambaran kita," katanya.
 
Reydonnyzar juga menyorot soal open rekrutmen yang diterapkan partai dalam menjaring calon kepala daerah. Saat ini dengan pemilihan langsung, siapa pun boleh jadi calon kepala daerah. Tapi celakanya, yang populer dan punya duit justru yang laku dilirik partai. Kapasitas dinomor duakan. Pada akhirnya yang terjadi, ketika si calon tersebut terpilih, mereka tergagap ketika dihadapkan pada pengelolaan keuangan daerah yang sangat rigid. 
" Ternyata kan tak semudah yang dibayangkan.Banyak yang tak tahu dan tak paham," ujarnya. 
 
Ya, lanjut Reydonnyzar, boleh saja calon yang dicalonkan partai itu populer dan punya uang, tapi dari sisi kapasitas dan kapabilita soal pengelolaan keuangan mungkin saja rendah. 
" Ini kan membawa implikasi banyak yang kemudian tak paham," katanya. 
 
Mungkin kata Reydonnyzar, banyak kepala daerah yang terjerat kasus awalnya tak punya niat berbuat lancung. Tapi, mungkin juga kepala daerah yang kena kasus, karena memang tak paham. Namun harus diakui, ditengah situasi politik yang transaksional, mau tak mau yang tadinya tak punya niat, akhirnya terjebak oleh situasi politik tersebut. 
 
" Misal di desak oleh biaya politik yang tinggi. Lalu ada kesempatan, dan ditambah rendahnya pemahaman, " katanya. 
 
Dan pada akhirnya publik pun di sodori kisah banyaknya kepala daerah yang terjerat kasus korupsi. Artinya dengan itu, komitmen anti korupsi belum begitu kuat terbangun. Dan komitmen itu tak hanya rendah di birokrasi, tapi juga ormas, partai bahkan masyarakat. Masyarakat pun acapkali memicu terjadinya tindakan korupsi. 
" Misalnya memberi peluang demi mendapat pelayanan cepat, coba-coba memberi suap. Artinya masih ada yang permisif," ujarnya.
 
Dan harus diakui pula, kata Reydonnyzar, political reform belum segaris lurus dengan administrasi reform. Masih kuat praktek politik balas budi. Padahal dari sisi regulasi, sudah begitu rigid. Misalnya, UU Nomor 17, UU Nomor 32, ataupn PP Nomor 58, begitu sangat rigid dalam mengatur sistem pengeluaran kas. 
 
" Tapi kan ada ungkapan di kalangan elit setempat, ngapain ente, gue angkat jadi pejabat, kalau tak bisa amankan saya. Jadi ya politik balas budi masih kuat," katanya.
 
Harapan publik, kata Reydonnyzar, lewat pemilihan bisa dihasilkan orang yang terbaik. Tapi, cost politik begitu tinggi, yang terjadi adalah politik balas budi. Sistem ijonisasi pun tak bisa dipungkiri marak terjadi. 
 
" Makanya, harus ada mekanisme yang memadai dan akuntabel dalam proses rekrutmen awal calon kepala daerah," ujarnya.
 
Nah proses rekrutmen calon kepala daerah itulah yang sulit dimasuki kementerian, karena itu ranahnya partai. Sementara  di bidang administrasi reform, sudah cukup memadai. Mestinya, reformasi administrasi itu  berbanding lurus dengan political reform.
 
" Administrasi refom sudah berjalan baik, political reform harusnya juga  berjalan baik. Idealnya kan seperti itu,"kata Reydonnyzar. 
 

Ikuti tulisan menarik Agus Supriyatna lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

Sabtu, 27 April 2024 14:25 WIB

Bingkai Kehidupan

Oleh: Indrian Safka Fauzi (Aa Rian)

Sabtu, 27 April 2024 06:23 WIB

Terkini

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

Sabtu, 27 April 2024 14:25 WIB

Bingkai Kehidupan

Oleh: Indrian Safka Fauzi (Aa Rian)

Sabtu, 27 April 2024 06:23 WIB