x

Iklan

dian basuki

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Lelaki Muda Bernama Malcolm-X

51 tahun yang lampau, Malcolm-X ditembak mati oleh tiga orang yang hak-haknya ia perjuangkan.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

 

“Nobody can give you freedom. Nobody can give you equality or justice or anything. If you’re a man, you take it.”

--Malcolm-X (1925-1965)

 

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Usia Malcolm-X belum lagi genap 40 tahun, ketika kematian menjemputnya di New York. Di  bulan Februari, 51 tahun yang lampau, El-Hajj Malik El-Shabazz, nama lain Malcolm-X, tengah bersiap untuk berpidato ketika tiga orang menembakkan peluru ke tubuhnya. Setelah menunaikan ibadah haji dan melihat segala bangsa bergabung bersama, pendiriannya telah berayun ke arah yang lebih moderat.

Bersama Martin Luther King, Jr., Malcolm-X telah menorehkan jejak penting dalam sejarah perjuangan kaum kulit hitam. David Howard-Pitney, dalam bukunya Martin Luther King, Jr. , Malcolm-X, and the Civil Rights Struggle of the 1950s and 1960s, melukiskan dua orang ini berayun ke arah yang berbeda. Pada tahun-tahun terakhir hidup mereka, kata David, “Malcolm-X semakin lebih menyerupai King di masa awal, dan King menjadi lebih menyerupai Malcolm-X.” Malcolm jadi lebih moderat, King jadi lebih militan.

 “Dia hanya seorang laki-laki muda yang memberikan segala yang dia mampu,” ujar Ilyasah Shabazz, puteri Malcolm-X, dalam pidato setengah abad kematian ayahnya. Ilyasah meyakini bahwa retorika revolusioner ayahnya masih menjadi bagian penting dari perjuangan untuk kesetaraan. “Dia seharusnya lebih banyak dikenang dalam sejarah Amerika,” kata Ilyasah.

Malcolm telah berkata jujur dalam biografi yang ia tulis bersama Alex Haley. Ditulis dua tahun menjelang kematian Malcolm, karya ini tetap relevan bukan hanya bagi bangsa Amerika—seperti dikatakan oleh Ilyasah, tapi juga bagi kita di sini, yang masih terkungkung oleh ilusi akan identitas.

Malcolm membuka pintu dan mempersilakan pembaca untuk memasuki kamar gelap yang pernah dihuninya, mencecap rasa perih yang mencekamnya ketika ayahnya dibunuh dengan cara yang siapapun tak ingin mengalami hal serupa, nestapa hidupnya yang diimpit kemiskinan, serta kepedihan menyaksikan ibunya harus dibawa ke rumah sakit jiwa. Malcolm bukan sekedar berbicara perihal gagasan besar yang memandunya untuk keluar dari kegelapan.

Hidup Malcolm adalah perjalanan menuju moderasi, meskipun diawali oleh kekerasan hati untuk menolak kompromi. Kegetiran hidupnya, ia berpindah dari satu panti asuhan ke panti lain, dari satu penjara ke penjara lain, menjadikannya bersikap keras terhadap ‘paham apartheid di bumi Amerika’. Banyak orang mengakui kebenaran pandangannya namun disertai rasa cemas, hingga kemudian Malcolm menjadi lebih moderat dalam bertindak.

Kendati pun ayahnya dibunuh dengan cara mengenaskan dan dia sendiri diperlakukan secara tak pantas oleh orang-orang berkulit putih, Malcolm  tidak pernah menganjurkan kekerasan sebagai cara bereaksi. Sebagai penganjur rekonstruksi budaya dan sosial, Malcolm  berjuang agar setiap orang merasakan kesetimbangan persamaan hak.

Februari ini, 51 tahun yang silam, telah berpulang seorang anak muda, yang—dalam kata-kata James Cone, penulis Martin & Malcolm & America, telah mengubah bagaimana orang kulit hitam berpikir tentang diri mereka. Ia seorang hero, yang menurut Arnold Rampersad, “kearifannya melampaui banyak orang, keberaniannya luar biasa, dan pengorbanannya mesianis.” (Foto: Martin Luther King, Jr. bersama Malcolm-X) **

Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

Sabtu, 27 April 2024 14:25 WIB

Terkini

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

Sabtu, 27 April 2024 14:25 WIB