x

Sejumlah kepala desa melakukan aksi unjuk rasa dengan menutup jalan Medan Merdeka Utara di depan Istana Merdeka, Jakarta, 27 Mei 2015. Tempo/ Aditia Noviansyah

Iklan

Agus Supriyatna

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Biarpun Kambing, Asal Teman Pak Lurah Kami Terima

Biarpun Kambing, Asal Teman Pak Lurah Kami Terima

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Bagi pamong praja yang dinilai oleh masyarakat, adalah bukti kerja pengabdiannya. Bila ia mengabdi setulus hati, bahkan bisa memajukan sebuah wilayah yang jadi otoritasnya, masyarakat akan mencintainya. 
 
Lurah atau kepala desa adalah pamong yang bisa dikatakan ada pada level terbawah. Tapi, ia sangat penting, karena bersentuhan langsung dengan masyarakat. Pak Lurah, atau Pak Kades (Kepala Desa), adalah perangkat yang berinteraksi langsung dengan warga. Bila dia kerja benar, masyarakat pasti akan menyukaianya. Tapi, bila kerjanya amburadul, warga pun mungkin tak segan memintanya angkat kaki atau cepat diganti. 
 
Nah, ada sebuah kisah tentang lurah yang dicintai masyarakat. Lurah itu namanya Kasmudin. Dia lulusan IPDN, angkatan awal, atau angkatan 02. Saat itu, seluruh lulusan IPDN, angakatan 02 setelah selesai sekolah langsung disebar ke pelosok-pelosok. Apalagi saat itu, pemerintahan di bawah Soeharto punya program penting Inpres Desa Tertinggal. Lulusan IPDN, angkatan 02 itulah salah satu yang jadi aparatur di garda depan menyukseskan program tersebut. Mereka didaulat jadi pendamping masyarakat dalam program Inpres Desa Tertinggal. Banyak kisah tentang kiprah mereka saat program Inpres Desa Tertinggal dilakukan.
 
Para lulusan IPDN yang ikut dalam program Inpres Desa Tertinggal, semuanya disebar ke daerah-daerah sulit alias tertinggal. Tidak ada yang enak langsung ditempatkan di wilayah perkotaan. Semuanya diterjunkan ke wilayah yang minim fasilitas. Tidak jarang, mereka harus menempuh lautan, hutan, dan gunung, karena masih minimnya infrastruktur jalan ketika itu. Jika tak kuat, tentu akan banyak yang frustasi, mengabdi di daerah terpencil. 
 
Salah satu lulusan IPDN yang ikut program Inpres Daerah Tertinggal adalah Kasmudin. Ia di tempatkan di daerah di Sulawesi. Kebetulan daerah yang jadi lahan pengabdian Kasmudin adalah daerah dengan masyarakatnya yang bisa dikatakan fanatik dalam hal agama. 
 
Dekat dengan masyarakat, apalagi yang fanatik, tentu memerlukan sebuah pendekatan khusus. Kasmudin, berhasil atau bisa dikatakan sukses jadi pamong yang dekat dengan masyarakat. Ia pun kemudian disukai masyarakat di tempatnya bekerja. Karirnya moncer, sampai ia diangkat jadi lurah. Saat jadi lurah, Kasmudin makin dicintai warga. 
 
Sampai suatu saat, Kasmudin pun dapat tugas belajar ke Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IIP) di Jakarta. Masyarakat setempat, sepertinya tak rela Kasmudin pergi. Ia pun mendatangi camat, hingga bupati, mencegah Kasmudin agar tak pergi belajar. Tapi, Kasmudin tetap harus pergi untuk melanjutkan sekolah. 
 
Mungkin saking mencintainya Kasmudin, tokoh masyarakat yang datang sampai terlontar pernyataan agak ekstrem, " Biarpun kambing, tapi asal itu teman Pak Lurah, kami akan menerimanya."
 
Dan, kemudian ada pengganti Kasmudin. Penggantinya memang teman Kasmudin sendiri di IPDN, sama-sama lulusan sekolah pamong angkatan 02. Namun yang jadi ganjalan, teman Pak Lurah Kasmudin itu, bukan beragama Islam, sama dengan agama mayoritas penduduk dimana Kasmudin jadi Lurah. Tapi, dia beragama Kristen. Namun, karena temannya Kasmudin, masyarakat menerimanya. 
 
Maka, jadilah temannya Kasmudin itu jadi lurah pertama beragama Kristen yang bertugas di sana. Padahal, warga di sana cenderung fanatik. Namun, masyarakat menerimanya dengan terbuka. Cerita Kasmudin, adalah cerita atau bukti, betapa pengabdian yang diberikan dengan sepenuh hati bisa membuahkan sebuah kisah indahnya toleransi. Masyarakat menerima 'pemimpin' yang berbeda keyakinannya. Dan itu karena buah dari sebuah pengabdian setulus hati. 
 
Kisah Kasmudin, Pak Lurah yang dicintai warganya itu, saya dapatkan dari cerita Pak Acho Maddaremmeng, Kepala Bagian Humas Kementerian Dalam Negeri. Pak Acho sendiri adalah lulusan IPDN angkatan 02. Bisa dikatakan, Pak Acho adalah pelaku sejarah saat program Inpres Desa Tertinggal di lakukan. Dia sendiri, saat program itu dilansir, ditugaskan di Jeneponto, sebuah daerah 'keras' di Sulawesi. Masyarakat di Jeneponto, soal keyakinan bisa dikatakan fanatik. Di daerah itu, cerita baku tikam, bukan hal yang luar biasa. Perkelahian kerap terjadi. 
 
Menteri Dalam Negeri, Tjahjo Kumolo sendiri saat berpidato di hadapan ratusan siswa IPDN di Kampus IPDN Nusa Tenggara Barat (NTB), mengingatkan, agar para siswa sekolah pamong harus dekat dengan masyarakat. Dan sering-sering menengok ke tengah masyarakat. Ia pun, sudah memerintahkan Rektor IPDN, agar para siswa IPDN, misalnya dua kali dalam sebulan, terjun ke kecamatan, kelurahan dan desa. Para calon pamong harus dibiasakan berinteraksi dengan warga. Karena mereka, sejatinya adalah pelayanan. 
 
" Karena kalian nanti yang akan melayani masyarakat. Jadi wajib dekat, dan memahami kondisi masyarakat," kata Tjahjo. 
 
 

Ikuti tulisan menarik Agus Supriyatna lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler