x

Iklan

Muhamad Riza

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Kesempatan yang Sama Melalui Pendidikan

Penyandang disabilitas seperti yang diamanatkan UUD 1945 berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam pendidikan

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Education is the most powerfull weapon to change the world.

–Nelson Mandela

 

 

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Pernahkah bertanya apakah para penyandang disabilitas memang memiliki hak yang sama dengan siswa lainnya dalam pendidikan? Apakah mereka mampu berkompetisi secara akademik dengan siswa lainnya? Dan juga apakah hasil dari pendidikan tersebut mereka mampu bersaing di dunia pekerjaan contohnya? Jawabannya tentu saja. Ada banyak penyandang disabilitas yang terbukti bisa bersaing dan lebih unggul dari yang tidak memiliki keterbatasan. Salah satu contohnya adalah, Stephen Hawking. Stephen Hawking merupakan seorang fisikawan teoritis yang sangat berpengaruh dan juga populer yang juga menderita Amyotropic Lateral Sclerosis (ALS) dimana dia menderita kelumpuhan pada hampir seluruh tubuhnya dan harus menggunakan kursi roda dan juga harus ditopang oleh semacam alat untuk membantunya bicara. Namun keterbatasannya tidak membuat dia patah arang, bahkan beberapa teori tentang Astrofisika khususnya teori mengenai  radiasi lubang hitam (Black Holes Radiation) yang merupakan teorinya yang paling dikenal ia ungkapkan  ketika dia sudah menderita penyakit tersebut

Memang penyandang disabilitas berhak memiliki kesempatan yang sama dengan layaknya orang kebanyakan. Jika kita melihat UUD 1945 pasal 28 C disitu diutarakan bahwa “setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapat pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya, demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia”, maka sudah sepantasnyalah mereka, penyandang disabilitas diberikan kesempatan yang sama dalam segala hal jika mereka mampu melakukannya. Namun yang menjadi pertanyaan utamanya adalah apakah implementasi dari UUD tersebut sudah terlaksana? Ataukah hanya jargon dan jauh dari cita-cita awalnya?

                Diskriminasi Terhadap Penyandang Disabilitas di Dunia Pendidikan

Pendidikan merupakan fondasi yang sangat penting dalam peradaban manusia. Pendidikan memainkan peran yang sangat krusial dalam menanamkan ide, konsep, teori, nilai dan norma pada individu. Bisa dibilang bahwa selain dari lingkungan, individu ditanamkan norma dan nilai dari pendidikan. Contohnya kita mempelajari bahwa setiap orang itu setara terlepas dari perbedaan gender, ras, agama maupun karena keterbatasan fisik dan mental di sekolah. Namun, seringkali sistem pendidikan tersebut justru sangat disktriminatif terhadap para penyandang cacat.

Contoh paling baru diskriminasi terhadap penyandang cacat di dalam dunia pendidikan terjadi tahun 2014 kemarin ketika syarat SNMPTN untuk beberapa program studi baik IPA maupun IPS tidak memperbolehkan difabel seperti penyandang tuna netra, tuna daksa, tuna rungu, dan tuna wicara untuk mendaftar pada program studi tersebut. Hal tersebut jelas bukan hanya mencederai undang-undang dasar 1945 mengenai hak individu, namun juga mencederai esensi dari pendidikan itu sendiri yaitu penanaman nilai-nilai kesetaraan seperti yang diungkapkan oleh Paulo Freire.

Selain itu pula masih banyak contoh diskriminasi sistem pendidikan terhadap kaum disabilitas. Bukan hanya di jenjang pendidikan tinggi namun mulai dari pendidikan dasar. Banyak sekali sekolah yang tidak peka terhadap anak berkebutuhan khusus atau yang memiliki keterbatasan. Padahal dalam kurikulum pendidikan dasar sudah terdapat namanya pendidikan inklusif (inclusive education)  dimana desain pembelajaran dibuat supaya bisa mengakomodasi siswa yang memiliki keterbatasan fisik untuk berpartisipasi dalam pembelajaran di kelas.

Permasalahannya mungkin ada pada implementasi kurikulum di sekolah. Ketidaktahuan para guru terhadap pentingnya pendidikan inklusif maupun enggan mengaplikasikannya di kelas menjadikan kelas sangat susah untuk diikuti para penyandang keterbatasan fisik. Para guru juga masih berpikir bahwa siswa dengan keterbatasan fisik justru menjadi penghambat bagi siswa-siswa lainnya dalam pembelajaran. Hal tersebut bisa membuat siswa dengan keterbatasan fisik menjadi minder, malu, dan akhirnya malas untuk ikut proses belajar mengajar.  

Masalah lainnya dalam pendidikan inklusif adalah kurangnya sarana dan prasarana yang mendukung impelementasi pendidikan inklusif di sekolah-sekolah. ini dikarenakan alokasi dana untuk sarana dan prasarana di sekolah lebih banyak  pada yang tidak ada sangkut pautnya dengan kegiatan pembelajaran, apalagi untuk mendukung pendidikan inkulsif. Juga masih ada paradigma di kalangan sekolah bahwa membeli alat pembelajaran khusus untuk anak berkebutuhan khusus atau penyandang disabilitas akan membuang uang karena hanya dipakai satu atau dua orang.

Merevitalisasi Sistem Pendidikan Yang Ramah Terhadap Penyandang Disabilitas

Pendidikan di Indonesia memang masih jauh tertinggal dengan sistem pendidikan di negara-negara maju baik dalam kualitas khususnya memiliki sistem pendidikan yang ramah terhadap siswa yang memiliki keterbatasan atau anak berkebutuhan khusus. Di negara-negara maju seperti Amerika dan Eropa, seperti diungkapkan oleh Sue Stubbs dalam bukunya “Inclusive Education: Where they are few resources”, pendidikan inklusif merupakan suatu keniscayaan karena esensi dari pendidikan inklusif adalah suatu sistem pendidikan yang bisa mengakomodasi semua siswa bukan hanya siswa yang memiliki keterbatasan namun juga siswa dengan berbagai latar belakang. Ini dikarenakan pada beberapa negara maju seperti Amerika, Kanada, dan sebagian Eropa, masyarakatnya memang sangat multikultural yakni bermacam-macam etnis, ras, dan latar belakang. 

Ada beberapa poin yang harus diperhatikan jika kita serius membenahi sistem pendidikan kita yang bisa mengakomodasi siswa difabel atau anak berkebutuhan khusus yaitu pembenahan kurikulum, sarana dan prasarana, dan sumber daya manusia yaitu pendidik.  

Kurikulum memiliki peran yang sangat sentral dalam perubahan sistem pendidikan di indonesia namun impelementasinya masih kurang dalam konteks di lapangan. Kurikulum yang berbasis pendidikan inklusif masih jauh dari cita-cita yang diharapkan. Memang tidak seperti di negara-negara maju yang sistem pendidikannya juga sudah stabil karena disokong oleh anggaran dana yang besar, di negara berkembang seperti Indonesia baik alokasi dana dan sulitnya untuk merubah paradigma adalah tantangan utama.

Kurikulum pendidikan di indonesia baik pendidikan dasar maupun pendidikan tinggi mesti bersandar pada kesetaraan tanpa melihat keterbatasan siswa, baik siswa yang memiliki keterbatasan fisik maupun mental memiliki kontribusi yang sama dengan siswa lainnya. Paradigma diskriminatif terhadap penyandang disabilitas harus dihapuskan karena bukan hanya akan mencederai mereka namun juga mencederai UUD 1945   

Sarana dan prasarana juga menjadi hal esensial lainnya dalam mengembangkan kurikulum yang tidak diskriminatif terhadap penderita difabel. Alokasi dana kepada setiap sekolah juga harus memperhatikan kebutuhan dari para penderita difabel supaya mereka bisa memiliki kontribusi yang sama dengan siswa lainnya.  

Dan tidak kalah pentingnya adalah sumber daya manusia itu sendiri dalam menghapuskan diskrimasi terhadap siswa yang memiliki keterbatasan. Pendidik dalam hal ini mengetahui pentingnya kesetaraan dalam kegiatan belajar mengajar, dan juga menyadari bahwa kesetaraan dalam pendidikan adalah suatu keniscayaan. Pendidik harus bisa mengakomodasi semua siswa dalam proses belajar mengajar tanpa melihat keterbatasan maupun latar belakang mereka. Itulah esensi dari pendidikan inklusif, pendidikan tanpa diskriminasi.

Kesimpulan

Undang-Undang Dasar 1945 telah mengamanatkan bahwa semua orang tanpa terkecuali latar belakang seperti gender, ras, agama, maupun keterbatasan fisik berhak mendapatkan pendidikan. Namun implementasi dari undang-undang dasar tersebut sepertinya masih jauh dari harapan. Sistem pendidikan di Indonesia masih tidak peka dan cenderung diskriminatif terhadap penyandang disabilitas.  Pengembangan kurikulum yang terus menerus dan sustainable, alokasi dana yang cukup untuk sarana dan prasarana, dan kesadaran dari para pendidik adalah kunci untuk memajukan pendidikan inklusif di Indonesia.

Yang harus diingat adalah bahwa para penyandang disabilitas tidak memilih untuk memiliki keterbatasan fisik. Maka  sudah menjadi tugas pendidik khususnya maupun pemerintah secara umum untuk lebih memperhatikan kondisi mereka dengan tidak memaksakan sistem pendidikan yang diskriminatif sehingga para penyandang disabilitas bisa berkontribusi yang sama di kelas dan juga berkontribusi pada negara ini kelak.  

Ikuti tulisan menarik Muhamad Riza lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler