Menulis, Melepaskan Diri dari Kungkungan Keterbatasan Ide
Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIBMenjadi bagian dari Seminar bertema "Menulis itu Asyik" adalah harapan untuk Indonesiana yang dikreasikan oleh Tempo untuk seluruh masyarakat Indonesia.
Kegiatan yang dianggap solusi ampuh dalam mengembangkan potensi yang dimiliki diri sendiri adalah Membaca dan Menulis. Dua kegiatan yang saling mengisi untuk menumbuh-kembangkan kreativitas diri ke arah yang lebih baik. Apa yang kita baca, harus kembali kita tuangkan dalam sebuah media yang bernama Hasil Tulisan. Tetapi masih banyak orang yang merasa minder, merasa tidak mampu untuk kembali menuliskan apa yang telah mereka baca. Fenomena-fenomena sosial yang berkembang, dirasa tidak perlu untuk direspon dalam bentuk karya tulisan, karena mereka menganggap mereka tidak mampu untuk menuliskan sesuatu dalam bentuk karya tulisan. Padahal diera kekinian dengan segala kemudahan sarana Teknologi Informasi dan Komunikasi yang begitu gampang didapatkan, semua orang bisa jadi penulis.
Begitu juga yang saya rasakan saat pertama-tama memutuskan untuk berkarya dan berkarya dalam bentuk tulisan, saya merasakan beban mental saat menuliskan apa ide yang muncul dari otak untuk dituangkan dalam bentuk tulisan lewat jari-jemari yang bermain di keyboard komputer maupun laptop. Menulis bukanlah suatu kegiatan yang gampang diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari, butuh hati yang tulus, kesabaran tingkat dewa, tingkat konsentrasi yang tinggi, dan yang paling penting harus diawali dari banyak belajar dan belajar, membaca dan membaca. Long life education (Belajar Sepanjang Hidup), Non Scholae sed Vitae Discimus (Kita Belajar Bukan Untuk Sekolah, tetapi Untuk Hidup), menjadi motto saya dalam mengambil keputusan untuk belajar menjadi penulis. Bakat menulis, seperti yang pernah dikatakan oleh seorang ahli Fisika terkemuka, sang tokoh ilmuwan penemu Lampu Pijar bernama Thomas Alva Edison mengatakan bahwa “Kreativitas dibangun hanya 1% dari Inspirasi, 99% dibangun dari hasil kerja keras”, menjadi acuan saya untuk tetap semangat dalam mengasah kemampuan menulis dengan trik yang saya gunakan adalah banyak-banyak membaca cara menulis yang baik lewat media Internet.
Tidak Akan Pernah Menyerah Jadi Penulis
“Kegagalan adalah Keberhasilan yang Tertunda!”, begitulah pepatah yang sering kita dengar, orang yang akrab dengan kegagalan, pastilah akan menemukan keberhasilan begitulah kesimpulan saya ketika sering membaca kisah-kisah orang sukses berkat kerja kerasnya. Juga dalam proses menjadi penulis, tidak hanya mengisi waktu luang, tetapi juga untuk mengembangkan kemampuan menulis sebagai bagian dari Kompetensi yang harus dipunyai oleh seorang Guru untuk dunia pendidikan yang lebih baik. Guru dituntut minimal mempunyai empat Kompetensi, yang meliputi : Kompetensi Pedagogik, Kompetensi Kepribadian, Kompetensi Sosial, dan Kompetensi Profesional yang dapat diaplikasikan dalam dunia nyata atau dalam unjuk kerja nyata untuk Keluarga, Sekolah, dan Masyarakat luas. Dengan menulis, saya yakin kita mampu berkontribusi nyata untuk Pembangunan Indonesia ke arah yang lebih baik, namun butuh waktu dan proses.
Semua keputusan itu diawali tahun 2010, ketika saya tertarik untuk belajar menulis disebuah blog keroyokan bernama Kompasiana. Ketika itu saya baru diterima menjadi PNS disalah satu sekolah Negeri kota Medan. Menjadi penulis adalah passion saya sejak duduk dibangku SMA, namun belum benar-benar dapat disalurkan karena keterbatasan sarana. Juga sewaktu kuliah, keinginan menulis ini selalu kandas karena saya harus bekerja sambil. Sosok yang banyak memberi pembelajaran tentang bagaimana menulis yang baik, saya temukan dalam tulisan-tulisan Pak Wijaya Kesumah kala saya sering nongkrong di Kompasiana. Dengan prinsip bukan mencari kesuksesan yang instant (cepat), tetapi harus dilalui dengan kerja keras dan proses yang lama, maka saya memulai petulangan dengan mencoba menulis di blog keroyokan tersebut. Juga dengan menulis di blog pribadi, mengikuti lomba menulis online, tanpa memikirkan jadi juara, tetapi menyalurkan hobby menulis dan mencoba belajar jadi penulis.
Buah kesabaran itu memang rasanya manis, hasil menulis di blog keroyokan saya sering mendapatkan predikat highlight, terpopuler, dan sebagainya. Ada rasa kepuasan tersendiri, ketika tulisan kita banyak dibaca oleh orang lain. Setelah kurang lebih tiga tahun belajar, akhirnya buah dari menulis ini mulai terasa, seperti kata pepatah “Apa yang kita tanam, itu yang kita tuai”, maka ada saat menanam, ada saat menuai. Saat tuaian datang, maka waktunya pun tidak dapat diprediksi, karena menulis prinsipnya adalah menabur ide, pendapat, untuk memberikan solusi atas suatu permasalahan yang dilimpahkan. Tahun 2013, tepatnya 26 Maret saya mendapat dua undangan yang intinya saya diundang untuk hadir di acara Penyerahan Hadiah Lomba Karya Tulis memperebutkan Piala Bergilir Madya Insani yang ada di kota Medan. Dengan perasaan penuh tanya saya hadiri undangan tersebut.
Pengalaman Kecil Menjadi Guru Penulis
Alangkah terkejut dan bersyukur sekali, karena nama saya menjadi salah satu pemenang untuk kategori Umum dalam Lomba Karya Tulis yang mengangkat tema “Anak Jalanan di Kota Metropolitan”. Prestasi yang cukup membanggakan karena saya menjadi Juara Harapan I yang menjadi cambuk penyemangat dan pembuka jalan untuk reward atas tulisan-tulisan saya lainnya. Setahun kemudian, tepatnya April 2014, saya menerima e-mail dan telepon dari pihak Kompasiana yang menyatakan bahwa tulisan yang saya ikutkan dalam lomba menulis “Buku Ahok”, menjadi salah satu pemenang dan berhak untuk diterbikan dalam buku kompilasi berjudul “AHOK untuk INDONESIA”. Kembali saya bersyukur atas Nikmat yang Tuhan berikan, juga atas kerja keras dan kesempatan yang Tuhan berikan, karena tidak mudah untuk menembus kompetisi yang ketat, apalagi masuk kedalam percetakan besar yang sudah punya nama sekelas Elex Media Komputindo.
Bangga karena dengan bermodalkan belajar menulis Autodidak, tulisan saya bersanding dengan penulis-penulis yang sudah profesional, mahir, dan punya segudang pengalaman, sebut saja : Pak Thamrin Dahlan, Michael Sendow, Stefanus Toni Aka Tante Paku, dan penulis-penulis besar lainnya. Pengalaman-pengalaman kecil ini makin memicu saya untuk terus mengasah kemampuan menulis, tetapi saya masih sadar bahwa saya masih kurang pengalaman, kurang terasah keterampilan menulis, masih butuh proses dan belajar, masih butuh bimbingan dan arahan dari para penulis yang sudah banyak makan asam-garam. Saya masih minder, masih kurang pede untuk menyertakan tulisan ke dalam media elektronik seperti Surat Kabar karena itu tadi, belum punya pengalaman dan belum pernah merasakan arahan-arahan yang mumpuni dari sosok-sosok yang sudah berpengalaman dibidang jurnalistik yang mampu memberikan saya pengalaman apa itu menulisituasyik.
Harapan Mendapat Ilmu dan Wejangan Bagaimana Menulis Asyik
Untuk mendapatkan ilmu yang tidak ternilai harganya dalam mengasah keterampilan atau Kompetensi dibidang Jurnalistik, maka saya dengan rela akan berselancar kemanapun, jika harus ke Negeri Cina-pun tidak masalah. Kini blog Indonesiana hasil kreasi kreatif dari majalah Tempo telah muncul sebagai wadah bagi para penulis-penulis yang ingin belajar. Saya sendiri ingin menjadi bagian dari Indonesiana.tempo.co yang ingin belajar bagaimana jadi penulis yang baik dan menggairahkan, dan ingin menyumbangkan ide, pikiran, dan pendapat yang bermanfaat untuk semuanya. Sehingga, dengan menulis harus mampu melepaskan diri dari keterbatasan ide dalam memecahkan suatu persoalan atau permasalahan yang kita hadapi. Dengan menulis, semoga kita bisa mengembangkan wawasan kita. Semoga!
#menulisituasyik
Penulis Indonesiana
0 Pengikut
Trik Sayangi Jantung Dengan Olahraga Teratur, Tanpa Rokok!
Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIBKlinik Opini: Alasan Korupsi Masih Merajalela di Negeri Ini
Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIBBaca Juga
Artikel Terpopuler