x

Iklan

Handoko Widagdo

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Pelaku Berkisah

Kehebatan perjuangan para pemuda dalam membenahi ekonomi di awal Kemerdekaan

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Judul: Pelaku Berkisah – Ekonomi Indonesia 1950-an sampai 1990-an

Editor: Thee Kian Wie

Penterjemah: Koesalah SoebagyoToer

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Tahun Terbit: 2005

Penerbit: Freedom Institute dan Penerbit Buku Kompas                                      

Tebal: lxxviii + 304

ISBN: 979-709-231-3

 

Apa gunanya kemerdekaan politik tanpa kemerdekaan ekonomi? Sebuah bangsa belum bisa disebut bangsa merdeka hanya dengan pengakuan kedaulatan secara politis, sementara ekonomi masih dikuasai oleh asing, atau penguasa sebelumnya. Demikianlah kondisi Indonesia pada tahun 1950, saat kedaulatan (secara politis) sudah diakui Belanda. Namun saat itu semua sendi ekonomi masih dipegang oleh Belanda, termasuk Bank Sentral dan perniagaan yang berorientasi ekspor. Buku ini paparan para tokoh pelaku yang membahas sejarah ekonomi, khususnya saat Indonesia secara politis telah diakui sebagai negara merdeka oleh Belanda. Dan para tokoh yang melanjutkan pembangunan ekonomi setelah era Sukarno, sampai dengan tahun 1990-an. Tokoh-tokoh tersebut adalah: Sumitro Djojohadikusumo, Muhammad Saubari, Sjafruddin Prawiranegara, A R Soehoed, Sarbini Sumawinata, Muhammad Sadli, Soedarpo Sastrosatomo, Suhadi Mangkusuwondo, Emil Salim, Subroto dan Teuku Muhammad Daud.

Mencapai kemerdekaan politik tanpa kemerdekaan ekonomi menghadapkan Indonesia pada masalah yang serius. Lantaran tidak dapat mengawasi segmen-segmen penting ekonomi Indonesia, gerak para pembuat kebijakan ekonomi Indonesia sangat terbatas (hal xxvii). Konferensi Meja Bundar memang telah memberikan kemerdekaan politis kepada Indonesia, namun Belanda tetap memegang kekuasaan ekonomi di negeri bekas jajahannya tersebut. Itulah sebabnya para pemimpin bangsa di awal tahun 1950 berupaya merebut kemerdekaan ekonomi dari Belanda. Muhammad Hatta, Sumitro Djoyohadikusumo, Sjafruddin Prawiranegara, dan Djuanda adalah empat orang yang bisa disebut kreator dalam merebut kedaulatan ekonomi dari Belanda.

Dua syarat yang diajukan oleh Belanda di bidang ekonomi, agar Indonesia diakui sebagai negara merdeka adalah: (1) kelangsungan bisnis perusahaan-perusahaan Belanda (big five) dan (2) pengambil alihan hutan Hindia Belanda oleh Pemerintah Indonesia. Syarat tersebut terpaksa diterima oleh Indonesia supaya pengakuan politik bisa didapatkan. Melalui sebuah negosiasi yang alot, utang Belanda yang diakibatkan agresi dari tahun 1945-1949 memang akhirnya tidak harus menjadi tanggungan Belanda. Namun utang pemerintah Hindia Belanda seluruhnya menjadi beban negara yang baru lahir tersebut.

Berbagai upaya dilakukan untuk mengambil alih kedaulatan ekonomi. Muhammad Hatta, Sumitro, Sjafruddin dan Djuanda adalah tokoh-tokoh nasionalis tetapi pragmatis. Mereka menyadari bahwa republik yang baru lahir ini memerlukan aliran dana dari proses ekonomi. Itulah sebabnya mereka membiarkan perusahaan-perusahaan Belanda tetap beroperasi. Sebab mengambil alih perusahaan-perusahaan tersebut secara serta merta akan berakibat kacaunya ekonomi Indonesia. Upaya pragmatis ini tidaklah mudah dilakukan. Istilah yang dipakai oleh Sjafruddin Prawiranegara adalah “dilakukan dengan cara-cara yang masuk akal,” (hal. 44). Mereka mendapat tentangan dari kelompok pejuang yang lebih radikal, yang ingin sesegera mungkin melakukan nasionalisasi perusahaan-perusahaan tersebut. Bukan itu saja, era ini Indonesia juga menghadapi persoalan integrasi Irian Barat dan sengketa dengan Malaysia. Belum lagi pemberontakan-pemberontakan daerah yang menyita perhatian pimpinan nasional dalam mengatasi persoalan ekonomi, sekaligus menguras keuangan negara. Akibatnya keguncangan ekonomi yang cukup parah menjadi urgen untuk diatasi dan menyebabkan program-program yang lebih bersifat strategis dan jangka panjang. Dan, di akhir era Sukarno, ekonomi Indonesia ambruk karena tak mampu bayar utang luar negeri dan hiperinflasi. Saat itulah muncul kelompok ekonom muda dari Universitas Indonesia yang diminta oleh Suharto membenahi ekonomi. Kelompok ekonom muda yang dipimpin Widjojo Nitisastro tersebut sering disebut sebagai Mafia Berkley.

Untuk mengambil alih peran perusahaan Belanda, Indonesia mendirikan Central Trading Company. Indonesia membeli saham Javasche Bank, sehingga bank tersebut bisa dinasionalisasikan dan diubah menjadi Bank Indonesia. Di saat yang sama Indonesia yang baru lahir juga harus segera memperbaiki infrastruktur dan proses produksi, khususnya perkebunan dan minyak. Untuk merebut bisnis yang dikuasai Belanda dan China, Kabinet saat itu menjalankan “Program Benteng”, yaitu program untuk menumbuhkan pelaku bisnis pribumi. Program-program tersebut dipakai untuk merebut kedaulatan ekonomi. Untuk membangun ekonomi yang lebih kokoh, Sumitro mencanangkan Rencana Urgensi Ekonomi, yaitu upaya meningkatkan industrialisasi di Indonesia yang selama ini diabaikan oleh Belanda. Bagaimana hasilnya? Berikut adalah penuturan para tokoh yang menjadi pelaku.

Central Trading Company adalah perusahaan nasional yang didirikan di Sumatra Barat. Perusahaan ini dimaksudkan untuk mengelola perusahaan-perusahaan yang diambil alih oleh pemerintah Indonesia. Seperti dituturkan oleh direkturnya, Teuku Muhammad Daud, persoalan pertama yang didahapi adalah sulitnya mencari staf yang mumpuni untuk menjalankan perusahan ini. Akhirnya Teuku Muhammad Daun merekruit manager dari keturunan China (hal. 280). Perusahaan ini awalnya adalah bisnis ilegal tentara. Mereka melakukan penyelundupan beras, karet, kopi, teh dan barang hasil bumi lain keluar Indonesia, melalui Riau dan Aceh. Laksanama John Lie adalah salah satu pelaku penyelundupan tersebut. Setelah dilegalkan menjadi CTC, mereka mendapat tugas baru untuk menghadapi 5 perusahan besar Belanda yang masih beroperasi di Indonesia. Bisnis CTC berkembang pesat. Bukan hanya menangani ekspor hasil bumi, CTC berkembang menjadi perusahaan yang mengelola import gerbong kereta api, mengelola galangan kapal, bergerak di bidang farmasi dan import gandum. Selanjutnya CTC berubah menjadi PT Pantja Niaga. Inilah cikal bakal BUMN di Indonesia.

Setelah Indonesia merdeka, Indonesia harus memiliki uang sendiri. Sumitro menceritakan betapa sulitnya mencetak uang saat itu. Sebab blokade Belanda masih sangat kuat (hal. 14). Uang Republik diperlukan untuk menggantikan uang Jepang yang masih beredar. Muhammad Saubari yang pernah menjabat sebagai Sekretaris Menteri Keuangan (1951) menjelaskan bahwa ide untuk mencetak uang Republik adalah dari Sjafruddin Prawiranegara (hal.29). Ide pencetakan uang ini pada awalnya ditolak oleh Hatta (hal. 41). Beredarnya tiga mata uang dalam kurun waktu yang sama, yaitu uang Belanda, uang Jepang dan Uang Republik membuat inflasi menjadi tak terkendali. Apalagi Indonesia gagal menambah pendapatan dari pungutan pajak. Akhirnya uang Republik terhenti pada tahun 1948 saat agresi Belanda (hal.30). Uang Republik baru digunakan kembali sejak persetujuan Roem-Royen pada tahun 1949.

Langkah selanjutnya adalah mendirikan Bank Sentral. Dalam perundingan di Konferensi Meja Bundar, Sumitro mengusulkan BNI untuk menjadi Bank Sentral (hal. 16). Sebab bagaimanapun BNI adalah bank yang didirikan oleh pribumi. Namun akhirnya Javasche Bank-lah yang disiapkan untuk menjadi Bank Sentral. Indonesia membeli saham Javasche Bank, sehingga bank tersebut bisa dinasionalisasikan dan diubah menjadi Bank Indonesia (hal. 32).

Untuk menjamin berjalannya perniagaan Indonesia perlu segera memperbaiki infrastruktur dan proses produksi, khususnya perkebunan dan minyak. Sayangnya Indonesia tidak memiliki cukup uang untuk membiayai perbaikan infrastruktur tersebut. Untunglah penjualan hasil bumi, khususnya karet mampu membawa masuk devisa yang bisa digunakan untuk membiayai perbaikan infrastruktur.

Persoalan lain yang dihadapi adalah kurangnya orang pribumi dalam sektor bisnis, baik di tingkat nasional maupun di tingkat lokal. Untuk merebut bisnis yang dikuasai Belanda dan China, kabinet saat itu menjalankan “Program Benteng”, yaitu program untuk menumbuhkan pelaku bisnis pribumi. Program-program tersebut dipakai untuk merebut kedaulatan ekonomi. Program ini gagal total karena dijalankan dengan penuh kolusi dan nepotisme. Para pribumi yang diberi hak monopoli malah menjual haknya kepada para China. Mereka malah hanya menjadi pemburu rente dan tidak mau bekerja keras. Sudarpo menyampaikan bahwa lisensi diberikan kepada orang-orang yang bukan pengusaha, tetapi mereka percaya berhak menikmati fasilitas sebagai buah revolusi. Hasilnya adalah bencana (hal. 143). Sementara pelarangan bisnis retail keturunan China di pedesaan menimbulkan kekacauan distribusi barang yang menimbulkan naiknya harga luar biasa. Meski dianggap gagal total, setidaknya ada pengusaha pribumi yang berhasil membangun bisnisnya. Orang-orang tersebut diantaranya adalah Soedarpo dan Hasjim Ning. Pada awal kiprahnya sebagai pengusaha, Soedarpo dicurigai oleh Belanda apakah dia benar-benar seorang pengsusaha sungguhan atau hanya orang yang ingin memanfaatkan buah revolusi (hal. 136).

Untuk membangun ekonomi yang lebih kokoh, Sumitro mencanangkan Rencana Urgensi Ekonomi, yaitu upaya meningkatkan industrialisasi di Indonesia yang selama ini diabaikan oleh Belanda. Upaya ini ditentang oleh Sjafruddin Prawiranegara yang lebih menginginkan pembangunan pertanian daripada industrialisasi Indonesia (hal. 46).

Dalam mengatasi keterpurukan ekonomi, rejim Suharto memulai dengan ‘berpaling ke barat’. Gagasan ekonomi orde baru berasal dari Seminar Angkatan darat yang digagas oleh Letjen Suwarto di Bandung. Tim Ekonomi yang dipimpin oleh Widojo Nitisastro. Tim ekonomi terdiri atas Wodjojo Nitisastro, Sadli, Subroto, Ali Wardhana dan Emil Salim. Tim ini memaparkan gagasan pembangunan ekonomi Indonesia. Gagasan tersebut mengesankan Suharto. Tim Widjojo Nitisastro kemudian dijadikan penasihat ekonomi, dan selanjutnya menjadi tim ekonomi dalam cabinet yang dibentuk oleh Suharto.

Indonesia membuka diri untuk menerima bantuan barat. Investasi asing diundang untuk masuk ke Indonesia. Hutang dinegosiasikan supaya pembayarannya bisa ditunda.  Meski awalnya industrialisasi diarahkan untuk mendirikan industri dasar yang memanfaatkan sumberdaya dan kemudian mendirikan industri hilir (hal. 56). Membuka diri kepada investor asing ini ditentang oleh Sjafruddin Prawiranegara, khususnya investasi yang bertujuan untuk memproduksi barang konsumsi dalam negeri, seperti Coca-Cola (hal. 48).

Industrialisasi sudah dimulai sejak era Sukarno. Pabrik pupuk di Palembang dan pabrik semen di Gresik adalah hasilnya. Menurur A R Soehoed industrialisasi era Sukarno ini tidak berhasil karena berbagai hal. Hal-hal tersebut adalah: (1) tertutupnya Indonesia dari modal asing, padahal Indonesia tidak memiliki modal sendiri, (2) tidak stabilnya politik (hal. 57). Sedangkan pengembangan industry dasar di era Suharto berhasil karena Indonesia tidak perlu segera membayar hutang, dan saat itu penerimaan dari sektor minyak bumi sedang melimpah.

Program Stabilisasi dan Rehabilitasi yang diterapkan di awal era Suharto telah mampu mengembalikan ekonomi Indonesia. Tim ekonomi ini selanjutnya juga berhasil memanfaatkan devisa yang dihasilkan dari booming minyak bumi untuk kesejahteraan rakyat. Bidang pendidikan, keluarga berencana dan peningkatan kesehatan berhasil diperbaiki dengan memanfaatkan uang hasil minyak bumi. Tim ini juga berhasil melewati krisis tahun 1986 saat harga minyak bumi turun.

Era ekonom menguasai sektor eknomi rejim orde baru akhirnya tergusur. Pada akhir tahun 1990-an para teknokrat ekonomi ini tergusur oleh datangnya para teknolog dalam kabinet Suharto. Suharto lebih mendengarkan para teknolog dalam pengambilan kebijakan.

Kehancuran ekonomi Indonesia di akhir era Suharto disebabkan karena tidak disiplinnya kabinet dalam menjaga kestabilan makroekonomi (hal.lvi), banyaknya pengeluaran non-anggaran, membantu para pengusaha kroni dan BUMN yang tidak sehat serta untuk membiayai “industri-industri strategis” yang dikuasai oleh Habibie (hal. lvii).

Para tokoh yang bercerita dalam buku ini memiliki kesamaan. Kesamaan mereka adalah muda, berjuang untuk mempertahankan NKRI yang baru lahir, berani dan berpendidikan. Berpendidikan dalam konteks mereka bukan hanya belajar di bangku sekolah/perkuliahan. Namun mereka yang belajar dari buku-buku, dan tokoh-tokoh. Mereka tidak takut untuk menyatakan kebenaran yang diyakini, meski kadang membuat perdebatan diantara mereka sengit. Namun mereka semua patuh untuk menjalankan kebijakan yang telah diputuskan.

Meski penuh dinamika dan pasang surut, perjuangan para tokoh di bidang eknomi ini telah membuat NKRI kokoh sampai kini. Kita patut belajar dari perjuangan mereka.

 

 

 

Ikuti tulisan menarik Handoko Widagdo lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu

Kisah Naluri

Oleh: Wahyu Kurniawan

Selasa, 23 April 2024 22:29 WIB

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu

Kisah Naluri

Oleh: Wahyu Kurniawan

Selasa, 23 April 2024 22:29 WIB