x

Iklan

Handoko Widagdo

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Kegalauan Orang Mesir

Perjumpaan orang Mesir dengan bangsa-bangsa yang mengkoloni mereka dalam tuturan sebuah novel.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Judul: The Map of Love

Penulis: Ahdaf Soueif

Tahun Terbit: 2005 (Cetakan Pertama)

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Penerbit: Hikmah                                                                                                          

Tebal: viii + 721

ISBN: 979-3674-43-1

 

Jika engkau adalah seorang Mesir, apa yang akan engkau katakan tentang era milenium? Apakah engkau akan merindukan kegagahan Mesir di jaman Mesir Kuno? Ataukah engkau akan gamang karena Mesir pernah diperintah oleh bangsa lain dalam waktu yang amat panjang? Atau engkau akan merasa bahwa era milenium tak akan beda dengan tahun-tahun sebelumnya? Bukankah sejarah terus berputar?

Sebagai sebuah bangsa yang pernah gilang-gemilang, Mesir kemudian jatuh dalam pemerintahan asing. Setelah Yunani dan Romawi, Arab (Fathimi dan Mamluk), Otoman (Turki) dan selanjutnya Inggris. Belum lagi saat pemerintahan dilakukan oleh militer di tahun 70-an, banyak yang merasa bahwa sesungguhnya pemerintah militer ini sangat tergantung kepada Amerika. Itulah sebabnya Mesir memiliki masyarakat yang beragam. Ada orang Kristen Kupti yang merasa orang paling asli, ada yang merasa Arab, ada yang condong ke kekaisaran Ottoman, ada pula yang merasa pemerintahan Inggris penting untuk mendidik Bangsa Mesir supaya mampu memerintah diri sendiri.

Ataukah Mesir selayaknya seorang laki-laki biasa yang mendapatkan istri yang luar biasa? Dia sukses ketika istrinya mendukung, dia hancur ketika sendirian (hal. 108)?

Ahdaf Soueif menggambarkan kegalauan Bangsa Mesir menghadai era baru melalui drama percintaan parallel. Dua kisah cinta yang terpisah 100 tahun ditampilkan dengan sangat menawan. Kisah cinta antara Anna Winterbourne dengan Sharif Al-Baroudi di awal tahun 1900 dan cinta cucu buyutnya Isabel dengan Omar Al-Ghamrawi di tahun 1997.

Kisah cinta ini jalin-menjalin melalui sebuah kotak peninggalan Anna yang dibawa oleh Isabel ke Kairo untuk mencari kisah nenek buyutnya. Saat itu adalah tahun 1997. Ketika Isabel bertemu dengan Omar sang dirigent orchestra di New York. Isabel langsung jatuh cinta kepada lelaki yang berbeda umur 20 tahun itu. Omarlah yang memberi alamat Amal, adiknya yang dimintanya membantu Isabel membuat penelitian tentang pandangan orang Mesir terhadap milenium, sekaligus mengurai kisah nenek buyutnya Anna Winterbourne.

Anna adalah seorang istri yang ditinggal mati oleh suaminya. Edward meninggal sepulangnya dari sebuah perang di Sudan. Edward ikut berperang karena merasa bahwa berangkat ke Sudan adalah sebuah tindakan suci. Namun kenyataannya perang tersebut adalah perang yang sangat mengecewakannya. Kebrutalan tentara Inggris terhadap orang Sudan membuat penyesalan yang mendalam bagi Edward. Penyesalan tersebut membawanya kepada kematiannya. Di sinilah Soueif menyampaikan bahwa penguasa sering menipu rakyatnya untuk bersedia berperang dengan alasan-alasan yang suci. Padahal sesungguhnya perang itu brengsek. Tidak ada perang yang suci.

Saat Anna bersedih, ia berangkat ke Mesir untuk melancong, menghilangkan kesedihannya. Saat itu Mesir sedang diduduki oleh Inggris. Dalam sebuah perjalanan wisata, dimana Anna menyamar sebagai seorang lelaki, ia diculik oleh pemuda anggota kelompok Nasionalis Mesir. Penculikan ini membuat dirinya bertemu dengan Sharif Al-Baroudi, seorang tokoh pergerakan nasionalis. Keduanya kemudian jatuh cinta dan akhirnya menikah. Pernikahan mereka bahagia, meski diwarnai dengan penyesuaian dua budaya yang sangat rumit.

Pada era 1900, Mesir sedang dalam pendudukan Inggris dan lepas dari kekaisaran Ottoman. Pemerintahan Inggris membawa perubahan dalam ekonomi. Namun Inggris juga menggunakan kekayaan Mesir untuk membiayai perang di Sudan. Inggris menasionalisasikan tanah-tanah orang kaya untuk perkebunan kapas yang bisa memberi hidup kepada para petani di pedesaan. Inggris juga memelopori pembangunan bendungan Aswan.

Pada saat itulah timbul keasadaran nasionalisme Mesir. Ulama besar Muhammad Abduh berkarya pada era tersebut. Kesadaran kebangsaan ini membuat mereka yang berbeda bersatu. Orang Kristen Kupti yang sering dipakai oleh Inggris sebagai alasan pembebasan mereka dari diskriminasi oleh orang Islam, merasa bahwa mereka tidak mengalami diskriminasi. Dan bahkan seandainya mereka didiskriminasi, mereka tidak ingin diselamatkan oleh intervensi asing (hal. 247).

Namun para tokoh pembaharuan Mesir ini gamang, apakah mereka akan kembali ke nilai-nilai fundamental Islam, atau kembali kepada kekaisaran Ottoman, atau memilih sekulerisme sebagai bentuk pemersatu, atau membiarkan Inggris mempersiapkan diri mereka menjadi dewasa dan siap memerintah sendiri. Itulah sebabnya upaya untuk mendirikan sekolah, klinik dan institut seni menjadi sebuah perdebatan yang cukup tajam. Sharif Al-Baroudi adalah tokoh yang sangat percaya kepada pendidikan (barat), pelayanan kesehatan dan kebudayaan. Itulah sebabnya dia mendirikan sekolah dan klinik kesehatan di kampung halamannya di Tawasi. Ia juga berupaya mendirikan Institut Seni di Kairo.

Percintaan Anna dengan Sharif adalah percintaan dalam format resmi sebagai suami istri. Percintaan yang mampu untuk saling belajar menyesuaikan perbedaan. Anna harus belajar menjadi istri seorang Arab, dan Sharif harus belajar menghadapi istri Inggris. Percintaannya dengan Anna dijadikan wahana bagi Soueif untuk menggambarkan bagaimana hubungan Mesir dengan Inggris. Sedangkan perjuangan Sharif dan para tokoh pergerakan (di antaranya Muhammad Abduh, Boutros Bhasa Ghali) menggambarkan betapa dinamika politik saat itu begitu tinggi. Keluarga yang bahagia ini harus dipisahkan karena Sharif Al-Baroudi ditembak. Kematian Sharif membuat Anna terpaksa kembali ke Eropa. Percintaan Anna Winterbourne dengan Sharif Al-Baroudi adalah gambaran hubungan Mesir dengan Inggris. Meski hubungan mereka penuh cinta, tetapi membawa korban. Mesir adalah korban dan Inggris mengalami kekecewaan yang hebat.

Sedangkan percintaan antara Isabel dengan Omar Al-Ghamrawi dipakai oleh Soueif untuk menggambarkan hubungan pemerintahan Mesir dengan pemerintah Amerika. Setting tahun 1997 adalah saat gerakan Zionis sedang hebat-hebatnya. Omar adalah seorang putra Mesir yang sudah tinggal di New York tetapi peduli terhadap gerakan pembebasan Palestina. Isabel yang begitu saja jatuh cinta kepada Omar, hamil sebelum mereka resmi sebagai suami istri. Padahal Omar muda, pernah tidur dengan Jasmine, ibu Isabel, cucu dari Sharif Al-Baroudi. Hubungan cinta yang didasarkan atas suka sama suka tetapi tidak resmi, adalah bentuk hubungan pemerintah Mesir dengan Amerika di era tahun 1970- 2000-an.

Pada akhirnya cinta adalah yang utama. Cinta adalah lintas bangsa, lintas agama, lintas pandangan politik dan lintas masa. Sesuatu yang berdasarkan cinta wajib untuk diperjuangkan. Cintalah yang membuat seseorang atau sebuah bangsa menjadi bergairah dan menentukan masa depannya. Ahdaf Soueif membawa kita kepada tulusnya cinta, meski menghadapi rintangan. Soueif juga secara berani menggambarkan kegalauan bangsa Mesir di era modern. Bangsa yang bangga akan masa lalu, peduli akan sesame, tetapi renta di dalam. Untunglah masih ada cinta di Mesir.

 

 

Ikuti tulisan menarik Handoko Widagdo lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu

Kisah Naluri

Oleh: Wahyu Kurniawan

Selasa, 23 April 2024 22:29 WIB

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu

Kisah Naluri

Oleh: Wahyu Kurniawan

Selasa, 23 April 2024 22:29 WIB