x

Mari Elka Pangestu didampingi Kurator Pameran Jim Supangkat (2 kanan) dalam pameran Seni Kontemporer Indonesia, di Museum of Art Contemporary (MoCA) , Shanghai, Cina (22/7). ANTARA/Hermanus Prihatna

Iklan

Hendro Wiyanto

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

POLEMIK Lukisan Palsu: Sebuah Pertanyaan untuk Jim Supangkat

Isu lukisan palsu meletup lagi ketika Oei Hong Djien Museum menerbitkan buku The People in 70 Years yang ditulis Jim Supangkat.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Pernyataan kurator Jim Supangkat mengenai lukisan-lukisan yang bermasalah di buku The People in 70 Years (Oei Hong Djien Museum, 2016) membikin saya terperangah. Menurut dia, tidak ada kaitan sama sekali antara pameran di Museum OHD ini dan masalah lukisan palsu yang akhir-akhir ini diperdebatkan. Bagi Jim, seorang kurator tidak mungkin memilih lukisan palsu, "Yakin tidak akan terjebak." Arakan Pengantin karya Sudjojono adalah karya asli. Katanya, "Itu Sudjojono betul. Saya kenal dia 10 tahun terakhirnya" (Tempo, 7-13 Maret 2016, halaman 83).

 

Pernyataan "standar" seorang kurator pameran lebih-kurang memang akan berbunyi seperti itu. Tujuannya tentu saja untuk mengesankan agar pameran yang dikuratori terkesan tanpa cacat, paripurna. Tapi, percayalah, omongan standar begini malah lebih sering menimbulkan tanda tanya. Apakah benar tidak ada kaitan antara pameran di Museum OHD dan soal lukisan palsu? Kalau di Museum OHD ada sejumlah old master (karyatama) yang berdasarkan sejumlah penelitian diduga palsu, dan sebagian karya yang diseleksi kurator pada pameran "The People" itu bersumber dari museum yang sama, masak bisa dibilang "tidak ada hubungan sama sekali"?

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

 

Semestinya Jim paling tidak membaca dulu "Lukisan Palsu dan Kontroversi Sebuah Museum" (rubrik Layar Tempo, 25 Juni-1 Juli 2012) dan buku Jejak Lukisan Palsu Indonesia (Perkumpulan Pencinta Senirupa Indonesia/PPSI, 2014) mengenai lukisan palsu di Museum OHD dan sindikat pemalsu lukisan. Bahan-bahan itu bisa membantu Jim—sebagai mantan wartawan majalah Tempo—untuk bersikap lebih hati-hati ketika memilih karyatama dari Museum OHD. Nah, kaitannya tentu jelas bahwa sebagian karyatama yang diduga bukan karya otentik itu muncul kembali dalam pameran "The People" yang dikuratori Jim Supangkat.

 

Boleh jadi Jim memang tidak ingin terjebak, tapi sikapnya yang selalu terlalu percaya diri dan hanya mau mencari hal-hal yang disebutnya "fundamental" dalam seni rupa malah telah menjebaknya karena terkesan mengabaikan sama sekali fakta-fakta sejarah dan hasil investigasi lukisan palsu di Indonesia. Penelitian Aminudin T.H. Siregar dan penelusuran tim penulis buku Jejak Lukisan Palsu Indonesia secara meyakinkan menunjukkan bahwa sejumlah karyatama yang didaku sebagai karya Sudjojono di Museum OHD memang palsu. Lukisan Arakan Pengantin ditengarai cuma salah satu dari "15 serial pengantin dalam arsip" seorang pelukis berinisial MY, otodidaktik sangat berbakat yang terbiasa membuat lukisan dengan gaya Sudjojono dan Hendra Gunawan (baca Jejak Lukisan Palsu Indonesia halaman 3-26).

 

Pernyataan Jim Supangkat bahwa ia telah mengenal Sudjojono (1913-1986) dalam 10 tahun terakhir hidup si seniman sama sekali bukan jaminan untuk tidak mungkin keliru. Misalnya pernyataan Jim beberapa tahun lalu mengenai kode "(SS)101" pada lukisan-lukisan Sudjojono. Menurut dia, angka itu adalah "nomor rumah isolasi" atau "nomor kamar penjara" tempat Sindudarmo, ayah Sudjojono, pernah ditahan. Pernyataan itu sudah dibantah oleh kesaksian Tedjabayu, putra pertama Sudjojono, bahwa kode tersebut adalah nomor induk ketika belajar di Theosofische Kweekschool, Lembang, Jawa Barat. Lagi pula Sindudarmo tidak pernah ditahan. Yang ditahan adalah Mbah Maridjem, ibunda Sudjojono, buruh perempuan di perkebunan tembakau, Kisaran, Deli (lihat Surat Pembaca Kompas, 17 Januari 2000, serta buku Sudjojono dan Aku [2006] halaman 344).

 

Pernyataan bahwa kurator "mustahil" terjebak lukisan palsu, menurut saya, sangat gawat. Belum lama ini seorang "akademikus" seni rupa juga "terjebak" oleh pernyataannya sendiri mengenai lukisan palsu. Sang "akademikus" menyatakan "tidak melegitimasi" lukisan-lukisan palsu dalam sebuah buku mengenai Hendra Gunawan yang terbit pada 2013, yang bagi banyak pengamat seni rupa memuat lukisan-lukisan bodong Hendra Gunawan. Tapi pernyataan "tidak melegitimasi" ini ternyata cuma berarti "tidak bisa campur tangan", "tidak hati-hati dan serampangan", atau "tidak menganalisis karya" (lihat Tempo 3-9 Agustus 2015 halaman 55). Seperti halnya Jim Supangkat, pernyataan standar "akademikus" seperti itu terdengar sangat janggal. Lalu di mana bobot "akademikus" atau kurator kalau "tidak menganalisis karya"?

 

Mudah-mudahan Jim Supangkat belum terlambat untuk belajar lebih bersungguh-sungguh dalam menilik lukisan, yang asli ataupun yang palsu, agar tidak mudah "terjebak". l

 

Tulisan ini terbit di Majalah Tempo edisi 14 Maret 2016

Ikuti tulisan menarik Hendro Wiyanto lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

1 hari lalu

Terkini

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

1 hari lalu