x

Iklan

dian basuki

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Kenapa sih Kamu Baca Buku Itu?

Membaca itu personal—setiap orang merasakan pengalaman berbeda.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

 

“Aku membaca buku sebab aku menyukainya, bukan karena aku harus membacanya.”

--Simon van Booy (Penulis, 1975-...)

 

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Kawan saya datang di suatu sore, selagi saya tenggelam di kursi malas. Melihat saya membaca A Splendor of Letters karya Nicholas Basbanes, ia langsung berkomentar: “Mengapa kamu menghabiskan waktu untuk membaca buku seperti ini?”

Sembari menyesap kopi, saya menatap wajahnya: “Menghabiskan waktu? Aku menikmatinya, seandainya kamu tahu. Basbanes membawaku menyusuri jejak-jejak literer dalam berbagai peradaban manusia, pada batu-batu, papirus, daun palm, kulit hewan, bahkan perak dan emas. Basbanes menyingkapkan kebutuhan manusia untuk menulis.”

“Aku tak akan memakai waktuku untuk membaca buku seperti itu,” ujarnya lagi. “Sebagai orang eksakta, kupikir kamu akan lebih banyak membaca buku-buku sains: Stephen Hawking atau Richard Dawkins. Bukankah karya mereka sebentuk penjelajahan hebat, yang membuka wilayah-wilayah baru pemahaman manusia terhadap dunia dan kehidupan di dalamnya.”

“Aku membaca mereka, tapi kupikir aku membutuhkan lebih dari itu. Aku dilahirkan sebagai manusia utuh dan ingin tetap seperti itu, bukan berubah jadi separo manusia he ... he...,” jawab saya. “Hawking dan Dawkins boleh dibilang mewakili separo sisi manusia yang melupakan separo sisi lainnya: spiritualitas. Mereka hanya meyakini rasionalitas sebagai satu-satunya jalan untuk memahami semesta dan isinya. Tidak lengkap, sebab mereka mereduksi.”

“Aku perlu mengisi ruang-ruang kosong dengan membaca karya Basbanes, Rumi, dan Sapardi. Aku membaca Tolkien dan Lewis. Aku membaca Kafka, Murakami, dan Budi Darma. Aku membaca Tohari, Ananta Toer, dan Pamuk. Aku menggemari S.H. Mintardja. Ah, tak perlu aku sebutkan semua. Tapi mereka mengisi ruang-ruang kosong itu dengan kekayaan hidup yang mereka serap dan pantulkan kembali. Masing-masing punya andil dalam mengisi ruang pemahamanku.”

“Lagi pula Hawking dan Dawkins bukanlah satu-satunya jenis ilmuwan. Ada Ramanujan yang memahami matematika sebagai jalan spiritual. Matematikawan jenius ini memiliki pendekatan khas terhadap matematika. ‘Sebuah persamaan tidak punya makna bagiku,’ kata Ramanujan, ‘kecuali persamaan itu mengekspresikan pikiran Tuhan.’ Ada pula Fritjof Capra dan Carl Sagan. Ada Michio Kaku, Kurzweil, dan Bruno Latour. Banyak lagi. Aku membaca mereka yang berpikir dengan pendekatan berbeda-beda. Mereka membukakan cakrawala pikiran, juga cakrawala hati.”

Kawan saya hanya mendengarkan. Aku mulai curiga, dia tidak menyahut, apa lagi menyanggah seperti biasanya.

“Bila kita berbicara dari titik tolak kebutuhan, kebutuhan tiap-tiap orang berbeda—termasuk materi bacaan. Apa yang kuperlukan bisa berbeda dengan yang kamu butuhkan. Membaca buku yang sama sekalipun akan menghasilkan pembacaan yang berbeda. Aku dan kamu punya pengetahuan berbeda, pengalaman berbeda, intensitas perasaan yang berbeda, dan banyak lagi. Membaca pada akhirnya adalah pengalaman pribadi dan itu berarti tidak selalu sama, bahkan mungkin tidak bisa sama.”

“Semesta ini terlampau kompleks untuk dimengerti hanya dengan rasionalitas semata, atau spiritualitas saja—sebagai manusia, kita punya keduanya, jadi mengapa menisbikan yang satu untuk menonjolkan yang lain. Kita punya otak kiri dan kanan, bahkan tengah, mengapa tidak semuanya kita manfaatkan? Sebagian manusia memang kerap mereduksi sesuatu yang kaya. Aku tak ingin melakukan hal serupa.”

“Aku menyukai buku-buku tertentu. Aku rasa, kamu juga punya buku-buku favoritmu. Sebab masing-masing kita punya pengalaman hidup berbeda serta keinginan dan kebutuhan berbeda. Tak perlu aku memaksamu membaca buku yang aku suka, begitu pula kamu tak perlu melarang aku membaca buku yang kusuka. Tentu saja, aku mendengarkan saranmu, tapi tidak bila engkau memaksaku.”

Saya lihat temanku tertidur di kursi malas yang lain. Dia benar-benar menikmati bermalas-malasan, sementara aku berceloteh sendiri. Aku harus waspada, begitu terbangun, dia akan meminta secangkir kopi. ** 

Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler