x

Iklan

Galih Nurfidian

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

"Digital Influencer" dan Perihal Pertanggungjawaban Negara

Menggunakan nilai "Influence" untuk mendidik bangsa, bukan sebaliknya.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

 

Sebelumnya saya minta maaf dulu nih jika dalam tulisan ini ada mas-mas atau mbak-mbak influencer yang merasa terganggu, kalo kata anak gaul jakarta biar gak selek.

Buat temen-temen yang masih asing sama istilah Social Influencer, mungkin bisa sedikit saya kasih gambaran. Secara harfiah Social Influencer adalah seseorang yang punya pengaruh di masyarakat karena memiliki audiences yang tinggi. Sekarang ini, istilah Social Influencer banyak disematkan pada individu atau kelompok yang memiliki audiences tinggi pada akun media sosial mereka dan mampu mempengaruhi pandangan orang melalui konten yang dimuat pada media sosial tersebut. Media sosial yang dimaksud adalah facebook, twitter, instagram atau digital platform lainnya yang dapat digunakan untuk memuat opini secara bebas.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Sejak revolusi digital bergulir di indonesia, tidak dapat dipungkiri bahwa media sosial menjadi salah satu platform yang efektif untuk melakukan mobilisasi opini maupun mengendalikan opini masyarakat. Terdapat beberapa alasan yang menguatkan hal tersebut, pertama bahwa media sosial menjadi media informasi baru yang paling dekat dengan masyarakat. Kedua, pengguna media sosial tercatat sangat tinggi dan telah menjangkau lapisan masyarakat terendah sampai ke lapisan masyarakat kelas atas. Salah satu organisasi internasional yang meneliti mengenai media sosial yakni We Are Social, merilis bahwa pada Januari 2016 pengguna media sosial di indonesia telah mencapai 79 Juta dari total jumlah penduduk Indonesia.

Dalam tulisan ini, saya ingin mengulas bagaimana aksi ‘sebagian social influencer’ dalam meramaikan kejadian bom thamrin di jagat media sosial dan hubungannya terhadap pertanggung jawaban pemerintah dalam menjalankan fungsi negara. Sangat disayangkan peran ‘sebagian Social Influencer’ dalam menyikapi kejadian tersebut malah membuat masyarakat terlena dan melupakan bahwa negara memiliki tanggung jawab besar atas aksi teror di jantung ibu kota tersebut.

Pada 14 januari 2016,  Jakarta digegerkan oleh aksi teroris yang menyasar sebuah pos polisi di kawasan Sarinah, Thamrin, Jakarta Pusat. Berselang setengah jam setelah aksi teroris, berita telah menyebar dengan cepat ke masyarakat. Jagat Social Influencer sibuk mengolah posting ucapan duka cita, maupun narasi yang meredakan ketegangan masyarakat atas aksi teroris. Menjelang malam, celoteh di media sosial terkait aksi teroris tersebut telah bergeser jauh menjadi sesuatu yang bersifat humoris. Humoris tapi kelewatan sih menurut saya, soalnya celotehannya lebih banyak membahas mengenai polisi ganteng yang ada di penyergapan teroris, serta pedagang sate yang asik ngebakar padahal di depannya lagi ada teroris.

Pergeseran celotehan di media sosial tersebut lah yang menurut saya menjadi sesuatu yang sangat disayangkan dari ‘sebagian Social Influencer’. Disayangkan karena power mereka untuk mempengaruhi masyarakat melalui media sosial telah mengubah aksi teroris tersebut menjadi suatu panggung ketoprak humor. Pada satu sisi, hal tersebut telah berhasil meredakan ketakutan dan ketegangan masyarakat atas aksi teroris. Di sisi lain, konten media sosial tersebut juga berhasil membuat masyarakat melupakan bahwa negara harus bertanggung jawab atas aksi teroris yang terjadi di jantung ibu kota tersebut. Harus bertanggung jawab karena artinya ada organ-organ negara yang tidak menjalankan fungsinya dengan baik sehingga terjadi pengeboman.

Blunder ‘sebagian Social Influencer’ tersebut juga dibarengi kecakapan pemerintah yang langsung menggerakan sebagian besar media nasional untuk mengarahkan opini bahwa pelaku teroris adalah organisasi Islamic State of Iraq and Syria (ISIS). Hal tersebut merupakan manuver pemerintah yang strategis mengingat saat itu ISIS telah berada pada puncak eksistensi setelah dan stigma ISIS adalah musuh bersama bagi masyarakat Indonesia. Sehingga sebagian besar masyarakat kemudian berusaha memberi pengertian dan memaklumi pemerintah yang sedang kecolongan tersebut. Kesimpulannya, blunder ‘sebagian Social Influencer’ serta kecakapan pemerintah dalam mengelola isu telah berhasil meredam potensi desakan permintaan pertanggung jawaban pemerintah oleh masyarakat atas aksi bom tersebut.

Dalam sejarahnya, peranan yang diharapkan dari proses terbentuknya negara adalah melindungi segenap warga negara. Adam Smith mengatakan, bahwa tugas negara adalah melindungi segenap masyarakat dari kekerasan yang berasal dari institusi manapun. Sehingga apapun alasan dan kondisinya negara tetap harus dipersalahkan atas aksi teror yang terjadi di Thamrin beberapa waktu lalu. Jika negara menghindar dari kewajiban tersebut, artinya telah terjadi absensi negara dalam menjalankan salah satu peranannya.

Memang tidak dapat sepenuhnya dipersalahkan bahwa aksi ketoprak humor ‘sebagian social influencer’ tersebut adalah satu-satu nya jalan yang mensukseskan pemerintah untuk lolos dari tanggung jawabnya. Namun, alangkah baiknya jika ‘sebagian social influencer’ tersebut dengan bijak menggunakan sisi ‘influence’ nya tidak semata untuk meningkatkan popularitas, melainkan turut serta dalam mencerdaskan masyarakat agar kedepan tidak lagi tertipu oleh muslihat pemangku kekuasaan.

Sekian nih sedikit keluhan saya terhadap ‘sebagian social influencer’ dan pemerintah kita. Semoga dapat bermanfaat. Peace!!!

Ikuti tulisan menarik Galih Nurfidian lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

Sabtu, 27 April 2024 14:25 WIB

Terkini

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

Sabtu, 27 April 2024 14:25 WIB