x

Netizen membuat tagar #NyalaUntukYuyun sebagai aksi solidaritas terhadap Yuyun remaja 14 tahun yang tewas setelah dicabuli 14 pemuda. Twitter.com

Iklan

Titiek Kartika Hendrastiti

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Kasus YY dan Gang Rape: Antara Indonesia dan India

Baik kasus-kasus di India maupun di Indonesia, sebagian korban perkosaan berkelompok tidak sendirian saat kejahatan terjadi.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Kasus yang menggemparkan media dan menjadi trending topic tiga minggu terakhir adalah pemerkosaan berkelompok (gang rape) kepada anak 14 tahun dari Bengkulu, Yy. Tulisan ini menyisir dokumentasi tentang gang rape yang fenomenal dan menarik simpati masyarakat, dan medsos yang pernah terjadi, terutama kasus perkosaan gang rape brutal terhadap perempuan di India.

Kasus pertama adalah perkosaan terhadap calon fisioterapi di atas bus di Kota New Delhi tahun 2012. Usia korban saat tragedi terjadi 23 tahun. Korban tidak seorang diri saat perkosaan, ia sedang ada di jalan bersama pacarnya. Pelaku membuang korban ke jalan raya, dan korban meninggal dua minggu setelah kejadian. Pelaku ada 6 orang; dan oleh hakim empat pelaku di hukum mati, satu orang lainnya berusia 17 tahun dibebaskan setelah menjalani hukuman 3 tahun, dan satu pelaku bunuh diri di penjara. Alasan hakim memutuskan hukuman mati untuk keempat pelaku adalah karena hakim menjalankan tugas sesuai hukum yang berlaku.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Kasus kedua adalah gang rape di Mumbai, terdiri dari lima laki-laki memperkosa seorang perempuan wartawan pada 24/8/2013. Peristiwa ini terjadi lebih kurang hanya setahun setelah peristiwa perkosaan yang mengerikan di bus New Delhi. Usia korban saat itu 20 tahun. Korban tidak sendirian, ia meliput berita bersama teman laki-laki. Saat perempuan wartawan itu diperkosa, teman laki-laki yang meliput bersamanya diikat. Kejahatan seksual di Mumbai ini menjadi pendorong Pemerintahan India meloloskan UU yang menghukum berat bagi pelaku kekerasan terhadap perempuan, khususnya kejahatan seksual

Setahun kemudian, media India memberitakan bahwa polisi di Uttar Pradesh pada 30 Mei 2014 menangkap 3 orang pelaku perkosaan terhadap 2 gadis remaja, dan menggantung kedua korbannya di sebuah pohon. Kedua korban itu bersaudara dan dari kasta rendah. Dikabarkan 2 pelaku gang rape berusia 14-16 tahun, dan satu pelaku lainnya adalah bintara polisi. Ia ditangkap karena dituduh bersekongkol dan melalaikan tugas. Oleh otoritas setempat, 3 orang polisi lainnya dicopot karena tidak mencatat secara resmi saat keluarga melaporkan kasus anak hilang.

Pada tanggal Februari 2015 pengadilan India menjatuhkan hukuman mati untuk 7 pelaku perkosaan berkelompok terhadap seorang perempuan Nepal, yang sedang dalam perawatan depresi. Pelaku ke 8 adalah anak-anak, dan pelaku ke 9 melakukan bunuh diri di penjara. Korban sempat dilaporkan hilang selama 3 hari, dan ditemukan di lapangan, telah meninggal, dengan bekas luka brutal pada organ reproduksinya. Pelaku menumpahkan kemarahan kepada korban dengan menggunakan batu, pisau dan kayu (BBC Indonesia)

Mari kita mempelajari kasus gang rape yang mengagetkan publik di tanah air. Selain kasus Yy, Tribun Jabar pada 9 Maret 2013 mengabarkan bahwa Catahu Komnas Perempuan telah mengidentifikasi bahwa diantara kasus kekerasan terhadap perempuan di komunitas, ada kasus gang rape dengan korban anak antara usia 13-18 tahun, dengan latar belakang dari keluarga menengah. Salah satu contoh yang dicatat oleh Komnas Perempuan adalah gang rape oleh 6 orang pelaku, atas mahasiswi Universitas Islam Jakarta berusia 24 tahun, yang terjadi pada tahun 2012. Dalam tragedi kejahatan seksual itu korban meninggal. (Kompas 7/05/2016).

AntaraNews.com pada tanggal 7 Oktober 2015 melaporkan adanya gang rape terhadap anak SMA umur 16 tahun. Pelaku perkosaan ada 5 orang; satu tertangkap dan 4 lainnya buron. Korban diberi obat sebelum diperkosa; kemudian ia dibuang ke lapangan bola dalam keadaan masih hidup, dan dikabarkan mengalami trauma berat. Keluarga korban terpaksa memutuskan untuk memindahkan korban ke tempat yang jauh.

AMAN Indonesia pernah mengekspos kasus gang rape yang terjadi di Kota Langsa pada 1 Mei 2014. Korban adalah perempuan warga setempat yang dituduh melanggar khalwat/mesum. Pelaku 8 orang, salah satunya adalah anak berumur 13 tahun. Bersama kasus itu, dikabarkan bahwa pada tahun 2010 juga terjadi perkosaan berkelompok terhadap perempuan yang dianggap melanggar khalwat. Analisis terhadap gang rape di daerah otonomi khusus itu dimaknai sebagai perbuatan warga yang main hakim sendiri atas penegakkan hukum Syariah yang diberlakukan. Pelaku “terlindung” oleh tafsir UU, di mana masyarakat boleh berperan aktif dalam penegakkan hukum.

Di kampung halaman Yy, Kabupaten Rejang Lebong, di mana kasusnya menjadi awal pembahasan dari fenomena gang rape ini, pada tahun 2001 – saat komunikasi dunia maya belum seramai kini, ada kasus perkosaan berkelompok yang menjadi perhatian luas secara nasional, yaitu kasus Su. Ada 7 orang yang memperkosa gadis Su dari wilayah Kabupaten Bengkulu Selatan. Korban meninggal. Berbagai komponen gerakan perempuan setempat, dengan WCC Cahaya Perempuan sebagai penggerak, sangat gigih mengadvokasi dan mengawal proses hukum meninggalnya Su.

Sungguh sulit untuk membuktikan bahwa Su meninggal karena perkosaan berkelompok. Hanya ada satu anggota gang rape yang penyandang cacat yang diajukan sebagai pemerkosa dan pembunuh korban. Pada tahun 2001, instrumen hukum belum memadai, serta komitmen penegak hukum belum membaik dan berpihak seperti saat ini.

Masih ada beberapa kasus gang rape yang terjadi di Bengkulu sebelum kasus Yy; misalnya laporan kupasbengkulu.com belum lama ini melaporkan seorang anak perempuan usia 18 tahun yang sedang berpacaran, dirampok oleh 4 orang laki-laki. Sekawanan perampok itu sempat pergi setelah menjarah harta korban; namun para pelaku itu kembali untuk memperkosa. Laki-laki pacar korban tidak bisa berbuat banyak, karena ia dipegang oleh anggota gang rape yang lain.

Pesan Pelaku

Bila dibaca lebih seksama, baik kasus-kasus di India maupun di Indonesia, sebagian korban perkosaan berkelompok tidak sendirian saat kejahatan terjadi. Meskipun situasi “sendirian” adalah salah satu argumentasi yang sering diperbincangkan, namun fakta kejadian gang rape di atas menggugurkan argumen ke ‘sendiri’ an sebagai pemicu.

“Akhir” dari gang rape adalah kematian korban; meski ada sebagian kecil korban yang bertahan hidup – biasanya “dikira” oleh pelaku dalam keadaan sudah mati. Akhir kejahatan menunjukkan keadaan dibuang, dilempar, atau dijatuhkan ke tempat umum / publik, digantung di pohon, yang pasti ditemukan. Seperti ada harapan korban ditemukan, baik sulit atau mudah cara penemuannya, seperti sungai, lapangan bola, lapangan terbuka, jalan raya, di pohon tepi jalanan umum. Mereka memilih cara agar jasad ditemukan.

Pesan lain yang kita terima dari gang rape adalah bahwa lokasi sepi bukan tujuan mereka. Mereka bukan sedang ketakutan. Peristiwa gang rape di New Delhi menunjukkan bahwa pelaku menunjukkan keberaniaannya dan menantang otoritas keamanan dengan melakukan pemerkosaan berkelompok di atas bus di jalan umum besar yang ramai. Mereka seperti mendemonstrasikan perlawanannya, dan kekuatannya atas tubuh perempuan korban.

Kebringasan dan kuatnya “kemarahan” yang ingin disampaikan kepada komunitas melalui media organ reproduksi perempuan; organ reproduksi perempuan adalah jalan menuju sumber hidup, yaitu rahim. Penghancuran terhadap rahim harus dimaknai sebagai manifes politik patriarkhi. Pada kasus gang rape atas seorang gadis Nepal di India, kelompok itu menumpahkan kemarahan pada organ reproduksi korban. Perusakan organ dengan kayu, pisau, dan batu adalah gugatan; sedang pada Yy perusakan dilakukan secara berbeda – bahwa Yy dianggap benda yang bisa “dipakai”. Keduanya adalah pesan kesumat “tak beralamat”. Pesan yang dikirimkan itu bukan alasan birahi/libido, melainkan gugatan, dan kemarahan sambil merendahkan perempuan korban.

Adanya gang rape yang terjadi di salah satu Kabupaten Aceh di atas, jelas mengirimkan simbol pesan kepada komunitas bahwa pemerkosaan atas perempuan adalah hukuman bagi pelanggar UU. Para pelaku dengan berani “berpesan” bahwa mereka berjasa dan berpartisipasi menegakkan regulasi.

Apabila kita bisa menemukan pesan terdalam dari brutalitas pemerkosaan berkelompok, maka kejahatan seksual ini lebih dari menakutkan. Penyembuhan kelompok-kelompok masyarakat yang tersisih, yang mudah menjadi pelaku gang rape, dan strategi perlindungan menjadi taruhan bagi keamanan hidup perempuan. Tubuh semua perempuan menjadi rentan, dan ini juga berarti ada teror. Kalau ada pembiaran atas situasi ini, lalu apa bedanya kita dengan cerita puing-puing Holocaust Rwanda dua dasawarsa lalu, di mana tubuh perempuan adalah target pemusnahan.

Selain mengawal proses keadilan hukum, fenomena gang rape membutuhkan keterlibatan banyak pihak: pendidik, peneliti, tokoh, politisi, Kepala Daerah, penggiat komunitas, praktisi hukum, dan kepolisian. Pelaku pasti ingin menyampaikan pesan bahwa korban mati dalam kesia-siaan. Namun kita harus mematahkan pesan itu, bahwa keberlanjutan gerakan menghentikan gang rape, kejahatan seksual, dan kekerasan berbasis ketidakadilan gender harus dikumandangkan. Kematian para korban dan kesengsaraan para korban hidup adalah pengorbanan dan keberanian mereka untuk peradaban yang lebih baik. Mereka tidak mati sia-sia.

Titiek Kartika Hendrastiti, dosen staf pengajar Fisip Universitas Bengkulu

Ikuti tulisan menarik Titiek Kartika Hendrastiti lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

Sabtu, 27 April 2024 14:25 WIB

Bingkai Kehidupan

Oleh: Indrian Safka Fauzi (Aa Rian)

Sabtu, 27 April 2024 06:23 WIB

Terkini

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

Sabtu, 27 April 2024 14:25 WIB

Bingkai Kehidupan

Oleh: Indrian Safka Fauzi (Aa Rian)

Sabtu, 27 April 2024 06:23 WIB