x

Ilustrasi bisnis. shutterstock.com

Iklan

vishnu Juwono

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Dalam Cengkeraman Kapitalis Kroni

Sektor industri rentan terhadap kegiatan pemburu rente karena interaksinya yang cukup intens dengan pemerintah.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Pada Mei lalu, majalah terkemuka Inggris, The Economist, merilis Indeks Kapitalis Kroni, indeks yang pertama kali diperkenalkan pada 2014 sebagai alat analisis untuk melihat apakah kehidupan rakyat dari negara atau kota tertentu dengan ekonomi kapitalis mudah dipengaruhi kapitalisme kroni.

Berbeda dengan indeks-indeks lain yang lebih fokus pada perbandingan kualitas dari tata kelola serta tingkat korupsi antarnegara, Indeks Kapitalis Kroni mencoba mengukur perbandingan antara kekayaan para pengusaha miliarder yang jenis usahanya bersifat pemburu rente (rent-seeking) dan tingkat produksi domestik bruto (PDB) suatu negara.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Istilah "pemburu rente" diperkenalkan pertama kali pada 1974 oleh ekonom terkemuka Anne Krueger dalam artikel akademiknya yang terkenal, "The Political Economy of Rent-Seeking Society". Definisi lebih tajam lagi dijelaskan oleh ekonom pemenang Nobel tahun 2013, Robert Shiller (2013), bahwa pemburu rente merupakan kegiatan ekonomi yang tidak menyumbang produktivitas kepada masyarakat sekitarnya, melainkan lebih demi keuntungan diri dan usahanya dengan cara mengoleksi rente/pungutan dari aset yang diperolehnya melalui manipulasi sosial.

Sektor industri rentan terhadap kegiatan pemburu rente karena interaksinya yang cukup intens dengan pemerintah. Yang juga rentan adalah sektor yang memperoleh lisensi dari pemerintah, seperti telekomunikasi, sumber daya alam, dan properti/ konstruksi. Walaupun sebagian besar jenis usaha ini secara hukum legal, potensi korupsinya amat besar.

Indeks Kapitalis Kroni ini disusun berdasarkan data terbaru dari majalah Forbes mengenai kekayaan para miliarder di seluruh dunia yang kegiatan bisnisnya lebih banyak dalam sektor yang rentan terhadap praktek pemburu rente. Indeks ini mencoba mengukur potensi korupsi kelas kakap, yang umumnya berpengaruh terhadap kebijakan publik dan mempunyai dampak besar terhadap masyarakat, bukan korupsi kecil-kecilan.

Hasilnya, indeks tersebut berhasil mengidentifikasi 22 negara dengan Rusia menempati urutan pertama sebagai negara dengan potensi kapitalis kroni terbesar dengan proporsi kekayaan miliarder dari sektor kroni kurang-lebih 15 persen dari PDB. Sedangkan Jerman relatif bersih dari sektor kroni dengan menempati urutan terakhir dengan proporsi kekayaan miliarder kroni kurang dari 1 persen PDB.

Bagaimana dengan Indonesia? Ternyata negara-negara berkembang mendominasi daftar negara dengan potensi kapitalis kroni terbesar. Sebanyak 65 persen kekayaan para kroni miliarder justru berasal dari negara-negara tersebut.

Sangat disayangkan bahwa Indonesia menempati ranking cukup "tinggi" pada indeks ini, yakni pada urutan ketujuh dengan proporsi kekayaan kroni kurang dari 5 persen PDB. Masuknya Indonesia dalam urutan 10 besar dalam Indeks Kapitalis Kroni ini sebenarnya bukan kejutan bagi kita yang mengalami dinamika politik di Indonesia. Pekerjaan rumah besar untuk memperbaiki tata kelola pemerintahan memang belum tuntas.

Indeks ini juga menegaskan bahwa peranan para miliarder kroni di Indonesia masih cukup besar dalam struktur perekonomian negeri ini. Bahkan pengaruh politik mereka lebih besar, yang tidak dapat diidentifikasi oleh indeks ini, karena dia lebih fokus pada kekuatan ekonomi.

Berdasarkan penelitian dari beberapa ahli politik Indonesia terkemuka di masa sesudah tumbangnya Orde Baru, para pengusaha kroni, yang mereka sebut sebagai oligarki, tetap bertahan dan bahkan meningkatkan pengaruhnya secara langsung ataupun tidak langsung dalam politik. Ini dilakukan untuk melindungi dan bahkan meningkatkan kekayaan mereka (Hadiz dan Robison, 2014) (Winters, 2014).

Salah satu instrumen politik utama yang digunakan para pengusaha kroni adalah dengan menguasai partai politik, memanfaatkan kesulitan pendanaan partai politik (Mietzner, 2013), dan pada akhirnya menguasai mayoritas kursi DPR (ICW, 2015). Mereka juga memanfaatkan sistem penegakan hukum dan birokrasi Indonesia yang relatif korup untuk melancarkan kepentingan bisnis, seperti ditunjukkan dalam kasus wakil menteri, jaksa, dan hakim agung yang ditangkap oleh Komisi Pemberantasan Korupsi karena menerima suap dari pengusaha.

Dengan demikian, Indeks Kapitalis Kroni ini menjadi peringatan bagi kita agar menjalankan agenda reformasi tata kelola yang belum tuntas. Pemerintah Presiden Joko Widodo diharapkan dapat mendorong tiga agenda penting reformasi. Pertama, mempercepat reformasi birokrasi dengan konsisten melaksanakan Undang-Undang Aparatur Sipil Negara (ASN) dan memberdayakan Komisi ASN. Kedua, memberikan dukungan politik yang nyata kepada KPK, terutama untuk kasus-kasus yang melibatkan koruptor kakap dan pejabat penegak hukum. Ketiga, perbaikan penegakan hukum dengan mendorong reformasi kepolisian dan kejaksaan. Dengan melaksanakan ketiga agenda tersebut, diharapkan ruang pengusaha kapitalis kroni/oligarki dapat dipersempit dalam mengeksploitasi kelemahan sistem tata kelola Indonesia bagi kepentingan ekonominya.

Vishnu Juwono, Dosen Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Indonesia

*) Artikel ini terbit di Koran Tempo edisi Senin, 30 Mei 2016

Ikuti tulisan menarik vishnu Juwono lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu