x

Jeremy Corbyn dan Theresa May. bbc.com

Iklan

vishnu Juwono

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Theresa May dan Indonesia ~ Vishnu Juwono

Pendahulu May, David Cameron, menunjukkan minat yang amat besar untuk meningkatkan hubungan Inggris-Indonesia.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Vishnu Juwono

Dosen Fakultas Ilmu Administrasi UI

Pemilihan umum Inggris yang baru saja selesai akhir pekan lalu memberikan catatan unik. Perdana Menteri Theresa May, dari Partai Konservatif, berinisiatif mengadakan pemilihan umum yang dipercepat setelah mengetahui popularitasnya 20 persen lebih tinggi dari rivalnya, Jeremy Corbyn, pemimpin Partai Buruh. May memerlukan mandat politik yang kuat dalam melakukan negosiasi dengan Uni Eropa (UE) setelah rakyat Inggris memutuskan untuk keluar dari UE-biasa disebut "Brexit"-melalui referendum pada 2016.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Namun kalkulasi politik May meleset. Masyarakat justru ragu akan kredibilitas May. Partainya akhirnya kehilangan banyak kursi parlemen.

Sebaliknya, kampanye Jeremy Corbyn penuh energi dan memikat pemilih muda. Di beberapa daerah yang banyak dihuni mahasiswa, seperti Sheffield, Leeds, dan Canterbury, para calon legislator dari Partai Buruh berhasil merebut kursi dari lawannya. Salah satu program Corbyn yang menjadi daya tarik bagi kaum muda Inggris adalah janjinya untuk menghapus uang pangkal universitas dan mengalokasikan anggaran tambahan untuk program pelayanan kesehatan.

Kombinasi dari berbagai blunder politik May dan suksesnya kampanye Corbyn ini menyebabkan tidak ada partai Inggris yang memperoleh suara mayoritas mutlak di parlemen, atau "parlemen menggantung". Partai Konservatif harus kehilangan 13 kursi dari total 318 kursi parlemen. Sebaliknya, kursi Partai Buruh meningkat menjadi 262 kursi.

Kondisi ini menjadi tantangan berat bagi kebijakan luar negeri Inggris ke ASEAN, khususnya Indonesia. Pendahulu May, David Cameron, menunjukkan minat yang amat besar untuk meningkatkan hubungan Inggris-Indonesia. Pada 2012, Cameron kembali menghidupkan forum kemitraan strategis Indonesia-Inggris yang mencakup pendidikan, perdagangan, hingga lingkungan. Saat itu ditargetkan volume perdagangan kedua negara naik dua kali lipat menjadi 4,4 miliar pound sterling hingga 2015.

Pada 2015, Cameron kembali berkunjung ke Indonesia. Saat bertemu dengan Presiden Jokowi, dia membawa 31 pemimpin perusahaan mapan Inggris, seperti Aviva dan Lyods. Dalam rangkaian kunjungannya ke ASEAN, ditargetkan tercapai perjanjian bisnis senilai 750 juta pound sterling.

Tidak seperti pendahulunya, Theresa May kurang mendorong keterlibatan Inggris lebih besar di kawasan ASEAN, termasuk Indonesia. Hingga saat ini, baik May maupun Menteri Luar Negeri Boris Johnson belum melakukan kunjungan kerja ke Jakarta. Untuk sementara, hal ini dapat diisi upaya diplomasi intensif yang dilakukan Kedutaan Inggris di Jakarta.

Memanfaatkan kefasihannya berbahasa Indonesia, Duta Besar Inggris Mazzom Malik sangat efektif melakukan diplomasi publik, seperti menggunakan Twitter. Dalam bidang pendidikan, terjadi peningkatan kerja sama, yakni sebanyak 66 mahasiswa Indonesia menerima beasiswa Chevening pada 2016 dan Indonesia juga menjadi salah satu negara mitra penerima dana Newton sebesar 375 juta pound sterling.

Tapi upaya Mazzom ada batasnya, sehingga perlu diimbangi dengan usaha dari pihak Indonesia. Pemerintah Indonesia perlu menggali peluang meningkatkan volume investasi dan perdagangan dengan negara maju seperti Inggris. Apalagi hal ini merupakan prioritas agenda diplomasi Presiden Jokowi.

Ikuti tulisan menarik vishnu Juwono lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu