x

ilustrasi pemerkosaan. Tempo/Indra Fauzi

Iklan

Setyaningsih

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Keluarga dan Pendidikan Seks

Lingkungan macam apa yang melibatkan anak-anak dalam kejahatan yang bisa saja tak tersadari sebagai bentuk kejahatan.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

“Kalau kita melihat angka-angka dan peristiwa, semakin hari semakin mengkhawatirkan,” begitu pernyataan Presiden Joko Widodo pada sidang kabinet paripurna di Istana Negara (Republika, 11 Mei 2016). Semakin hari, angka kekerasan seksual terhadap anak dan perempuan semakin nyata membesar. Angka-angka itu begitu kentara mengandung kekalutan, ketakutan, kekhawatiran, dan keprihatian. Apalagi, mengingat angka-angka umur sebagian pelaku kejahatan justru terbilang satuan dan belasan yang menunjukkan umur kanak dan remaja.

Kita bisa kehabisan kata dalam mengungkapkan empati mengingat beberapa pelaku kejahatan justru anak-anak yang tengah bertumbuh. Pemberitaan di koran, media sosial, dan televisi semakin jelas mengabarkan kronologi. Mungkinkah umpatan biadab, keji, tidak bermoral, atau tidak beradab harus ditujukan kepada para pelaku padahal di antara mereka masih bocah. Kita barangkali ingin segera berdoa dan segera mempertanyakan bagaimana mereka bertumbuh dalam keluarga. Lingkungan macam apa yang melibatkan anak-anak dalam kejahatan yang bisa saja tak tersadari sebagai bentuk kejahatan.

Dalam kasus kekerasan seksual terjadi di Surabaya, tiga anak yang terlibat akhirnya diserahkan pada orang tua dengan syarat wajib lapor setiap Senin dan Kamis (Jawa Pos, 14 Mei 2016). Kita merasa yakin keluarga pasti bertaruh memperbaiki situasi kejiwaan anak dengan mengabaikan kata terlambat. Meski, publik menyadari bahwa ada yang gagal dari keluarga dan sistem masyarakat sampai membiarkan kejadian sial itu ada. Bahkan, kasus perkosaan anak kelas 6 SD di Jatinom, Klaten, oleh para remaja justru terjadi di sebuah rumah yang sedang ditinggalkan penghuninya (Tempo, 14-15 Mei 2015).

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Di sekitar kita, tidak hanya sedang mengalami perubahan tata nilai kehidupan dan ekspektasi moral. Perubahan ruang-ruang di kehidupan berpengaruh pada pola asuh orang tua dan kontrol berteman. Rumah masa kini dengan model kamarisasi membuat anak lebih leluasa memasukkan siapa dan apa saja ke dalam kamarnya, mulai dari teman, video, gawai, ponsel, atau televisi. Orang tua mengalami kegamangan kontrol ruang dan media. Anak pun menganggap diri sudah dewasa dan membutuhkan privatisasi. Ruang privat seperti warnet, perempatan jalan, dan bahkan rumah teman sekalipun lebih akrab dibandingkan rumah sendiri.

Mengenali Tubuh

Lewat Keluarga Jawa (1983) Hildred Geertz menandai bahwa pendidikan seks atau didikan mengenali tubuh sebagai perbekalan penting meski jarang diperbincangkan secara terbuka di keluarga. Kebiasaan menikahkan anak perempuan segera mungkin memang jadi dalih agar anak terhindar dari hal-hal memalukan. Di masa transisi menuju keremajaan, anak-anak menyadari ada yang berubah dengan tubuhnya secara biologis. Anak perempuan belajar menerima peristiwa menstruasi dan anak laki-laki ditandai dengan upacara khitan.

Dalam pola pembagian kerja keluarga, anak perempuan lebih banyak dibebani pekerjaan rumah tangga sebagai bekal berkeluarga. Secara moral, anak perempuan cenderung lebih ditekankan menjaga kesucian diri dibandingkan dengan anak laki-laki. Bahwa, kelak tubuh mereka mengemban tugas penting sebagai istri dan ibu. Jelas tidak salah kalau orang tua pertama berinisiatif berbicara tentang seks mengingat masih adanya resepsi ketabuan yang membuat anak malu mengatakan keresahan-keresahan biologisnya.

Prosesi pengenalan dan pengalaman seks menurut konselor Mary Ann Mayo (dalam Pendidikan Seks, dari Orang-Tua kepada Anak: 1995) terjadi sejak anak dalam kandungan. “Dunia seorang bayi yang baru lahir merupakan dunia yang penuh kenikmatan akibat rangsangan indera.” Biografi hidup anak akan mengalami kelukaan batin saat tidak mendapat bau, sentuhan, dan rasa emosional dari ibu. Hal ini mempengaruhi diri secara mental dan psikologis dalam masa pertumbuhan. Pun, turut berpengaruh pada kegagalan menjalin hubungan dengan orang lain. Begitu menentukan sikap orang tua kepada anak sejak dalam pembuahan di dalam rahim.   

Pola asuh-asih dalam keluarga memberi ruang bertumbuh bagi anak menentukan tindakan dan cara pikir di masa depan. Dalam perubahan tata nilai, terlalu beresiko mengandalkan ganjaran hukuman moral yang lebih banyak dikendalikan masyarakat, entah dalam bentuk hukuman cemooh, hinaan, atau pengucilan. Apalagi seruan agama oleh pihak yang merasa berotoritas, membuat Tuhan menjadi begitu kejam lewat ganjaran pahala dan dosa atau surga dan neraka. 

Memberikan bekal pendidikan seks yang cukup akan menyiapkan anak menghadapi kepastian dan ketidakpastian akan waktu-waktu di depan. Pendidikan seks dalam keluarga memang seperti tampak tidak memberikan efek siginifikan dalam dalam jangka dekat, seperti halnya hukuman yang bersifat birokratif atau bersifat moralis dari masyarakat. Namun, secara emosional keluarga menanamkan nilai untuk yang bisa diandalkan untuk menjaga diri dari menyakiti, apalagi menjahati raga dan batin orang lain. Di tengah angka kejahatan seksual yang makin mengkhawatirkan, memperbaiki pola asuh dan menjaga ketahanan keluarga adalah perlindungan pertama dalam menyelamatkan nasib anak-anak.

Ikuti tulisan menarik Setyaningsih lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

Sabtu, 27 April 2024 14:25 WIB

Bingkai Kehidupan

Oleh: Indrian Safka Fauzi (Aa Rian)

Sabtu, 27 April 2024 06:23 WIB

Terkini

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

Sabtu, 27 April 2024 14:25 WIB

Bingkai Kehidupan

Oleh: Indrian Safka Fauzi (Aa Rian)

Sabtu, 27 April 2024 06:23 WIB