x

ilustrasi pemerkosaan . Tempo/Indra Fauzi

Iklan

Nadya Karima Melati

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Budaya Pemerkosaan di Indonesia

Apakah ada budaya pemerkosaan di Indonesia dan bagaimana bentuknya? tulisan ini berusaha memaparkan fakta rape culture di Indonesia

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Berita tentang kekerasan seksual yang melejit akhir-akhir ini memperlihatkan dua tampilan wajah masyarakat kita. Pertama simpati dan kepedulian bahwa pemerkosaan adalah bentuk tindakan tercela, kedua masyarakat panik dan mengutuk hal-hal yang terkait dengan tindak pemerkosaan itu tapi bukan tindakan perkosaan itu sendiri. Penterkaitan hal-hal tersebut justru menjauhkan kita dari bersikap adil pada korban pemerkosaan.

Kepedulian sekaligus kepanikan tersebut akhirnya membuat pemerintah mengeluarkan peraturan pemerintah atau Perpu sebagai perwujudannya berisi hukuman kebiri bagi pelaku pemerkosaan. Keluarnya perpu ini tidak disambut oleh banyak pihak termasuk Komnas Perempuan yang selama ini menangani kasus kekerasan seksual, menurut Komnas Perempuan, perpu tersebut tidak menyelesaikan akar permasalahan perilaku pemerkosaan yakni budaya patriarki.

Saya mengamati dua kasus perkosaan yang mendapat simpati publik yakni kasus YY dan E yang dibunuh dengan cangkul. Satu minggu setelah keluarnya berita tersebut, opini publik berlari kesana-kemari merespon pemberitaan tentang perkosaan mulai dari menyalahkan minuman beralkohol, negara yang tidak memberikan lapangan pekerjaan yang layak sehingga muncul gerombolan pemuda yang menghabiskan waktunya sia-sia, menyalahkan perempuan keluar rumah sendirian sampai komentar yang menyedihkan kita dengar dari menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak yang menyatakan bahwa pemerkosaan terhadap YY terjadi karena orangtua YY terlalu sibuk bekerja di kebun sehingga tidak memperhatikan anaknya. Saya akhirnya sampai pada sebuah kesimpulan, our society blame everything but the rape it self.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Masyarakat kita yang terus menyalahkan segala hal kecuali perkosaan itu sendiri. Gadis Arivia dalam salah satu artikelnya menjelaskan tentang budaya pemerkosaan. Budaya perkosaan adalah budaya yang mempertontonkan agresi seksual dan yang mendukung kekerasan terhadap  perempuan. Masyarakat  yang menganut budaya perkosaan menganggap kekerasan merupakan sesuatu yang seksi dan seksual dan di dalam budaya perkosaan, perempuan dilihat sebagai obyek dan dibenarkan komentar-komentar seksual yang menyakitkan atau diangap “lucu”.

Lihat saja dalam beberapa hari setelah kasus pembunuhan E, muncul viral meme yang mencoba mereplikasi korban perkosaan dan cangkul dalam balutan lelucon. Adapula akun dakwah yang mengeluarkan meme gambar pacul-pacul dengan tulisan, “masih tidak menutup aurat, cangkul masih banyak”. Pemerkosaan sebagai bahan candaan sebenarnya tidak kita temui pada kasus akhir-akhir ini saja. Sering rasanya kita menertawakan headline berita surat kabar yang seringkali mengeksploitasi kekerasan seksual sebagai bahan candaan.

Kita menjadi terbiasa dengan budaya pemerkosaan ini karena kita terperangkap dalam sebuah cara berpikir yang patriarkis dan menganggap perempuan sebagai objek dan setengah manusia. Perempuan bukan manusia utuh sehingga dia tidak perlu diminta persetujuan dan dituduh ‘menikmati’ pada setiap tindak perkosaan yang terjadi. Budaya Perkosaan yang sudah menyerap dan tertanam pada keseharian kita yang kemudian membuat kita menganggap perkosaan adalah bentuk pelanggaran asusila dan bukan kemanusiaan.

Tidak dianggapnya perempuan sebagai manusia utuh membawa dugaan perempuan tidak memiliki seksualitas dan hanya laki-laki yang memiliki seksualitas. Sehingga apabila terjadi perkosaan maka kedua pihak pemerkosan dan korban perkosaan dianggap ‘menikmati’ seperti yang dikatakan oleh calon hakim agung Muhammad Daming Sanusi ketika ditanya perihal hukuman mati terhadap pelaku pemerkosaan.

Padahal, pemerkosaan adalah tentang relasi dan bukan tentang seks sama sekali. Seks adalah sesuatu yang indah dan disetujui oleh kedua pihak. Penetrasi hanya bisa terjadi ketika tubuh keduanya mau membuka dan menerima sedangkan pemerkosaan adalah sarana menunjukan kekuasaan dan agresivitas laki-laki. Ini juga bisa dilihat pada dua kasus diatas dimana pelaku pemerkosaan lebih dari satu orang, perkosaan dijadikan sebagai ‘boy’s initiation’ dari solidaritas laki-laki untuk membuktikan kejantanan mereka.

Menurut saya, munculnya budaya perkosaan dan tidak dianggapnya seksualitas perempuan disebabkan oleh minimnya akses pengetahuan. Pendidikan seksual di sekolah hanya terbatas pada dimensi ilmu alam khususnya biologi yang hanya menjelaskan seks sekedar penetrasi penis ke dalam vagina dan penyakit kelamin. Dimensi sosial dari seksualitas seperti pembelajaran tentang status dan peran gender yang lebih adil nyaris absen sama sekali. Tidak ada akses terhadap pengetahuan tentang seksualitas sehingga kita mencari tahu tentang seks melalui pemberitaan media yang dihasilkan oleh lagi-lagi pengetahuan yang bersifat patriarkis.

Buntunya pendidikan seksual dengan dimensi sosial menyebabkan minimnya pengetahuan mengenai relasi gender dan upaya perempuan untuk mengenal tubuhnya sendiri. Ketidaktahuan ini merugikan laki-laki dan perempuan. Laki-laki sebagai tertuduh (calon) pemerkosa karena dianggap sebagai binatang buas yang tidak diajarkan untuk tidak memperkosa dan perempuan tentu sebagai korban dibatasi ruang geraknya. Ketidaktahuan dan tidak adanya upaya untuk mencari informasi yang tepat di era banjir informasi ini justru menjangkit negara yang panik dan membuat kebijakan Perpu yang tergesa-gesa dan sama sekali tidak bijak.

 

Nadya Karima Melati

Ikuti tulisan menarik Nadya Karima Melati lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

Sabtu, 27 April 2024 14:25 WIB

Bingkai Kehidupan

Oleh: Indrian Safka Fauzi (Aa Rian)

Sabtu, 27 April 2024 06:23 WIB

Terkini

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

Sabtu, 27 April 2024 14:25 WIB

Bingkai Kehidupan

Oleh: Indrian Safka Fauzi (Aa Rian)

Sabtu, 27 April 2024 06:23 WIB